Mohon tunggu...
Aida Syafaatu Zahra
Aida Syafaatu Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penafsiran Makna Busana Tokoh Gareng dan Petruk pada Ilustrasi dalam Naskah Kuno "Rembagipun Gareng Lan Petruk Ing Tata Krama II"

10 Juni 2024   14:23 Diperbarui: 10 Juni 2024   14:36 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Wayang Gareng Sumber: memorandum.disway.id

Rembagipun Gareng Lan Petruk Ing Tata Krama II dengan kode NB 1625 adalah salah satu manuskrip naskah kuno bahasa Jawa yang telah ditulis sejak tanggal 17 Agustus 1932. Naskah berilustrasi tersebut membahas tentang tata krama atau sopan santun terkait dengan solah bawa (sikap) dan solah tingkah (tingkah laku). Naskah dengan jumlah halaman sebanyak 98 halaman ini disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Naskah ini dapat diakses secara daring dengan laman https://khastara.perpusnas.go.id/. 

Rembagipun Gareng Lan Petruk Ing Tata Krama II dengan kode NB 1625 adalah salah satu manuskrip naskah kuno bahasa Jawa yang telah ditulis sejak tanggal 17 Agustus 1932. Naskah berilustrasi tersebut membahas tentang tata krama atau sopan santun terkait dengan solah bawa (sikap) dan solah tingkah (tingkah laku). Naskah dengan jumlah halaman sebanyak 98 halaman ini disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Naskah ini dapat diakses secara daring dengan laman https://khastara.perpusnas.go.id/. 

Seperti judulnya yakni "Rembagipun Gareng lan Petruk ing Tata Krama II" ini diceritakan dua tokoh punakawan, yaitu Gareng dan Petruk yang sedang berdiskusi mengenai tata krama. Perbincangan mereka mengenai dua jenis tata krama, yaitu tata krama dalam berbicara dan tingkah laku yang harus diketahui manusia. Tidak hanya berisi percakapan kedua tokoh wayang, dalam naskah juga memuat ilustrasi-ilustrasi yang memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman visual tentang maksud dan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis naskah. Sehingga pembaca secara sekilas dapat memahaminya walaupun hanya dengan memperhatikan ilustrasi dalam naskah tersebut.

Naskah kuno Rembagipun Gareng lan Petruk ing Tata Krama II memiliki dua ilustrasi yang menjelaskan secara visual mengenai isi naskah. Kedua ilustrasi tersebut menggambarkan tokoh wayang Gareng dan Petruk sedang duduk berbincang. Pada ilustrasi pertama, digambarkan bahwa kedua tokoh wayang tersebut menggunakan busana modern, yaitu pakaian formal jas berwarna terang. Sedangkan pada ilustrasi kedua, menggambarkan tokoh wayang yang sama menggunakan pakaian adat Jawa.

Ilustrasi dalam seni rupa adalah penggambaran sesuatu melalui elemen rupa untuk lebih menerangkan, menjelaskan atau memperindah suatu teks, sehingga pembaca dapat ikut merasakan secara langsung melalui sifat-sifat gerak, dan kesan dari cerita yang disajikan (Rohidi, 1984). Ilustrasi adalah bentuk ekspektasi dari ketidakmungkinan dan tak ada yang berbeda jauh seperti halnya angan-angan, yang sifatnya virtual atau maya, serta ilustrasi hadir dalam sebagai diverifikasi; tulisan, gambar maupun suara (Fariz, 2009). Ilustrasi merupakan tambahan berupa contoh, bandingan, dan sebagainya untuk lebih memperjelas paparan yang berupa tulisan dan sebagainya (KBBI Daring, 2016). Berdasarkan ketiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ilustrasi adalah suatu bentuk penggambaran dari sebuah hal yang masih abstrak secara visual untuk memperjelas maksud dari sebuah berupa tulisan, suara, dan lain-lain.

Dari kedua ilustrasi dalam naskah kuno tersebut, terdapat tokoh wayang Gareng dan Petruk. Apakah itu wayang dan siapakah mereka berdua?.

Wayang dapat diartikan sebagai boneka tiruan menyerupai orang yang digunakan untuk memerankan tokoh pada pertunjukan drama tradisional. Wayang juga merupakan perwujudan akulturasi budaya antara budaya Jawa dengan budaya lain, seperti Islam. Wayang menjadi media penyebaran nilai-nilai Islam di Jawa dan proses ini menunjukkan pluralitas juga toleransi budaya yang melekat pada budaya Jawa.

Cerita wayang memiliki berbagai jenis, salah satunya terdapat cerita pewayangan tentang Punakawan. Punakawan adalah sebutan untuk empat tokoh wayang, yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Keempat tokoh tersebut memiliki peran khusus dan unik dalam cerita pewayangan, karena biasanya digambarkan dengan karakter yang jenaka dengan sifat menghibur dan humoris, namun memiliki berbagai filosofis terutama tentang kehidupan.

Wayang yang terdapat pada ilustrasi dalam naskah kuno tersebut adalah Gareng dan Petruk. Gareng merupakan tokoh punakawan sebagai anak angkat Semar yang mempunyai karakter yang berbeda. Gareng adalah tokoh yang tidak pandai bicara dan apa yang dikatakannya seringkali serba salah. Gareng adalah tokoh Punakawan yang memiliki ketidaklengkapan bagian tubuh seperti halnya Gareng yang mengalami kecacatan kaki, cacat tangan, dan mata (Saputra, 2021). Meskipun demikian, ia tetap bijaksana dan humoris. Gareng sering menjadi sumber tawa dalam pertunjukan wayang. Ia mengajarkan tentang penerimaan diri dan keberanian menghadapi ketidaksempurnaan.

Tokoh berikutnya adalah Petruk. Ia adalah anak kedua Semar yang memiliki tubuh tinggi dan tangan panjang. Ia dikenal sebagai tokoh yang ceroboh dan sering membuat kesalahan, namun Petruk memiliki hati yang baik dan selalu berusaha membantu. Ia mengajarkan tentang kesederhanaan dan kebaikan hati. Apabila dikaitkan dalam ilustrasi yang terdapat dalam naskah kuno ini, maka Petruk dapat diibaratkan sebagai perawakan orang Belanda.

Gambar Wayang Petruk | Sumber: kompas.id
Gambar Wayang Petruk | Sumber: kompas.id

Dalam cerita pewayangan, tokoh Gareng dan Petruk yang merupakan bagian dari Punokawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong) mereka digambarkan menjadi seorang abdi dari raja atau bangsawan. Dimana hal tersebut juga dapat dicermati dari pakaian/busana yang digambarkan melekat pada mereka. Seorang abdi/pengawal raja yang berpakaian sederhana tanpa banyak pernak-pernik yang menempel padanya. Namun sangat jauh berbeda dengan penggambaran yang ada dalam naskah kuno "Rembagipun Gareng Lan Petruk Ing Tata Krama II". Dalam ilustrasi naskah tersebut tokoh Gareng dan Petruk digambarkan tidak seperti seorang abdi raja. Justru mereka digambarkan seperti halnya seorang raja/bangsawan itu sendiri namun dengan kultur berbusana yang berbeda dalam kedua ilustrasinya.

Ilustrasi Gareng dan Petruk digambarkan menggunakan busana yang berbeda antara ilustrasi I dan ilustrasi II. Busana yang digunakan dalam ilustrasi I adalah jas formal dengan warna cerah yang digambarkan pada kedua tokoh. Warna cerah dapat menarik perhatian pemirsa naskah dengan cepat. Sehingga dapat memungkinkan muncul pertanyaan, "Mengapa wayang memakai jas formal?", padahal dalam bentuk wayang yang asli busana yang dipakai berbeda seperti tanpa menggunakan pakaian tertutup dengan lambang seperti motif batik.

Berikut adalah ilustrasi I dalam naskah kuno ini.

Sumber: khastara.perpusnas.go.id
Sumber: khastara.perpusnas.go.id

Jas berasal dari bahasa Belanda yang berarti mantel. Jas merupakan pakaian resmi model Eropa. Memiliki lengan yang panjang dan digunakan sebagai luaran dari kemeja. Pada umumnya, penggunaan jas dipadukan dengan celana panjang formal. Biasanya juga dilengkapi dengan sepatu dengan jenis pantofel. Seperti yang digambarkan dalam ilustrasi I.

Sumber: khastara.perpusnas.go.id
Sumber: khastara.perpusnas.go.id

Ilustrasi diatas adalah ilustrasi II yang berada di naskah kuno ini. Pada ilustrasi II, tokoh yang digambarkan masih sama, yaitu Gareng dan Petruk yang menggunakan busana adat Jawa. Berbeda dengan jas, busana adat Jawa adalah pakaian tradisional dari suku Jawa yang digunakan turun temurun sudah sejak zaman dahulu. Busana adat Jawa dulunya hanya digunakan oleh golongan bangsawan Jawa seperti priyayi di keraton, namun hingga saat ini busana adat Jawa dapat digunakan oleh masyarakat khususnya di Jawa sebagai identitas dari masyarakat Jawa. Di zaman modern saat ini pemakaian busana adat Jawa sering ditemui di waktu-waktu tertentu. Sering kali busana adat jawa digunakan sebagai busana pengantin yang menggunakan adat jawa dalam prosesi pernikahannya. Dalam kegiatan-kegiatan tertentu juga sering diadakan khususnya oleh masyarakat di Jawa seperti upacara-upacara tradisional, juga tidak menutup kemungkinan dikenakan saat memperingati hari tertentu.

Apabila dibandingkan antara ilustrasi I dan ilustrasi II, busana yang dikenakan oleh kedua tokoh wayang sangatlah berbeda. Hal tersebut menjadi sebuah pertanyaan yang timbul. Mengapa dalam ilustrasi I tokoh wayang menggunakan pakaian formal modern Eropa berwujud jas sedangkan di ilustrasi II menggunakan busana adat Jawa?. Dalam ilustrasi I, busana yang dikenakan dapat dipengaruhi oleh zaman pada saat penulis membuat naskah tersebut. Dimana pada tahun penulis membuat naskah tersebut, negara Indonesia sedang mengalami penjajahan oleh bangsa Belanda. Tidak dapat dipungkiri karena terjadinya hal tersebut, akan menimbulkan banyak percampuran budaya atau akulturasi yang salah satunya terdapat di busana. Ilustrasi II sendiri lebih menggambarkan keaslian dari busana pada zaman tersebut. Dimana pada zaman tersebut masyarakat di Indonesia khususnya suku Jawa menggunakan busana adat Jawa sebagai pakaian sehari-hari.

Ilustrasi-ilustrasi tersebut mengandung suatu makna dari penciptaannya. Dapat ditafsirkan bahwa sang penulis naskah ingin menampilkan contoh cara berpakaian yang tentunya berkaitan dengan tata krama. Setelan pakaian formal jas lengkap melambangkan sebuah kewibawaan yang tinggi, serta derajat penggunanya yang berasal dari kalangan atas atau borjuis. Sedangkan busana adat Jawa memiliki lambang sebagai identitas dari masyarakat Jawa yang rendah hati dan sederhana.

Unsur benda yang ada digambarkan dalam ilustrasi tersebut juga menjadi properti pendukung tersampaikannya makna kondisi pada zaman itu. Pada ilustrasi I terdapat banyak benda seperti meja, taplak, pipet rokok, serta kursi selain barang yang dikenakan oleh tokohnya. Berbeda dengan ilustrasi II yang memiliki lebih sedikit unsur benda dalam ilustrasi tersebut diantaranya kursi panjang, tongkat serta topi yang hanya dipegang tidak dikenakan. Pewarnaan yang digunakan dalam naskah tersebut cenderung monokrom. Hanya menggunakan warna putih sebagai dasar dan corak hitam sebagai motif dari gambar sehingga akan tampak monoton.

Ilustrasi tersebut juga memiliki makna penting yaitu sebagai penggambaran dari situasi naskah tersebut. Dimana naskah tersebut memuat tentang rembugan atau obrolan. Fungsi dari ilustrasi tersebut adalah sebagai gambaran dari kedua tokoh wayang yang sedang mengobrol membahas tentang tata krama dalam bersikap dan berperilaku.

Ilustrasi pada naskah Rembagipun Gareng Lan Petruk Ing Tata Krama II memiliki makna di dalamnya. Sang penulis naskah ingin merepresentasikan situasi rembugan atau berunding. Dimana hal tersebut diwujudkan dalam bentuk ilustrasi 2 tokoh wayang dalam 1 gambar. Begitu juga dengan busana yang dikenakan dalam ilustrasi tersebut. Penggunaan setelan busana formal resmi pada ilustrasi I menggambarkan kehidupan bangsawan yang sedang santai mengobrolkan suatu hal. Dengan kewibawaannya mengenakan setelan jas dan duduk di atas kursi sofa masing-masing sembari menghisap pipet rokoknya mereka saling bertukar pendapat satu sama lain ditemani segelas minuman diatas meja. Lalu pada ilustrasi II, dalam tujuan penggambaran yang sama. Dimana kedua tokoh pada ilustrasi II digambarkan sedang duduk bersama dalam satu bangku panjang di luar ruangan, berbincang dengan santai membahas perihal tata krama. Mengenakan busana adat tradisional lengkap dengan blangkon, beskap, stagen, epek, jarik serta selop.

Apabila dikaitkan dengan pandangan ilmu lain, terdapat berbagai macam konsentrasi yang mempelajari tentang naskah kuno. Salah satunya adalah bidang Filologi, yaitu ilmu pengetahuan yang mengkaji mengenai sejarah, pranata, dan kehidupan suatu bangsa yang terdapat dalam naskah-naskah lama. Melalui kajian tersebut akan didapatkan pengetahuan dalam mempelajari perkembangan kebudayaan suatu bangsa yang meliputi bahasa, sastra, seni, dan lain-lain.  Keberadaan naskah kuno ini akan membantu dalam menjembatani antara masa lalu dan masa kini untuk dapat mengapresiasi keragaman sastra dan budaya hingga sejarah yang ada di Indonesia.

Berbicara mengenai tata krama yang digambarkan melalui naskah ini, dapat dikaitkan dengan teori kebudayaan Prancis yang terangkum dalam Civilisation Franais, bahwa keberadaan budaya, sejarah dan segala aspek kehidupan masyarakat Prancis memiliki peran dan makya yang penting. Dengan menjunjung tinggi budaya dan bahasanya kini kehidupan di sana menjadi tertata sesuai adab yang lebih baik. Sudah sepatutnya masyarakat Indonesia harus bangga dan menjunjung tinggi tata krama yang ada dengan tetap memfilter berbagai budaya luar, karena bila tidak ada yang meneruskan lalu siapa lagi. Sebagai agent of change perlu mengambil sikap melalui peran yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun