Mulailah dari hal kecil. Kelak tanpa kita sadari akan makin banyak baca buku. Kita akan wawancara ratusan dan bahkan ribuan orang. Kelak tanpa kita sadar bisa menulis soal kebohongan dan kejahatan para petinggi di negeri kita. Tetapi tahu saja tak cukup, kita harus punya keberanian, punya nyali untuk menyatakan pikiran kita.
Pramoedya dan Thukul adalah contoh orang yang punya kerberanian. Pram dipenjara Belanda, Soekarno diasing di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Mohammad Hatta dibuang ke Banda Naira. Perpustakaan Pram dibakar tentara. Bukunya habis ludes terbakar. Kupingnya budek lantaran dihajar serdadu. Thukul bahkan hilang diculik dan hingga kini tanpa kabar.Â
Mereka tahu kesusahan si tukang sol sepatu dan si jongos. Mereka berani menulis untuk membela si kecil. Menulis adalah soal moral, kita bicara soal kebenaran, kita harus berani menyuarakan kebernaran.
Saya beruntung ada mengenal wartawan di negeri ini. Mereka tahu kebusukan petinggi negeri ini. Mereka tahu redaktur mereka sering ditelpon si petinggi. Kok nulis ini? Kok nulis itu? Tapi mereka tak punya keberanian. Mereka takut bisnis mereka terganggu. Akibatnya dibelakang layar tak ditulis di negeri ini. Kita maklumi saja, sedikit dari kita yang punya keberanian macam Pram dan Thukul.
Jadi kalau mau nulis, hanya ada dua syaratnya. Kita harus kepo dan sekecil apa pun itu, ya kita tulis. Dan kita harus punya keberanian. Itulah kira-kira inti dari sesi pelajaran menulis di Lombok minggu lalu. Saya berharap dari apa yang telah saya sampaikan disesi saya bisa membantu teman-teman peserta memahami sekilas materi yang saya utarakan.
Terima kasih buat mbak Santi (Direktur VIBE Indonesia Center) dan teman-teman dosen serta mahasiswa Fakultas Ekonomi, UNRAM. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H