Menjadi pembenci adalah pilihan yang salah. Kesalahan ini bila dilakukan oleh diri sendiri, besar kemungkinan masih dapat direduksi.
Namun, bila sudah merambat pada yang lain. Luapan kebencian akan sulit dibendung.
Imam Al-Ghazali sendiri telah memaparkan jauh akan pembenci (Haasid: Pembenci) di kitab Ihya' Ulumiddin Juz 3 : Rub'ul Muhlikat ( yang merusak hati).
Ironisnya dari pembenci ini. Kebenaran yang nyata dilakukan oleh yang dibenci, akan selalu salah di pandangannya. Sekalipun perilaku yang dinilai oleh Tuhan itu adalah sebuah kebenaran. Bayangkan, Allah saja membenarkan, tapi bagi si pembenci, tetaplah salah. Na'udzubillahi min dzalik.
Bukankah hal seperti itu pernah terjadi? Ya, insiden Qobil dan Habil.
Meski sudah ada bukti nyata, bahwa Habil-lah yang diterima qurbannya dan berhak mendapatkan Iqlimah.
Namun bagi Qobil. Tetaplah salah. Yang menurut dia, dialah yg lebih berhak mendapatkan Iqlimah.
Hati sudah diliputi kebencian. Hingga kebenaran yg benar-benar "benar", menjadi salah.
Sungguh sebuah tindakan yang tidak patut dikerjakan.
Habib Ali Al Jufri juga sangat mengahwatirkan, bila seseorang mati namun masih meninggalkan bibit-bibit kebencian yang masih dibawanya.
Bagaimana bisa, seseorang diakhir ajalnya, masih membawa kebencian. Padahal dari awal kelahirannya, tak ada satupun manusia yang dibencinya.
Semoga kita terhidar dari buruknya pembenci. Dengan melanggengkan membaca surah al-falaq dan an-naas di pagi dan sore.
. .
Wallahu a'lam
Mamuju, 27-08-18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H