Ketiga, di tahun 2018, bersama The Asean Muslim Network (AMAN) Indonesia dan UN Women, saya dilibatkan untuk membangun hubungan perdamaian antara kelompok Muslim dan Kristen, pasca 1998 terjadinya konflik agama di Poso Sulawesi Tengah. Selama satu bulan di Kota Poso, saya terlibat aktif melatih lansung Komunitas Sekolah Perempuan perdamaian yang beranggotakan ibu-ibu Muslim dan Kristen. Kegiatannya berupa, wokshop, focus discuss group (FGD).  Materi adalah bagaimana merancang konten yang positif di sosial media yang mendamaikan antar masyarakat yang berbeda keyakinan, suku dan agama di Poso. Dari kegiatan ini, saya merasa ini menjadi bagian kecil dalam memberikan kontribusi demi terciptanya kehidupan yang damai di Poso.
Keempat, sementara di 2017, bersama dua lembaga Wahid Foundation dan Civil Society Against Violent Extremism (C-SAVE) Jakarta, saya diminta terlibat membantu sebagai konsultan dalam merumuskan narasi damai untuk desa damai yang tersebar di Provinsi Jawa Barat. Begitu pun di C-SAVE, NGO yang menitikberatkan pada isu perdamaian dan terorisme. Oleh Direktur C-SAVE, saya membantu bagian dari diksusi dalam memberikan masukan terhadap review Standar Operasional Pelayanan (SOP) Panti Sosial Marsudi Putra Handayani, 11-13 Desember di Jakarta.
Kelima, semenjak selesai S1 hingga saat ini, di NTB, bersama teman-teman pegiat literasi, kami menginisiasi kegiatan kerelawanan dalam meningkatkan kesadaran dan terbentuknya budaya literasi di anak-anak NTB yang aksesnya cukup sulit, seperti akses bacaan terhadap buku cetak. Bersama relawan literasi, kita kumpulkan buku bacaan, non fiksi, keagamaan, sejerah, dan jenis buku lainnya. Setelah buku terkumpul, kami membagikan ke sekolah dan komunitas Taman Baca Masyarakat (TBM) untuk dibaca adik-adik usia sekolah. Kegiatan kerelawanan dalam bidang literasi ini adalah ikhtar kami anak-anak muda di NTB untuk meningkatkan melek anak-anak di kampung terhadap buku. Sehingga minat mereka terhadap literasi mengalami perbaikan.
Terakhir, bagi saya anak kampung yang lahir dari keluarga miskin  dan mantan tenaga kerja di Malaysia adalah bukan hambatan, apalagi sampai tak berani bermimpi melanjutkan pendidikan sampai ke S2 dan memberikan kontribusi pada masyarakat dan bangsa. Keterbatasan saya maknai sebagai sebuah kesempatan untuk membentuk diri agar bisa lebih maju. Saya peraya bahwa, jika kita punya kemauan yang besar, maka selalu aka nada jalanya. Ke depan, saya akan terus berkontribusi dibidang perdamaian dan penguatan literasi untuk anak-anak dikampung yang kesulitan mengakses buku-buku.  Akhir kata, jika saya diberikan kesempatan untuk mendapat bantuan Beasiswa Unggulan Masyarakat Berprestasi dari Kemendikbudristek ini, maka sedikit paling tidak dapat membantu dalam meringankan beban akademik saya, lebih-lebih di masa wabah Covid-19 ini.  (Ahyar ros)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H