Tulisan ini untuk kalian yang sudah menikah dan sedang mempelajari ujian pernikahan itu sendiri.
Katanya menikah adalah ibadah? Dan ternyata bukankah semua bentuk ibadah itu adalah perjuangan..
Shalat 5 waktu, jika semudah itu maka tidak akan ada yang bisa melewatkannya,
Puasa, jika semudah itu tidak ada tempat makan yang ramai dikunjungi laki-laki saat siang hari.
Teryata memang benar semua jenis ibadah itu, minimal senyum saja butuh perjuangan. Disaat hari-harimu terlalu berat dan harus tetap tersenyum untuk orang-orang baik di sekitar kita, lagi-lagi perjuangan.
Begitupun menikah, ternyata berupa kebahagiaan yang tak luput dari ujian.Â
Sudah sampai mana kalian mengalami ujiannya? Sudah berapa kali berkata kepada diri sendiri untuk akan menyerah saja?
tidak semudah itu ujian bisa dikerjakan dan selesai, maka hal yang perlu kita pahami dari awal adalah menikah itu menjemput ujian dan masalah yang lebih pelik daripada kehidupan saat lajang. Tapi tahukah? seberapa tingkat kesabaran yang sudah naik akibat ujian pernikahan?
yang mungkin awalnya kita tak bisa menahan apapun, sekarang kita si paling pandai menahan dan menyembunyikan sakit hati.Â
Karena menikah bukan tentang aku dan kamu, tapi aku kamu, keluargamu, keluargaku, tetanggamu, tetanggaku, duniamu duniaku.
Seluas itu dan kadang dituntut untuk bisa menyenangkan semua lingkungan bukan?
Terasa berat dan memuakkan saat kita dituntut untuk menyempurnakan ekspetasi mereka bukan?
Ya, salah satu ujian pernikahan adalah memenuhi ekspetasi orang-orang terdekat.
Setelah resepsi, ekspetasi mereka akan mengarah kepada kedua mempelai bisa diberikan momongan secepatnya,Â
Setelah memiliki anak, ekspetasi mereka kita akan dengan sempurna mendidik, membesarkannya sesuai standar nilai negara ini.
Padahal jika saja di jalani, setiap langkahnya penuh cobaan. Karena baru saja kita akan adaptasi dengan dua kepala berbeda disatukan dalam satu atap, yang mana dari sisi selera pun bisa berbeda banyak, belum lulus adaptasi itu, tertimpa lagi harus adaptasi dengan ekspetasi orang lain.
Tulisan ini bukan untuk mengundurkan niat bagi para kawan yang ingin segera menikah, bukan. Malah mungkin menjadi motivasi. Karena tantangan selalu menyenangkan jika berhasil dilewati, mungkin sadar nggak sadar, setelah menikah kita menjadi dua kepribadian ganda, karena keadaan.Â
Si pendiam akhirnya sangat sering berbicara karena akhirnya banyak hal yang bisa diutarakan kepada suaminya, yang paling terpercaya yang paling menjadi buku harian di setiap malam sebelum tidur.
Si gegabah, akhirnya belajar berhati-hati karena jika salah langkah yang malu bukan lagi dirinya sendiri, akan tetap ada sosok pasangan hidupnya akan menanggung semuanya,
Segalanya menjadi hal baru untuk dilakukan. Dari sanalah menurut penulis, seni dari menikah. Tidak bisa lagi memikirkan hanya sebab akibat kepada diri sendiri. Akhirnya satu sama lain saling menjaga, menjaga segala aspeknya.Â
Saat dulu mungkin begitu teguh ingin berkarir jauh, ingin melampaui batas limit dan mendapatkan gaji yang maksimal, setelah menikah, ada hal lain yang diinginkan, yang membuat nyaman dan susah ditinggalkan, akhirnya menurunkan ambisi demi mendapat dua hal yang berbeda sekaligus.Â
Contoh: berkarir biasa saja, tapi tetap selalu bisa ada di rumah pulang dan menemani pasangan atau anak atau bahkan meninggalkan karir demi menjadi IRT full. Luar biasa kan? menikah bisa mengubah apa yang sebelumnya diyakini, memberi pandangan baru yang luas.
Penulis pun, masih memaknai pernikahan sendiri. Dan itu tiada akhirnya, pastinya kita akan terus belajar, sampai mahir, sampai tua dan tetap bersama.Â
Semangat ya, mari kita lanjut di Part 2 nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H