Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Melek Keuangan Sejak Dini, Kenapa Tidak?

4 September 2017   00:56 Diperbarui: 4 September 2017   01:11 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebebasan finansialartinya memiliki beberapa jenis investasi, relatif aman dan hasilnya bisa mencukupi kebutuhan perbulan sesuai dengan gaya hidup yang diinginkan. Anak muda Indonesia dewasa ini kian rajin menilik produk-produk invetasi maupun membuka usaha, alih-alih mendedikasikan hidup sebagai pegawai kantoran, dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Tentu saja untuk mencapainya perlu kerja keras dan kerja cerdas, dengan prilaku keuangan yang juga cerdas. Artinya menyadari kemampuan untuk menghasilkan uang dan bisa mengaturnya agar mencukupi kebutuhan hidup, baik kebutuhan hari ini maupun kebutuhan dalam jangka masa mendatang.

Sejak setahun lamanya, saudara saya Nurhayati (35), Sangupati, Sakra Barat, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Setiap paginya disibukkan dengan dua anaknya, yang tiap selama seminggu, seharinya ia menyisihkan hasil dagangan cilok suaminya Rp 20.000.00 perhari untuk tabungan rutin kedua anaknya, yang sekolah PAUD TK Islam berjarak 6 kilometer dari rumahnya. Hingga kini, sudah setahun keponakanku ini, Ainul Yakin (6) bersama adiknya Rina (4) menyisihkan Rp 5000. 00 perharinya. Hingga saat ini, ketika Ainul Yakin dan adiknya hendak pergi ke Paud, ia meyisihkan sisa uang belanjanya 5000-10.000 perhari. Berbeda dengan adiknya, selain tabung di sekolah, ia juga membuat tabungan dengan toples plastik dirumahnya. Menarik bukan, dari sejak dini sudah diajarkan melek keuangan?

Di akhir kelulusan, padaku, ia memperlihatkan hasil tabungan tabungan anaknya selama setahun, saya pun kaget, tabungannya satunya mencapai hingga mencapai 2 juta lima ratus. Apa yang dilakukan Nurhayati pada kedua anaknya adalah cara sederhana untuk mengajarkan anaknya melek keuangan sejak usia dini. Dari kakak seorang kakak berpenghasilan kecil ini, saya belajar konsep yang sederhana, bagaimana penggelolaan keuangan, dari hasil berjualan suaminya, ia menysisihkan tabungan untuk tabungan dan pembiyaan kedua anaknya. Sebelum saya ke Jakarta, ia meminta bantuan pada saya untuk membuat buku tabungan di salah satu bank dikampung kami. 

Dari dia saya belajar bagaimana ia membuat perencanan strategi, utamanya adalah membagi penghasilan berdasarkan tiga pos keuangan yakni untuk tabungan, yang idealnya 20 persen dari penghasilan, dan sisanya untuk pengeluaran rutin. Seorang teman Mahrun, Konsultan Keuangan Bisnis Syariah, NTB mengatakan, persoalan yang kerap ditemui saat ini adalah kemampuan mengendalikan diri yang minim pada individu, yakni terlalu banyak membelanjakan dana sehingga beban semakin besar. Akibatya penghasilan bulanan hannya bisa memenuhi kebutuhan saat ini.

"Padahal, manusia harus menyiapkan kebutuhan mendatang, seperti dana pensiun yang hannya bisa mencukupi 10-20 persen dari kebutuhan sebenarnya," Cerita pria Direktur Asuransi Bumi Putra Syariah, Kota Mataram, Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) ini.

Prilaku keuangan orang dewasa hari ini dipengaruhi saat masa anak-anak. Agar punya kebiasaan penggelolaan keuangan yang baik, maka dari sejak kecil sudah diajarkan cara mengatur keuangan dengan baik. Dalam hal ini, pendidikan dari orang tua amat penting

Pengenalan cara menggelola keuangan ini dilakukan secara bertahap, seusia anak. Pada masa tiga tahun, yang menjadi periode anak untuk mengamati dan meniru, bisa menjadi tahap awal dalam mengenal uang.

Caranya ajak anak berbelanja dan membeli kebutuhan "Di sini anak akan memahami, untuk mendapatkan sesuatu atau barang, ada yang harus dibayarkan. Jadi anak juga mulai belajar dalam pengenalan uang.

Ia mengingatkan, pengenalan funsi uang tidak hannya dari sisi untuk dibelanjakan. Uang juga memiliki fungsi sosial berdonasi untuk keperluan amal. Dari setiap uang yang didapatkan, pda dasarnya dibagi menjadi hal, yakni untuk di tabung, dibelanjakan, dan untuk kebutuhan sosial.

Pada usia 6-9 tahun, biasanya anak mulai mendapatkan uang saku. Cara paling sederhana dengan memberikan uang harian. Meski pun besarannya relatif, tergantung pada tiap keluarga, anak bisa diajarkan untuk selalu membagi danannya menjadi tiga, yakni, untuk tabungan (30 persen), belanja (30 persen), dan sosial (30 persen. Dengan demikian anak tak serta-merta menghabiskan seluruh uang sakunya untuk jajan keseharian.

Foto Ahyar ros
Foto Ahyar ros
Untuk memudahan, ajak anak mengunakan tiga toples berbeda untuk membagi uang saku yang dimiliki. Uang hasil tabunganya, bisa digunakan untuk membeli barang yang diinginkan, sehingga anak pun membiasakan untuk selalu menabung terlebih dulu demi mendapatkan sesuatu.

Pada usia 10-14 tahun, pemberian uang saku bisa diberikan dengan periode 3 harian atau pun mingguan. Pada tahap ini, anak juga bisa mulai belajar menghasilkan uang dan dengan tetap melanjutkan kebiasaaan membagi pengghasilannya ke dalam tiga bagian. Melakukan hobi yang bisa memberi nilai tambah dan manfaat bagi orang lain, misalnya, bisa menjadi pilihan.

Dulu waktu pesantren, saya sering membuat plakat bertulis kaligrafi bermotif buat teman-teman kelas, dari plakat ini, saya menjual pada teman-teman di Pondok di kampung.

Usian 15-17 tahun, anak memasuki tahapan berbeda. Biasanya, anak mulai diberi kepercayaan untuk mendapatkan uang saku bulanan yang juga memaksa anak lebih bijak dan cerdik dalam mengatur dana perbulan. Mereka mulai punya kebutuhan khsusus yang kadang harganya cukup mahal. Bisa jadi lebih mahal dari uang sakunya. Contohnya, ingin  menonton  konser, beli buku, atau gadget. Tapi dalam tahapan ini anak juga harus tahu, jika tabungan tidak cukup, harus belajar menahan diri," Tambah

Menanggapi periode remaja yang juga kerap betemu dengan tekanan pergaulan. Belajar menahan diri menjadi untuk mengasah kemmapuan membedakan keinginan dan membutuhkan. Psikologi anak dan keluarga.

Foto Ahyar ros
Foto Ahyar ros
Kemampuan membedakan kebutuhan dan keinginan ini akan membantu proses berpikir analitis, antara mahal dan murah, kualitas dan kuantitas, dan seterusnya. Anak usia SD mulai bisa membandingkan harga, mana yang lebih murah, berdasarkan jumlah dan ukurannya. Sementara pada usia remaja, bisa memiliki lebih jauh soal nilainya. Misalnya, saat mau beli gadget, fitur apa yang sebenarnya paling dibutuhkan untuk sehari-hari.

Tak perlu gadget yang super canggih harga tinggi, jika yang dibutuhkan hannya untuk kebutuhan media sosial dan chatting, bukan?

Foto Ahyar ros
Foto Ahyar ros
Menjadi individu yang melek finansial merupakan satu langkah menuju hidup berkualitas. Tak mungkin diciptakan dalam waktu semalam, melek finansial adalah sebuah kebiasaan yang diutuhkan sejak dini.   

Artikel ini diikutkan dalam Blog Competition "Saatnya Cerdas Finansial" yang diselengarakan Kompasiana dan LPS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun