Dari cerita ini, pada masa itu lembah-lembah di Lore Lindu telah memiliki kebudayaan megalitik, tapi budaya megalitik telah ditinggalkan sejalan dengan perkembangan zaman.
Masyarakat Lore Lindu mulai meninggalkan praktik budaya megalitiknya, semenjak masuknya agama-agama, kata Bu Wuri, Ketua Sekolah Perempuan Perdamaian Poso.
Ia mengungkapkan ada banyak praktik-praktik ritual adat yang hingga kini masih dipraktikan oleh suku-suku sekitar Lore Lindu, seperti Kulawi, Kaili, Tomini, dan Mupun Pamona.
Bertandang ke Lembah Bada, saya tak hanya melihat megalitik atau batu berukir beragam bentuk, tapi juga menyaksikan hamparan padang savana nan indah.
Dari sekian banyak patung-patung berukuran besar di Lembah Lore Lindu, tapi hanya satu patung yang kami bisa kunjunggi, yaitu situs Arca Palindo di Lembah Bada. Arca teragung ini tingginya hampir empat meter.
Pada pukul 03.00 WITA siang, saya dan Sekolah Perempuan Poso masih menyimpan penasaran dengan keberadaan patung batu di lembah Bada ini, satu-persatu dari kami saling bertanya satu sama lainnya.
Ada yang bilang, patung Palindo di Lembah Bada adalah hasil dari kutukan penghuni terdahulu pada warganya yang melakukan hubungan luar nikah atau (bukan muhrim), lalu oleh tetua adat dan warga setempat mengutuk mereka. Hingga berubah menjadi batu.
Bagi saya cerita ini meragukan. Tapi pendapat yang sementara bisa dipercaya adalah ulasan majalah National Georaphic (10/2018) menyebutkan, arca-arca di Lembah Bada berkaitan erat dengan arah mata angin dan pola gerak benda di langit.
Jadi posisi arca-arca di Lembah Bada berkaitan dengan berbintang masa itu. Ini pun dugaan sementara. Â Â
Perkara menarik yang saya lihat saat berada di Lembah Bada di sisi topografinya. Kota Palu melintang dari arah utara menuju selatan.