Mohon tunggu...
Mustofa Ludfi
Mustofa Ludfi Mohon Tunggu... Lainnya - Kuli Tinta

Laki-laki yang punya prinsip: "Lebih baik menyalakan lilin meski redup, daripada harus mengumpat kegelapan."

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Siluet (Laki-laki Udara-Chapter 1)

24 Agustus 2024   21:42 Diperbarui: 24 Agustus 2024   21:47 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Koleksi Pribadi

LAKI-LAKI UDARA

 

Laki-laki itu mematung di atas beton yang disulap menjadi kursi. Pandangannya mendongak ke atas seperti sedang menantang langit. Rambutnya tergerai bebas. Beberapa kali sedikit bergoyang. Udara Malang pagi itu seperti beralun. Melahirkan nada. Harapan-harapan.

Pagi yang dingin. Ia menyambutnya. Kebeningan jiwa; meditasi menyambut hari. Lalu terus mematung. Tanpa suara. 

Baca juga: Ompyang Jimbe

Di kanannya berdiri secangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Ia bertelanjang dada. Tubuhnya menjadi parodi gratis gerombolan semut. Mereka bersembunyi di sela-sela kusen kamar. Lantas mengadakan sidang pleno guna membahas bentuk tubuhnya yang semakin menyusut. Sidang itu berlalu tanpa ada keputusan yang bisa dicermati bersama. Ia tetap bernapas. Tidak tersengal. Baik-baik saja. Seperti tidak sedang terjadi apa-apa. Berjalan seperti yang sudah-sudah.

Detik terus berlalu. Terburu-buru. Ia membungkus tubuh susutnya. Malang sudah mulai menghangat. Beberapa pesan untuk semesta meluncur. "Terima kasih. Semesta Raya. Terima kasih untuk kebaikan pagi ini." 

Meditasi selesai. Saatnya menikmati kopi.

***

Ia tergila-gila dengan pendakian. Dari Panderman ke Mahameru. Juga beberapa gunung yang ada di luar Jawa. Ia membuat rencana berkeliling dunia. Ia ingin sekali merasakan dinginnya musim dingin di Eropa. Kerasnya tanah hitam Afrika. Megahnya bumi Amerika. Namun, rencana itu harus dikemas dulu. Rapi. Dalam bingkai takdir yang abu-abu. Tuhan tampaknya masih belum setuju. 

Sejak memutuskan untuk berhenti kuliah, ia lebih sering merenung dan menerawang jauh ke masa depan. Ia -sekarang- selalu menggambar apa saja tentang masa depan. Termasuk jatah hidupnya yang semakin sempit. Sebentar lagi ia akan tamat. Karena monster yang mengunyah livernya sudah tidak bisa didiamkan. Sudah sejak dulu, ia merawat bayi monster itu dengan baik: Hepatoseluler Karsinoma! 

Ia sadar, tumor ganas yang berasal dari sel parenkim atau saluran empedu itu adalah murni ujian semesta. Ia tahu, tubuh yang ia miliki bukan pewaris sah hepatitis B dari orang tuanya; yang merupakan salah satu faktor pemicu tumbuhnya bayi monster menakutkan itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun