Mohon tunggu...
Ahmad Zaki Alwy
Ahmad Zaki Alwy Mohon Tunggu... Guru - Seorang Santri yang Tak Kunjung Pintar

وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membuat Mereka Jujur Tanpa Dipaksa

4 Juli 2019   22:09 Diperbarui: 4 Juli 2019   22:18 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kali ini saya akan bercerita dari sebuah proses yang "lumayan" panjang. Semua berkat maunah dari Yang Kuasa. Dia Dzat yang Maha Kasih tanpa pilih kasih. Dan saya percaya, kebaikan itu akan menular pada yang lain.

--------------------------------------------

Diawalai ketika anak-anak desa berkumpul. Selepas maghrib, waktu yang biasa mereka gunakan untuk menghidupkan waktu mulia itu. Lantunan ayat suci yang mereka suaran, membuat suasana jadi khidmat. Di sana, saya menyimak bacaan mereka (dalam kegiatan pesantren biasa disebut sima'an). Hingga suatu malam, saya berhalangan untuk membersamainya.

Alih-alih dari mereka ada yang mulai bersuara, padahal teman sebelahnya sedang mengaji. Lirihan suara itu terdengar oleh microfon dan terdengarlah suara mereka. Saya yang pada waktu itu sedang di luar. Ikut terdengar suara dari mereka. "Apakah mereka ada yang ramai ya, kok ada suara lain?".

Kesesokan malam, setelah usai bersama mereka mengaji. Saya tersenyum seraya bertanya:

"Kemarin kok ada suara ramai ya?". Ini saya coba bertanya tanpa menuju subjek. Ya tujuannya mereka tidak langsung tuduh-menuduh. Padahal kan saya bisa menggunaka frasa kata --misal- "siapa yang ribut kemarin?", namun bukan itu yang saya gunakan.

Dengan pertanyaan sederhana tadi. Tiba-tiba mereka sudah saling tunjuk. Wah berarti memang kesadaran akan mengakui kesalahan perlu disemai sejak dini.

"sudah-sudah, bapak kan cuman tanya suara bukan orangnya" saya sambil tertawa kecil.

Beberapa problem yang lain, juga sama. Saya amati dengan pola yang sama. Pernah suatu ketika ketika hendak mulai mengaji, ada sampah yang berserahkan. Sekali lagi, saya tidak menanyakan subjeknya. Yang saya tanyakan adalah seperti yang kejadian lalu-lalu. "Lho kok ada sampah?".

Akhirnya sebagian dari mereka ada yang mengatakan si A, si B, ada juga si C. Saya pun dengan tenang berkata "sudah-sudah gak usah ribut, diambil trus dibuang".

Mungkin saya tidak akan bercerita panjang. Sebab selalu ada hal-hal baru yang membutuhkan pertanyaan. Dari sekian banyak pertanyaan itu, saya mencoba merubah pola tanya dari waktu ke waktu.

Bila yang pertama saya sekadar bertanya objek benda, misal :

" Tadi ada suara yang terdengar sampai keluar" (di sini  mereka masih saling tuduh)

Menjadi

"Kalau mengaji, jangan ribut ya" (di sini mereka masih saling tuduh)

Menjadi

"Sudah ya, bapak nggak mau menuduh. Lain kali jangan ribut ya" (Perlahan hening)

Menjadi

"Nggak perlu saling menuduh teman. Lain kali jangan rubut lagi ya" (mulai nampak perubahan)

Menjadi

"Anak-anak, kalau menyalahkan orang lain, bagus apa nggak?. Mereka jawab kompak "Tidak..!". Nah lain kali jangan ribut ya. Iya pak.

"Jangan menyalahkan orang ya, bisa jadi kamu yang salah". "Iya pak" jawab mereka dengan yakin.

Akhirnya beberapa pola ini yang saya coba terapkan pada mereka. Alhamdulillah lambat laun fikiran mereka sudah bisa mengkap. Bahwa sesungguhnya tidak perlu orang lain disalahkan, sebab bisa jadi diri ini-lah yang salah (ini juga sebagai nasihat untuk saya).

Hingga ketika ada kekurangan dari mereka. Misal buang sampah sembrangan, menaruh sesuatu yang bukan pada tempatnya, dsb. Kini mereka sudah mengakuinya sendiri dan bahkan ketika saya tanya dengan model pertanyaan apapun, mereka langsung spontan menjawab:

"Saya pak yang salah", "Saya yang buang sampah tadi", "Tadi itu saya pak yang ribut"

Mereka sudah bisa mengklaim bahwa ketika berbuat salah, tak perlu lagi sembunyi tangan. Toh mereka juga sudah faham bahwa melemparkan batu kepada temannya hanya akan membuat permasalahan tiada habisnya. Bila mereka sudah bisa mengklaim bahwa dirinya-lah yang salah. Dari teman yang lain pun tidak pernah meledeknya. Ini keisitmewaan yang diberikan kepada mereka. Mereka sadar bahwa bisa jadi saya juga --pernah- berbuat demikian yang serupa.

Akhir kata, memang tidak mudah membentuk sikap tanggungjawab, jujur, dan mawas diri. Terus berdoa dan berusaha. Sebab sebuah kebaikan yang kita lakukan hari ini, adalah sebab Maunah dari Yang Kuasa. Apalah daya seorang hamba yang hanya diberi sedikit pancaran Rahmat-Nya. Mudah-mudahan langkah kita selalu dalam Taufiq dan Ridhonya. Aamiiin.

Tabik! (04 Juli 2019)

Ahmad Zaki Alwy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun