Rumusan di atas memberi satu harapan bahwa telah terbit satu kesadaran baru tentang membangun desa. Desa di bawah payung UU yang baru ini, menjadi satu "negara kecil" yang mendapat mandat besar mengelola potensi dirinya secara lebih mandiri. Tiba-tiba desa menjadi fokus utama pembangunan. Mendadak desa menjadi pusat perhatian hampir semua kalangan. Desa Kementerian Desa dibuat dan desa mendapatkan kucuran dana desa yang besar. Desa tidak lagi menjadi pemain pinggiran.
Tetapi apakah Desa di bawah rezim UU Desa yang baru akan lebih sejahtera? Apakah dana yang besar yang mengucur ke desa akan signifikan melawan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan? Apakah praktek pembangunan di desa akan mengalami perubahan yang mendasar? Tidak mudah menjawabnya. Apalagi UU Desa yang mengusung paradigma baru dalam mengelola pembangunan di desa itu belum lama diterapkan.
Satu hal yang bisa dikatakan adalah, pemerintah dari pusat sampai daerah harus mempersiapkan betul turunan kebijakan dan aturan main yang mampu memastikan tujuan mulia UU Desa bisa terwujud. Sementara kesiapan mental masyarakat desa dan kapasitas kelembagaan desa pun harus ditata.
Membangun desa tentu saja bukan pekerjaan sekali jadi. Bukan simsalabim ala lampu aladin. Fakta bahwa kemiskinan berurat berakar di desa, sementara sumberdaya lokal untuk meningkatkan kesejahteraan warga sejatinya cukup tersedia, menunjukkan ada yang salah dalam cara kita mendekati dan mengelola desa di masa lalu. Kesalahan itu yang sepatutnya tidak boleh terulang lagi. Sebab bukankah hanya keledai yang jatuh pada lubang yang sama berulang kali?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H