Seorang tokoh dihormati di Desa Sukadana mendatanggi kami yang tengah asyik duduk mendengar cerita pak Mus. Ia datang menghampiri kami, seraya menceritakan semua hal mengenai pakaian baju adat dan kemben (pakaian wajib bagi masyarakat adat bayan) dan susunana prosesi Lebaran Adat Bayan, Islam Wetu Telu, hingga satu hari satu malamnya.
Namun lokasi yang pernah kami yang pernah kami datanggi, rumah adat Semokan, dan Sukadana. Ketika kami bertandang ke dusun Semokan, kami menjumpai pengalaman unik, yang sebelumnya. Bertahannya ritual dan rangkaian sebelum merayakan Lebaran Adat yang selama ini sulit untuk dijaga bersama komunitas adat keturunan Islam Wetu Telu.
Bagi komunitas masyarakat Islam Wetu Telu menjaga tradisi merupakan pesan dari leluhur mereka yang secara turun-temurun dijaga. Bangunan rumah adat, seperti masjid adat, berugak (tempat menerima tamu susuk sasak),  ziarah kubur, menyerahkan fitrah serangkaian lainya terus terjaga. Waktu itu menjelang magrib, berada di dusun Semokan kami habiskan untuk melihat dan bertanya semua segala kemungkinan dan bagaimana prosesi ritual Lebaran Bayan dilaksanakan.Â
Saya terkesima melihat anak-anak kecil berlari diantara halaman bale Balak (rumah adat khas Sasak). Bale adat (rumah adat) itu berdiri kokoh, yang menandaskan tradisi leluhur menjadi bagian untuk tetap dirawat dan dipertahankan. Bagi masyarakat adat Bayan, sejauh langkah pergi merawat tradisi adalah pesan dari leluhur, jika mereka abai dengan tradisi, suatu saat akan mendapat teguran dari yang kuasa. Merawat ritual dan tradisi adalah cara mencintai, berkakti pada Sang Hiang Widi Wasa.     Â
Cerita pak Mus mengiringgi perjalanan langkah kami menuju pulang ke rumah pak Mus. Aku menatap langit yang sudah mendung, yang pertanda sebentar lagi hujan deras akan turun. Aku pun melintasi jalan setapak berdebu. Bersambung.
Bogor, 2 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H