Masyarakat, baik masyarakat secara umum maupun masyarakat lokal (local society) korban bencana secara khusus, sesungguhnya merupakan inti pertahanan bencana. Ancaman bencana sesungguhnya mirip dengan serangan musuh terhadap bangsa dan negara. Maka secara alamiah, sistem pertahanan terbaik adalah sistem pertahanan masyarakat semesta. Jadi, masyarakat adalah subjek utama penanganan bencana.
Secara ideal, masyarakat seharusnya menjadi sumberdaya utama penanganan bencana, pihak lainya termasuk pemerintah sebagai support (regulator). Sedang pemerintah mesti memiliki peran untuk mengkoridori dan mendorong agar masyarakat bisa menjadi subjek utama penanganan bencana. Bukan menempatkanya sebagai objek. Formula penanganan bencana secara cepat, total, dan tuntas hanya mungkin diwujudkan jika masyakarat mampu menjadi subjek.
Sayangnya, upaya menuju ke arah itu masih menghadapi sejumlah kendala. Kendala pertama adalah kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat. Pengetahuan yang minim tentang bencana dan penanganannya juga menjadi persoalan tersendiri. Begitu pula dengan budaya masyarakat (pasrah, nrimo, mudah puas dan mental inferior).
Di sisi lain, frekuensi bencana juga menjadi kendala. Sejumlah wilayah menjadi langganan beragam jenis bencana (banjir bencana). Meski sangat mungkin masyarakat mampu membangun rumah tahan gempa, namun tak selalu bangunan tersebut tahan bencana lainya seperti banjir dan kebakaran.
Sementara itu, menangani bencana di negeri ini ibarat menegakkan benang basah. Bagai menggarami lautan. Kekuatan yang menciptakan bencana lebih banyak dan lebih hebat daripada yang berupaya mengatasinya. Ego sektoral dalam penanganan bencana juga masih teramat kuat.
Banyak pendekatan program penanganan bencana yang menempatkan masyarakat lokal sebagai objek belaka. Parahnya, pendekatan proyek juga digunakan dalam penanganan bencana. Sejumlah pihak juga mempolitisasi bencana. Menjadikan penanganan bencana sekadar gerakan seremoni. Sekadar pentas pameran kebajikan.
Banyak pula model implementasi proram yang secara tidak langsung menciptakan ketergantungan masyarakat. Sebagian kebijakan penanganan juga kurang tepat, tidak bervisi kemanusiaan, tidak produktif sehingga menyakiti perasaan masyarakat. Belum lagi soal penyalahgunaan hak-hak korban bencana (misalnya, korupsi dana bencana).
Program penanganan bencana, semestinya memenuhi sejumlah kriteria. Ia harus strategis. Bukan sekadar bagi-bagi sembako. Bukan pula sekadar aksi emergency karitatif.
Program penanganan bencana seharusnya berorientasi kemandirian masyarakat. Maka, ia harus mampu menstimulans berbagai pihak untuk terlibat. Manfaatnya juga harus berdampak massal, memiliki multiplier effect dan berkesinambungan. Di sisi lain, program penanganan bencana juga harus unik dan merupakan terobosan baru. Di samping juga menyesuaikan dengan kearifan dan potensi lokal.
Untuk itu, penanganan bencana harus ditangani dalam persfektif manajemen. Berbasis perencanaan strategis dan pengelolaan secara reguler. Karena program penanganan bencana pada dasarnya merupakan program milik masyarakat dan kebutuhan masyarakat, maka masyarakat harus dilibatkan secara total, mulai dari tahap perencanaan program hingga implementasi dan pengembangannya.
Terhadap masyarakat korban bencana, gunakanlah komunikasi persuasif. Jangan menggurui masyarakat, tetapi kembangkanlah model pendampingan. Yang tak kalah penting adalah mengembangkan budaya kerelawanan masyarakat. Dengan demikian, resources program penanganan bencana bisa menggerakan unsur relawan. Pola hubungan dengan masyarakat pun bukan lagi hubungan subjek dan objek.
Maka, kelembagaan penanganan bencana bisa dihadirkan pada tingkat komunitas masyarakat. Pendidikan kebencanaan juga bisa diimplementasikan sampai pada level komunitas masyarakat. Untuk itu, sinergi antar pihak terkait harus dijalin. Sebab menangani bencana memerlukan kekuatan kebersamaan.