Di era digital yang semakin pesat, museum-museum di Makassar dan Sulawesi Selatan tampaknya masih tertinggal dalam memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan interaksi dan keterlibatan pengunjung.Â
Meskipun beberapa upaya telah dilakukan, masih ada kesenjangan yang signifikan antara potensi teknologi dan implementasinya di lapangan.
Museum La Galigo, sebagai salah satu museum utama di Makassar, telah mulai mengadopsi teknologi Augmented Reality (AR) untuk menarik minat pengunjung[1].Â
Namun, implementasinya masih terbatas dan belum sepenuhnya mengoptimalkan potensi teknologi ini. Sementara itu, museum-museum lain di wilayah tersebut, seperti Museum Kota Makassar dan Museum Balla Lompoa, masih mengandalkan metode penyajian konvensional yang kurang interaktif.
Ironinya, sementara museum-museum di kota-kota besar lainnya di Indonesia telah beralih ke konsep museum digital[6], Sulawesi Selatan seolah tertinggal dalam revolusi digital ini.Â
Padahal, menurut studi yang dilakukan oleh Flavián et al. (2021), penggunaan teknologi realitas virtual dan augmented reality di museum dapat secara signifikan mengubah cara pengunjung berinteraksi dengan pameran, meningkatkan pengalaman mereka secara keseluruhan.
Keengganan atau keterlambatan dalam mengadopsi teknologi digital ini bisa jadi merupakan cerminan dari dilema klasik yang dihadapi banyak institusi budaya: bagaimana menyeimbangkan preservasi warisan budaya dengan tuntutan modernisasi.Â
Namun, seperti yang diungkapkan oleh Daniela (2020), museum virtual dapat menjadi agen pembelajaran yang efektif, membuka peluang baru untuk pendidikan dan keterlibatan pengunjung.
Mungkin ada baiknya kita bertanya, apakah museum-museum di Sulawesi Selatan terlalu nyaman dengan status quo?Â
Atau mungkin mereka terjebak dalam nostalgia masa lalu, enggan untuk berevolusi?Â
Bagaimanapun, dalam era di mana anak-anak lebih fasih menggunakan gawai daripada membaca prasasti, museum perlu berbicara dalam "bahasa" yang mereka pahami.