Ada lagi pengalaman lainnya ketika saya dalam perjalanan sendirian tanpa suami mengendarai kereta api dari Hannover menuju Stuttgart. Kala itu saya baru saja selesai mengunjungi seorang teman Indonesia di Hannover selama tiga hari.Â
Teman saya ini menikah dengan warga negara Jerman keturunan Turki yang tentu saja beragama Islam. Selama mengunjungi mereka saya memakai jilbab untuk menghormati keluarga tersebut. Sampai pulang menuju Stuttgart, saya tetap menggunakan jilbab.Â
Di kereta saya mencari tempat duduk yang kosong. Kebetulan ada kursi kosong di depan pasangan suami isteri  yang mungkin berusia sekitar tujuh puluhan. Saya menyapa mereka dan meminta izin untuk duduk di kursi yang letaknya berhadapan dengan mereka. Mereka kelihatan enggan menjawab sapaan saya dan agak melengos tak mau menatap saya. Pertama saya agak bingung dengan sikap mereka, kemudian baru saya menyadari, mungkin mereka bersikap tidak ramah karena melihat saya memakai jilbab.Â
Sepanjang perjalanan Hannover - Stuttgart selama kurang lebih empat jam, saya lihat kedua orang tersebut, beberapa kali melengos setiap kali kami berpapasan pandangan. Terkadang mereka membaca koran atau majalah dengan menutupi wajah mereka di hadapan saya.Â
Sesekali mereka berbincang dengan tetap mengarahkan pandangan di antara mereka saja dan menatap keluar jendela di sela-sela perbincangan. Sepertinya ada rasa sedikit takut mungkin melihat penampilan saya yang berjilbab. Saya bersikap santai saja dengan kekakuan dan ketidakramahan mereka pada saya.Â
Tiba di stasiun kereta api Stuttgart, saya harus berganti kereta menuju Rottenburg. Tak disangka kami bertemu lagi dalam kereta yang bertujuan sama. Kali ini mereka sudah mengambil posisi duduk jauh dari posisi kursi tempat saya duduk. Saya berpikir itu lebih baik daripada mereka nanti tidak nyaman kembali duduk di dekat saya.Â
Dari pengalaman kali inipun saya tidak bisa memastikan secara jelas apakah itu salah satu bentuk perlakuan rasis kepada saya atau tidak. Bisa jadi tabiat mereka berdua memang kurang bisa ramah dengan orang lain, terutama orang asing seoerti saya, bisa jadi juga mereka berhati-hati dalam bersikap terhadap pendatang seperti saya. Apakah yang memakai jilbab di sini lebih rentan terhadap perlakuan rasis? Saya belum bisa memastikan juga, pasalnya teman-teman kursus saya yang berasal dari Suriah, Afghanistan, Irak dan lainnya, banyak yang masih menggunakan jilbab, tapi saya lihat mereka nyaman-nyaman saja.Â
Lebih dua tahun lamanya menetap di Jerman, dapat saya katakan bahwa lebih sering saya menjumpai orang yang ramah dan bersahabat daripada orang yang sebaliknya. Dua kali pengalaman di atas yang mungkin bisa dikategorikan sikap rasis penduduk setempat, masih lebih sedikit dibanding pengalaman baik yang saya dapatkan di sini.Â
Saya kira orang-orang rasis itu ada di mana-mana, bukan saja di Jerman, di Indonesiapun ada. Tapi pengalaman yang saya dapatkan, lebih banyak orang yang tidak rasis dibanding orang yang rasis. Sayapun sampai saat ini berusaha untuk tidak cepat tersinggung ketika orang tidak bersikap ramah pada saya.Â
Apakah ada di antara pembaca yang mengalami perlakuan rasis?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H