Mohon tunggu...
Aida Lathifa
Aida Lathifa Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Yogyakarta. Sedang belajar, belajar, dan belajar. .

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menelisik Dunia Kampanye dari Film “Game Change"

6 Januari 2014   22:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:05 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_288711" align="aligncenter" width="268" caption="Poster Film Game Change (sumber : wikipedia)"][/caption]

Film ini bercerita tentang Kampanye Pemilihan Presiden Amerika tahun 2008. Diceritakan bahwa dua kandidat yaitu John McCain dan Barrack Obama bersaing memperebutkan jabatan sebagai Presiden AS. Karena kuatnya pendukung Barack Obama, John McCain meminta Steve Schmidt sebagai tim sukses kampanye dan memberikan saran politik kepadanya. Kemudian Steve Schmidt menyarankan memilih kandidat wakil presiden yang menarik para pemilih perempuan dan para pemilih konservatif. Dipilihlah secara singkat (5 hari) Sarah Palin, seorang Gubernur dari negara bagian Alaska. Pada awal munculnya Sarah Palin, pendukung John McCain menerima dengan antusias karena Sarah Palin memiliki karisma dan cara berbicara yang dengan baik.

Pada wawancara pertama, Palin cukup berhasil menghadapi pertanyaan-pertanyaan. Tetapi, pada wawancara yang kedua, Palin mengalami krisis kepercayaan diri. Ia merasa dirinya diatur oleh tim sukses kampanye pemenangan John McCain. Dari pakaian, gaya rambut dan segala macamnya semua diatur. Ia merasa didikte dengan semua informasi-infromasi yang (memang) harus ia ketahui. Sarah Palin menjadi benar-benar depresi dan terlihat mengacuhkan sekitarnya. Maka, hancurlah seorang Sarah Palin pada wawancara kedua, karena dia sama sekali tidak mempersiapkan dan tidak mau mendengarkan apa yang sudah disiapkan oleh Tim Sukses.

Nilai-nilai retoris yang ada dalam film mampu dijadikan contoh ketika kita hendak berpidato atau setidaknya berbicara di depan umum. Ada banyak jenis retorika yang dapat kita gunakan untuk berbicara. Diantaranya adalah :

  • Manuskrip, retorika dengan naskah (pidato).
  • Memoriter, pidato yang dihafalkan.
  • Ekstempore, retorika dengan outline.
  • Impromtu, retorika mendadak.

Menurut saya, Sarah Palin dalam setiap pidatonya menggunakan teknik memoriter yaitu dia menghafalkan naskah pidato yang sudah dibuat oleh Tim Kampanye. Sehingga, ia terkesan menjadi seorang calon wakil presiden yang cerdas dan menguasai masalah. Tetapi, karena dia mengalami masalah kehilangan kepercayaan diri tadi, dia melakukan impromptu, yaitu retorika mendadak karena dia tidak mempersiapkan pidato/materi wawancara. Padahal, dia sama sekali belum menguasai materi dan itu menjadi masalah untuknya sehingga wawancara yang dilakukan gagal.

Dari apa yang dilakukan oleh Sarah Palin saya dapat menyimpulkan bahwa sebelum memulai melakukan pidato/wawancara (yang berhubungan dengan banyak khalayak) jangan lupa mempersiapkan konsep dan materi. Setelah mempersiapkannya, kita harus menguasai sehingga ketika berbicara kita akan terlihat sangat menguasai. Selain itu, jangan lupa untuk bersikap luwes (jangan kaku) dan menguasai diri sehingga kita tidak grogi, mual dan sebagainya.

Film Game Change ini merupakan salah satu film yang memberikan manfaat kepada penontonnya. Salah satu nilai edukasi dari film ini adalah pentingnya kerjasama yang baik ketika sedang bekerja. Dalam film ini dicontohkan bagaimana seharusnya melakukan kerja sama dalam sebuah tim, yaitu Tim Kampanye. Dari film, bisa kita lihat ketika Sarah Palin mengacuhkan teamnya, maka yang dia dapat hanya kerugian, dia merasa malu dihadapan orang banyak karena terlihat bodoh ketika wawancara.

Selain itu, pengambilan keputusan yang matang juga dapat kita pelajari dari film ini. misalnya adalah ketika team memutuskan memilih Sarah Palin sebagai calon wakil Presiden John McCain. Team hanya melakukan riset 5 hari untuk memutuskan Palin. Ketika wawancarapun, Palin tidak diwawancarai secara mendalam. Akhirnya, masalah muncul, Palin tidak seperti yang dibayangkan oleh Tim. Dia tidak menguasai berbagai masalah yang semestinya harus ia kuasai ketika menjadi wakil presiden. Ini menjadi tugas berat untuk TIM agar me-make up Palin agar tidak terlihat bodoh dihadapan public. Oleh sebab itu, dapat saya simpulkan bahwa perencanaan yang matang harus dilakukan dalam hal apapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun