Mohon tunggu...
Nurhaidah Saragih
Nurhaidah Saragih Mohon Tunggu... Guru - Learning by Doing and Traveling

Seorang perempuan Indonesia yang sekarang menetap di Jerman bersama suami, senang membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tidak Masalah Menjadi Netral atau Memihak

10 Februari 2020   23:30 Diperbarui: 11 Februari 2020   08:26 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MICHAEL BRYANT / STAFF PHOTOGRAPHER

Ini berkaitan dengan dua kali pemilihan presiden (pilpres) di Indonesia pada tahun 2014 dan 2019, di mana terjadi polarisasi kubu pendukung masing-masing calon presiden (capres). 

Di masing-masing kubu memiliki pendukung fanatiknya tentu saja. Juga tetap ada pendukung-pendukung moderat dan rasional di masing-masing pihak. 

Di tengah dua kubu itu ada kubu yang netral tidak memihak salah satu kubu, yang mereka katakan bahwa mereka netral dan lebih memilih menjadi golongan putih (golput) dalam gelaran pemilihan presiden. 

Saya teringat kata-kata teman saya bahwa dia sangat menyesal telah menjadi pendukung fanatik salah satu capres di tahun 2014. Tahun 2014 dia sangat mendukung sekali capres pilihannya, sampai 'perang mulut' dengan teman-temannya di sosial media juga dia ladeni. 

Namun setelah capres pilihannya terpilih, banyak hal yang menjadi harapannya pupus. Dia sangat kecewa sekali. 

Kelanjutannya pada pilpres 2019 teman saya sama sekali tidak mau mendukung capres dari kubu mananpun. Memilih menjadi golput, dan berjanji di masa selanjutnya tidak akan pernah lagi menjadi pendukung salah satu capres di pilpres-pilpres selanjutnya.

Menjadi partisan dan memihak salah satu presiden dianggap hal yang paling memalukan dan terbodoh yang pernah ia lakukan. Selanjutnya mungkin ia lebih cenderung akan menjadi Social Justice Warrior (SJW). 

Sekarang dia menganggap bahwa kegiatan pilpres lima tahunan semacam hal yang 'omong kosong' dan cuma mengejar kekuasaan semata. 

Benarkah tidak akan pernah ada capres atau presiden di Indonesia yang layak untuk dipilih dan didukung? Apakah semua capres atau presiden selama ini tidak ada yang bisa membawa perubahan yang siknifikan untuk negara Indonesia?

Jawabannya saya kira bisa beragam dan tergantung dari opini dan pengalaman masing-masing orang. Kalau kita terlalu berharap capres yang kita dukung akan merealisasikan semua harapan dan keinginan yang kita idam-idamkan bagi bangsa, siap-siap saja jika harapan itu akan berujung pada kekecewaan yang sangat mendalam. 

Kalau kita juga terlalu tidak percaya pada setiap capres di setiap pilpres dan beranggapan semua capres adalah politisi busuk yang tidak ada bagus-bagusnya sama sekali, bisa jadi kita akan selalu benci membabi buta terhadap apapun kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah. 

Saya pernah dua kali menjadi golput pada pemilihan presiden dan legislatif tahun 2004 dan 2009. Kala itu saya menganggap bahwa tidak ada satupun capres yang bisa membawa perubahan yang siknifikan bagi bangsa Indonesia. 

Apalagi tahun 2004 tokoh bangsa yang saya kagumi; Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tidak lolos dalam seleksi capres yang diadakam oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Beliau mengkritik keputusan KPU saat itu karena melanggar Undang-Undang (UU)  Kesehatan dan UU tentang Penyandang Cacat. Kala itu saya berpihak pada Gus Dur dan mengikuti langkahnya menjadi golput selama dua kali. 

Selama masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saya juga sempat tidak percaya dengan capres-capres yang akan diusung di pemilu-pemilu berikutnya. 

Apalagi ketika Gus Dur meninggal dunia pada tahun 2009. Nyaris saya tidak punya sosok ideal lagi yang bisa saya yakini dapat membawa banyak perubahan siknifikan untuk bangsa ini. 

Tapi dinamika pilihan berpolitik seseorang tidaklah sesederhana itu. Di tahun 2012 saya tertarik dengan calon kepala daerah DKI Jakarta yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bersama Partai Gerindra yaitu Jokowi dan Ahok.

Saya berharap positif pada mereka berdua, akan membawa perubahan yang siknifikan setelah mereka terpilih sebagai pemimpin di ibukota negara Indonesia. 

Bisa jadi ada faktor lain yang membuat saya menjatuhkan pilihan pada mereka berdua, karena mereka diusung oleh dua partai yang saat masa pemerintahan SBY bukan menjadi partai yang menguasai pemerintahan.

Terutama PDIP saat itu, tidak memiliki satupun kader di jajaran menteri masa pemerintahan SBY, dan lebih memilih menjadi partai oposisi. Jadi menarik juga buat saya untuk menjatuhkan pilihan pada calon-calon yang diusung partai oposisi. 

Dari sini pula akhirnya saya memutuskan tidak menjadi golput pada pemilihan presiden tahun 2014. Saya memilih untuk menjadi pendukung Jokowi untuk maju pada pemilihan presiden saat itu. 

Saat itu tentu saja ada harapan-harapan besar dengan terpilihnya beliau di tahun 2014, agar keadaan di Indonesia menjadi lebih baik.

Meski tidak seratus persen harapan-harapan saya sebagai rakyat menjadi kenyataan, tapi saya masih memberikan dukungan bagi Jokowi. Bukan sosok presiden yang sangat ideal mungkin, tapi latar belakang beliau sebagai orang sipil dan bukan orang militer, menjadi salah satu alasan saya juga mendukung beliau. 

Hingga tahun 2019 ketika ada ajang pilpres berlangsung, saya tetap menjatuhkan pilihan saya pada Jokowi. Dengan alasan pribadi saya, beliau akan bisa menjaga pluralisme dan toleransi di Indonesia, yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.

Namun ketika kini, masalah intoleransi malah semakin subur, saya tentu saja kecewa. Sebagai pendukung yang merasa menjatuhkan pilihan secara rasional, saya juga berhak untuk mengkritik kebijakan beliau yang belum optimal dalam masalah intoleransi di Indonesia. 

Sekarang saya berpikir kembali di pilpres berikutnya untuk menjadi golput, jika capres-capres yang diusung di pilpres selanjutnya tidak sesuai dengan sosok ideal yang saya inginkan untuk membuat perubahan yang siknifikan bagi bangsa Indonesia.

Bagi saya pribadi sosok presiden paling ideal yang pernah ada di Indonesia itu Gus Dur. Jika saja ada capres yang hampir sekaliber Gus Dur di tahun 2024, bisa jadi saya tidak akan menjadi golput.

Pada prinsipnya saya tetap menghormati pilihan politik masing-masing orang, apakah ia memilih capres tertentu atau ia tidak memilih capres sama sekali alias golput. 

Namun saya tidak sampai mengambil keputusan ekstrim seperti teman saya dengan sesumbar mengatakan bahwa tak akan pernah lagi menjatuhkan pilihan terhadap capres di pemilihan-pemilihan presiden yang berikutnya. Perkembangan dunia perpolitikan di Indonesia itu sangat dinamis. 

Akankah pilpres di tahun 2024 memunculkan sosok yang bisa membawa Indonesia menjadi jauh lebih baik lagi? Kita tunggu dan lihat terus perkembangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun