Mohon tunggu...
Nurhaidah Saragih
Nurhaidah Saragih Mohon Tunggu... Guru - Learning by Doing and Traveling

Seorang perempuan Indonesia yang sekarang menetap di Jerman bersama suami, senang membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menikah dengan Orang Bule Tidak Sertamerta Jadi Kaya Raya

1 Februari 2020   20:45 Diperbarui: 1 Februari 2020   21:06 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Eh...suami kamu orang 'Bule' ya? 'bule' Jerman? Wah boleh dong beliin saya tiket buat jalan-jalan ke Jerman!"

"Wow...suami kamu orang Jerman....nitip oleh-oleh barang branded Jerman ya! Tas atau sepatu juga boleh deh..." 

"Boleh dong traktir kita makan-makan di restoran, kan biasanya yang nikah sama orang 'Bule' duitnya banyak!"

Celotehan-celotehan di atas pernah saya dapatkan setelah orang-orang di sekitar saya tahu bahwa saya telah menikah dengan orang Jerman. Kebetulan suami saya warga negara Jerman dan berkulit putih, yang biasa pula dikenal oleh orang-orang Indonesia dengan panggilan 'Bule'.

Saya paham bahwa yang dimaksud 'Bule' adalah orang-orang kulit putih dengan mata berwarna-warni, rambut pirang atau coklat, serta hidung mancung.

Mereka sebenarnya bukan saja orang Eropa, bisa juga orang Amerika, Australia, Selandia Baru, bahkan orang-orang Arab dan Turkipun sebagian juga memiliki ciri-ciri seperti yang saya sebutkan di atas. 

Tetapi, benarkah anggapan sebagian orang Indonesia bahwa menikah dengan orang 'Bule' otomatis kita menjadi kaya raya? Bisa jadi anggapan itu benar kalau saya menikah dengan Bill Gates, Mark Zuckerberg, Elon Musk, Sergey Brin, atau Pangeran William dari Inggris. Mereka orang-orang super kaya di dunia, jangankan beli tiket pesawat dari Indonesia ke Jerman, beli tiket jalan-jalan ke planet Mars juga mampu. 

Kalau soal jalan-jalan ke Eropa, banyak juga selebritis Indonesia yang bisa membawa keluarga dan bahkan asisten-asisten pribadinya ke tempat-tempat terkenal di Eropa.

Contohnya saja Anang dan Ashanty pernah membawa keluarga dan asisten-asistennya jalan-jalan ke luar negeri. Saya juga pernah membaca di suratkabar online bahwa artis Ruben Onsu bisa mengumrohkan karyawan-karyawannya ke tanah suci Mekkah. Jangankan selebritis, orang-orang kaya di Indonesia juga cukup banyak yang bisa membawa keluarga mereka jalan-jalan keliling dunia. 

Realitanya saya menikah dengan suami saya yang bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan swasta Amerika. Namanya pegawai biasa, gaji yang diterima tiap bulannya juga mungkin sama seperti kebanyakan karyawan swasta pada umumnya. 

Karena itu suami saya pernah mengatakan kepada saya sebelum kami menikah bahwa ia bukanlah seorang pria yang kaya raya, tapi bukan berarti juga bahwa ia orang yang sangat miskin.

Beliau hanya mengatakan bahwa penghasilannya sebagai karyawan bisa menafkahi hidup kami berdua di Jerman, selama saya belum mendapatkan pekerjaan yang baru di Jerman. Itupun dengan catatan bahwa pengeluaran kami setiap bulannya tidak boleh lebih besar dari pendapatan yang ia terima tiap bulannya. 

Setelah menikah dengan orang 'Bule' tidak menjamin saya bisa membeli tas, baju, sepatu, dan lainnya dengan merek-merek mahal dan ternama. Tidak menjamin saya bisa jalan-jalan keliling dunia. Tidak menjamin saya punya rumah dan mobil mewah. Tidak menjamin saya bisa membelikan tiket gratis jalan-jalan ke Eropa untuk teman-teman saya, jangankan teman, keluarga sayapun sampai sekarang belum bisa saya belikan tiket jalan-jalan ke negeri suami. Karena apa? Karena memang suami saya bukan orang kaya raya. 

Tidak saya pungkiri bahwa ada juga perempuan-perempuan Indonesia yang menikah dengan orang 'Bule', bisa mendapatkan kehidupan yang lebih mewah daripada sebelum ia menikah dengan orang 'Bule'. Tapi tidak sedikit pula perempuan-perempuan Indonesia yang menikah dengan orang 'Bule' tetap hidup sederhana. 

Saya hampir setiap hari di Jerman harus naik bis atau kereta untuk datang ke tempat kursus bahasa Jerman. Makanan yang saya makan di Jerman tidak lebih mewah daripada makanan yang pernah saya makan di Indonesia. Baju yang saya pakai, hanya beberapa saja yang memiliki merek ternama, itupun saya beli ketika ada diskon besar-besaran.

Bahkan suami saya sendiri lebih sering beli kaus kaki obralan di Supermarket di kota kami. Untuk pekerjaan rumah sehari-hari seperti menyapu dan mengepel lantai, memasak, mencuci baju, mencuci piring dan lainnya harus kami kerjakan bersama-sama, tidak pakai pembantu rumah tangga, karena memang memakai jasa pembantu rumah tangga tidak umum di Eropa, hanya orang-orang super kaya saja mungkin yang memakai jasa pembantu rumah tangga. 

Jadi saya hanya bisa tersenyum dan tertawa geli dalam hati kalau ada orang-orang Indonesia yang saya kenal minta diajak jalan-jalan dan dibelikan tiket ke Jerman, minta dibelikan barang-barang 'branded', atau minta ditraktir makan di restoran.

Salah satu alasan mereka karena saya kerap beberapa kali memposting foto jalan-jalan bersama suami ke negara lain di Eropa. Itu bisa menandakan bahwa saya dan suami punya uang yang sangat banyak. 

Jalan-jalan memang salah satu kegemaran saya dan suami. Tapi kegiatan jalan-jalanpun harus kami rencanakan jauh-jauh hari, terutama besarnya dana yang harus kami alokasikan untuk hal tersebut.

Saya dan suami biasa menginap di hotel-hotel murah ketika sedang traveling. Ketika jalan-jalan keliling kota-kota besar lebih sering menggunakan transportasi publik atau jalan kaki. Juga perlu diingat bahwa kegiatan jalan-jalan tidak bisa sering kami lakukan. Untuk jalan-jalan ke tempat-tempat yang dekat dari Jerman mungkin hanya bisa kami lakukan setahun dua kali.

Sedangkan untuk jalan-jalan yang lebih jauh seperti ke Indonesia atau Amerika Serikat hanya bisa dilakukan setahun sekali atau bisa jadi dua tahun sekali atau bisa tiga tahun sekali.

Bahkan tidak semua perempuan Indonesia yang menikah dengan pria Jerman, bisa pulang kampung ke Indonesia setiap tahun. Ada yang dua tahun sekali, tiga tahun sekali, lima tahun sekali atau mungkin lebih dari lima tahun baru bisa pulang kampung mengunjungi sanak saudara di Indonesia.

Jalan-jalan ke Paris dari kota kami Stuttgart, menggunakan kereta api cepat selama tiga jam. Jarak Stuttgart ke Paris sekitar 600 km, mungkin seperti jarak Jakarta - Pacitan Jawa Timur.

Kami bisa jalan-jalan ke negara Eropa lainnya, karena di sekitar negara Jerman ada beberapa negara yang berbatasan dekat dengan Jerman seperti Perancis, Swiss, Austria, Italia, Belanda, Polandia, dan Denmark. Padahal bisa jadi jarak dari kota kami ke kota lain di negara Perancis cuma sekitar dua jam naik mobil.

Sekali lagi saya ulangi bahwa menikah dengan orang 'Bule' tidak menjamin kita menjadi kaya raya. Sebagai seorang isteri saya juga perlu bekerja keras jika ingin kehidupan saya lebih baik lagi.

Juga patut dicatat bahwa saya menikah dengan seseorang bukan karena dia orang 'Bule' atau tidak. Bukan karena semata-mata ingin mendapatkan uang yang banyak dari pasangan hidup saya.

Bukan karena cuma berdasarkan cinta buta. Tetapi yang lebih penting, bahwa saya menikahi seseorang karena berpikir bahwa orang yang saya nikahi akan bisa saling menghormati dan bekerja sama dengan baik dalam menjalani kehidupan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun