Assalamu alaikum
Kota Makassar panas banget, macet, sesak, dan Rantasa’ ...
Saya hanya bisa menghela nafas dalam-dalam ketika mendengar pengakuan langsung dari seorang teman yang kebetulan baru menginjakkan kakinya di Tanah para Daeng, Kota Makassar. Tanah beta dilahirkan, dibesarkan, dan dididik. Kota kelahiran dan tempatku menuntut ilmu, hidup puluhan tahun serba berkecukupan bersama kedua orang tua dan saudara tersayang. Banyak kenangan suka duka yang saya lalui di Makassar ini. Kedua orang tuaku memang bukan asli Makassar, mereka berasal dari luar daerah di Sulawesi Selatan. Bapakku orang Palopo, dan Mamaku orang Pinrang. Demi menuntut ilmu, Bapak nekat ke Makassar seorang diri, meninggalkan Palopo kota kelahirannya. Dengan bekal seadanya, Bapak menumpang sebuah bus reot tahun 60-an. Menuntut ilmu agama sekaligus mencari mata pencaharian diperkotaan yang belum berkembang pada jaman itu. Sebagaimana kita bahwa orang dulu, masih sangat tabu dengan pendidikan, bahkan Bapak rela menentang perselisihan dengan saudaranya di kampung demi ilmu. Ya, tidak ada pilihan lain, Bapak memang punya pemikiran yang panjang tentang masa depan. Sangat berbeda jauh dengan masyarakat kampung lainnya, mereka lebih memilih untuk berladang dan bertani yang dinilai sangat berpengaruh dalam membiayai kehidupan keluarga di rumah. Baginya, tak ada gunanya bersekolah, karena hanya akan membuang-buang waktu dan uang saja.
Mengapa harus ke Makassar? Ah, tak ada alasan pasti, karena setiap orang punya tujuan yang berbeda, sudut pandang yang berbeda, pokoknya hidup ini adalah pilihan. Era 70-an menjelang 80-an, Bapak bekerja keras membangun sebuah rumah ditengah lahan kosong nyaris tak berpenghuni. Jika saya mengingat-ingat kembali kisah perjuangan bapak seperti diatas, sungguh, hati saya sakit sekali, diam-diam menangis, terharu, dan bangga. Saya tersadar, Makassar selalu menyisakan banyak moment indah dimasa lampau, sekarang dan akan datang.
Makassar macet dan panas memang benar adanya. Wajar sekali jika orang luar yang berdatangan ke Makassar semudah itu mengungkapkan ketidaknyamanannya. Saya memaklumi, karena mereka memang berasal dan terbiasa hidup didaerah pegunungan dengan suasana kota yang tidak terlalu rame dengan kendaraan. Tidak ada yang salah, karena Makassar sendiri terletak ditepian lautan lepas. Sebuah kota metropolitan yang mulai mirip sikonnya dengan ibukota Jakarta menurut pemberitaan media. Kota yang berhiaskan gedung-gedung tinggi, ruko-ruko, dan pusat perbelanjaan mewah. Tidak sedikit yang mulai melirik kota Makassar karena kemajuan dan perkembangannya yang memuaskan.
Jalan raya sesak dengan kendaraan yang berlalu lalang, menumpuk dibadan jalan yang tidak terlalu lebar, dan lumayan bising membuat kepala tambah stress. Tidak perlu ada yang heran dengan kemacetan Makassar, disamping meningkatnya kepemilkan kendaraan pribadi, pun para pekerja pulang pergi dalam jam yang bersamaan. Saya tidak mempermasalahkannya, Makassar kini mulai bernafas lega, beberapa ruas jalan sudah dibentuk dalam satu arah, pembelokan juga diatur sedemikian rupa yang semakin panjang jarak tempuhnya. Saya sempat mengeluh dan kewalahan, tapi semua dilalui dengan senang hati saja, lama-lama bakalan terbiasa dan enjoy.
Makassar, lain dulu lain sekarang ….
Ibarat seorang manusia biasa yang tak pernah luput dari kesalahan, mudah keliru, dan serba kekurangan, jika dia tidak menyadarinya, maka dia akan terus menjadi lemah dan menggantungkan diri kepada orang lain, menjadi pemalas, tidak berguna, tidak berprestasi, dan tidak kreatif. Langkah awal yang harus dia tempuh adalah mulai mengikis kesalahannya satu per satu, memperbaiki pola pikir, gaya hidup, dan menggali skill dalam jiwanya agar menjadi orang yang lebih produktif dan inovatif. Tidak semudah membalik telapak tangan. Segala sesuatu yang ingin dirubah akan selalu berproses dijalannya masing-masing. Tinggal bagaimana upaya dan kerja keras kita untuk mengubahnya. Yup, sebuah kota yang memiliki jumlah yang tidak sedikit tentu akan sangat sulit dikelola atau diatur hanya dengan mengandalkan satu orang pemimpin saja. Dibutuhkan dukungan dan gotong royong dari masyarakat setempat untuk mewujudkan satu perencanaan program yang dianggap handal dalam penanganan lingkungan misalnya. Sekitar setahun terakhir ini, Makassar sudah berbenah diri, berpikir keras bagaimana supaya setiap sudut kota memiliki lingkungan yang bersih, nyaman, dan sejuk.
Jika Anda berjalan-jalan berkeliling kota Makassar baik itu dijalan raya atau dilorong-lorong jalan, saya pastikan Anda akan menemui warga setempat sibuk dengan rutinitasnya mengumpulkan dan mengangkut sampah rumah tangga. Fasilitas kendaraan yang sudah disiapkan berupa Viar dan truk yang didesain unik sedemikian rupa juga merupakan salah satu perlengkapan yang mendukung jalannya program ini. Makassar tidak Rantasa’ ini masih terus disosialisasikan ke seluruh elemen masyarakat karena tidak memungkiri bahwa warga Makassar kadang jenuh, lupa, dan malas atau tidak konsisten menjalankan kewajibannya.
Secara etika, saya sempat mendengar celoteh seorang teman yang mengatakan bahwa ternyata orang Makassar disangka semuanya kasar. Bagaimana bisa begitu? Oh, ternyata karena kata Kasar yang bersatu dalam kata MaKASSAR. Sebuah persepsi yang keliru menurut sebagian banyak orang Makassar, geli dan kikuk mendengar tanggapan tersebut. Sampai hari ini pun saya masih mendengar tanggapan yang senada. Seorang teman yang pernah berkunjung ke Makassar membenarkan tapi juga mengklarifikasi bahwa pada kenyataannya orang Makassar tidak seperti yang digaungkan diluar sana, justru sebaliknya, orang Makassar punya etika yang ramah, santun, dan bersahabat. Suara orang Makassar memang tergolong keras dan meninggi, itu dikarenakan faktor lingkungan dan dialek bahasa saja. Padahal berkat suara seperti itu, orang Makassar dikenal kejujurannya, keterbukaannya, dan tegas dalam mengambil keputusan.
So, kata siapa kalo Makassar itu bukan Kota Cerdas? Mari ki’ semua Daeng, beri dukungan dan do’a ta’ untuk mewujudkan Makassar menjadi Kota Cerdas kini dan selamanya. Buktikan bahwa Makassar Bisa Tonji’ berkarya, berprestasi, dan berinovasi. Jangan meremehkan dan pesimis dengan kota sendiri, karena kita tidak pernah tahu tentang harta karun yang tersembunyi dibalik rerimbunan dan batu-batu besar. Makassar punya segudang sumber daya, punya generasi muda yang cerdas, kreatif dan percaya diri. Ewako Makassar!
Wassalam [AAF]
Makassar, 25 Mei 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H