Mohon tunggu...
Chandra Chandra
Chandra Chandra Mohon Tunggu... -

Warga Indonesia yang setia, selebihnya kesetiaan pada hidup dan kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

WikiLeaks: Keep Us Strong

9 Desember 2010   17:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:52 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia informasi sedang ramai. WikiLeaks lagi naik daun; menjadi buah bibir, baik itu bagi rezim keterbukaan (openness rezim) mapun lawannya, rezim yang menyukai ketertutupan (discloser). Negara adidaya berang, sedang seorang yang bernaung di bawah panji “WikiLeaks” mungkin saja senyum-senyum sambil tetap berteriak “Keep Us Strong” and “Help Wikileaks Keep Governments Open”.Tertarik dengan teriakan itu, maka saya sedikit memberi apresiasi.

Menapak Puncak Kemerdekaan Akses Informasi

Jelang era Millenium (tahun 2000), kebebasan akses informasi menjadi target banyak pihak di seluruh dunia, untuk segera diwujudkan. Sejarah mencatat, misalnya salah satunya organisasi yang getol untuk hal dimaksud adalah Article 19.org (Bung David Banizar Cs (?) FOI (Freedom of Information) menjadisasaran yang tadinya tertunda untuk diproklamirkan adanya. Tapi hingga tahun 2010 ini, satu decade belum juga mencapai puncak atau mungkin tidak akan pernah mencapai puncak. Selalu dalam pendakian menuju apa yang dituangkan dalam article 19 UDHR yang intinya everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.

Perjuangan mencapai keterbukaan menjalar ke Indonesia. Tahun-tahun itu banyak aktifitis memperjuangkan fenomena kebebasan itu dengan nama KMIP (Kebebasan Memperoleh Informasi Publik), misalnya Agus Sudibyo dkk. Saya hanya sempat menjadikan hal itu sebagai bahan kajian tesis saya dengan orientasi judul KMIP versus Rahasia Negara Dalam Perspektif Politik Hukum tahun 2001/2002. Lalu, tahun 2008, negara kita mengeluarkan perangkat hukum UU No. 14 tahun 2008 tentang KIP (Keterbukaan Informasi Publik). Alot sekali, karena perjuangan untuk memperoleh UU itu ditempuh cukup lama, dengan segala bentuk kendalanya. Dan, bahkan, UU dimaksud efektif Mei 2010.Di sisi lain, perihal Rahasia Negara belum jua diwujudkan dalam tataran formal seperti UU (walaupun ada substansinya di UU lain, hal itu bersifat sektoral). Begitulah lukisan perjalanan KIP di Indonesia, yang tentu saja dalam kondisi yang seirama: menapak puncak.

Dalam perjalanan yang demikian, terpapar dengan jelas pro dan kontra antara dua kubu: yang cinta akan keterbukaan dan yang terpaksa “bercinta” dengan ketertutupan. Kubu pertama merangkul konsep keterbukaan dengan poros partisipasi, transparansi, dan hak asasi manusia dalam bentuk Right to Know sedang dikubu lain cenderung menggunakan konsep Keamanan (Security) pada poros keamanan negara. Negara memiliki hak lebih di atas dari rakyat.“Perseteruan sudut pandang” tak terhindari, seperti yang kita temukan saat sekarang dalam peristiwa yang semakin nyata dari kasus WikiLeaks.

Perlukah didukung? Apa alasannya? Bagaimana mendukungnya

Teriakan “Keep Us Strong” dan “Help Wikileaks Keep Governments Open” perlu kita perhatikan, dan kemudian kita dukung, setidaknya dukungan moril. Alasan perlunya kita dukung, karena kondisi ketertutupan itu menjadi “sarana empuk” bagi tindakan korupsi dan “sarana memabukkan” bagi partisipasi publik, untuk kemudian –mayoritas-- berimbas fatal: meniadakan eksistensi dan entitas transparansi. Korupsi dapat saja berawal dari kondisi yang demikian.

Banyak hal yang dapat dilakukan dalam konteks dukungan terhadap giat sosial demi untuk masyarakat luas kebaikan kualitas kehidupan.Secara langsung dapat berupa materials, contoh mudah adalah pendanaan untuk operasional. Jadi, sah saja jika ada di antara kita mengirimkan sejumlah uang buat dana operasional suatu lembaga seperti halnya wikileaks, sepanjang kita mampu secara materiil dan mau secara moriil. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan cara menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari hakekat dari kebebasan (baca: keterbukaan) mengakses informasi dalam kehidupan. Penghayatan dan pengamalan ini berpengaruh pada sikap sehari-hari. Membudaya! Contoh sederhana, jika kita mendapat dana bantuan untuk membangun sesuatu untuk dan atas nama publik, maka penggunaan dana bantuan itu harus kita sampaikan secara terbuka: sekian diterima, sekian dipergunakan dan sebagainya. Kurang kita katakan kurang, lebih pun kita katakan lebih. Dengan cara ini, pintu partisipasi publik terbuka lebar dan luas! Masih banyak contoh lain.

Kita perlu mengambil hikmah dan manfaat dari aspek keterbukaan. Bahwa seorang penyelenggara/pejabat negara dapat menjadikannya sebagai upaya untuk lebih memegang asas AAUB berupa kehati-hatian dalam menggunakan fasilitas termasuk uang negara. Orang dapat saja mengetahui apa dan bagaimana kehati-hatian (termasuk sebaliknya) itu telah ia pegang dan laksanakan melalui upaya mengakses informasi. Peran keterbukaan akses informasi menjadi pemicu menguatnya pengawasan publik secara tidak langsung, yang pada akhirnya dapat berwujud pengawasan langsung oleh masyarakat. Ini sebagian kecil sekali dari manfaat keterbukaan. Bukankah substansi UU No. 14 tahun 2008 tentang KIP itu (demikian pula amanat PP No. 61/2010) telah memberikan “ruh” yang mendalam dan mendasar untuk mewujudkannya?!

Nasip “Kebebasan Akses Informasi” ke depan?

Tak ada yang suram. Tehnologi kian berkembang. Satu decade mendatang, nyaris tak ada lagi rahasia yang dapat dibendung kecuali rahasia alam yang sudah dikodratkan oleh sang Pencipta sebagai suatu Rahasia. Demikian pula akses informasi dan budaya manusia itu sendiri, terus berkembang dan menciut seirama perjalanan manusia dan kebebasan itu sendiri. Orang dapat saja dibayar untuk dan atas perolehan suatu informasi. Apalagi, memang begitu aturannya sekarang: bayar dan informasi didapat. Satu-satunya yang mungkin jadi kendala adalah kekuasaan yang menetapkan mana yang dapat diakses dan mana yang tidak. Ini tentang kekuasaan! *** sumber foto: wikileaks.ch (www.aichandra.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun