Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pancasila dan Amnesia Kita

2 Juni 2016   00:13 Diperbarui: 2 Juni 2016   00:46 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Digali Lalu dikubur!

Dalam desertasi doktornya di Chicago University yang kemudian diterjemahkan menjadi buku menarik bertajuk Islam dan Kenegaraan: Studi Percaturan dalam Konstituante, Buya Syafii Maarif mengulas dengan mendalam bagaimana dalam sidang konstituante hasil pemilu 1955, berlangsung perdebatan sengit mengenai dasar negara. Setidaknya ada tiga rancangan draf dasar negara yang waktu itu mengemuka: Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi.

Yang disebut terakhir kemudian tenggelam karena hanya didukung partai Murba dan Partai Buruh yang memiliki kursi kurang dari 5 persen di majelis konstituante. Tinggallah kemudian dasar negara Pancasila dan Islam yang berdebat sengit. Jika merujuk kepada hasil pemilu 1955, partai-partai Islam yang hanya memperoleh suara kurang dari 45 persen akan sulit mengolkan dasar negara yang bersendikan Islam. Tetapi tidak mudah juga bagi kaum nasionalis memuluskan jalan bagi Pancasila untuk ditetapkan sebagai dasar negara.

Akhirnya memang yang terjadi kompromi dan negosiasi. Dan hasil finalnya Pancasila diterima sebagai dasar negara hasil konsensus politik bersama. Sebagai dasar negara negara, Pancasila adalah mimpi bangsa indonesia (the Indonesian Dream) yang masih menuntut kita untuk berkeringat mewujudkannya menjadi realita yang membumi. Agar ia tidak berhenti hanya menjadi seonggok falsafah mulia yang tercatat dalam dokumen tua sejarah, tetapi kian hari kian berjarak dalam kehidupan kita sebagai bangsa di republik ini.

Saat ini, hampir 15 tahun sudah kita mengenyam apa yang kita sebut kebebasan politik. Kebebasan politik ini sepatutnya kita kelola tetap dalam koridor konsensus politik yang bernama Pancasila. Kalau sekarang dan mungkin pula masih akan terjadi dalam waktu yang cukup panjang ke depan, kita melihat bagaimana bangunan republik begitu rapuh sandaran Ketuhanannya, kehilangan rasa kemanusiannya, goyah persatuan nasionalnya, jauh dari spirit musyawarah-mufakatnya dan kian tidak peka rasa keadilan sosialnya, pastilah itu perlambang dari tercederainya Pancasila sebagai dasar negara hasil konsensus politik bersama.

Sebagai konsensus politik nasional, Pancasila sejatinya tidak pernah usang dan bukan sesuatu yang tanpa dasar. Kekeliruan kita selama ini, selalu menjadikan Pancasila sebagai sesuatu yang sudah final dalam pemikiran dan praktek sosial. Akibatnya kita kerap terjebak ”memberhalakan” Pancasila atau bahkan bersikap masa bodoh terhadapnya. Kedua sikap ini sama-sama ekstrem dan kontraproduktifnya untuk menjadikan Pancasila alat yang efektif menggelola keberagaman yang begitu berwarna di republik ini.

Dalam kaitan ini menarik kita simak pikiran Bung Hatta. Beberapa tahun setelah perdebatan panjang di majelis konstituante 1955 itu, Bung Hatta menulis satu kalimat pendek yang tajam: ”dalam perjalanannya, tidak sedikit orang yang menggali Pancasila, juga sekaligus menguburkan sendiri galiannya itu!” (Hatta; 1977). Beberapa tahun sebelum wafatnya, Bung Hatta masih pula mengingatkan kita bahwa terlalu sedikit manusia Indonesia yang menanam Pancasila sebagai suatu keyakinan yang berakar dalam hatinya.Orang lupa kelima sila itu berangkaian, tidak berdiri sendiri-sendiri.

Mengamalkan yang satu berarti wajib pula mengamalkan yang lainnya. Meniadakan yang satu, berarti menafikan pula yang lainnya (Hatta: 1980).Sebagai sosok pemimpin yang dikenal puritan dalam menjalani Islam sebagai keyakinan agamanya, sekaligus begitu demokratis dalam paham politiknya, Hatta mungkin adalah sosok yang paling tepat untuk dijadikan rujukan bagaimana semestinya umat Islam Indonesia menafsirkan Pancasila. Bagi Hatta, sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip spiritual dan etik pembimbing cita-cita kenegaraan Indonesia.

Sementara sila Kemanusian Yang Adil Dan Beradab menjadi kelanjutan sila pertama dalam prakteknya. Begitu juga sila ketiga dan keempat. Sementara sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah tujuan atau terminal terakhir dari cita-cita ideologi pancasila.

Amnesia

Dengan berpegang teguh kepada filsafat ini, kata Hatta, pemerintah negara Indonesia dan segenap rakyatnya punya jalan lurus yang akan membawanya kepada keselamatan, keadilan dan kesejahteraan. Sekaligus ikut mewarnai ketertiban dunia dan persaudaraan antar bangsa. Tapi faktanya, tidak masuk dalam nalar sehat siapa saja, sebuah bangsa yang memiliki konsensus politik seperti Pancasila, menjadi bangsa terkorup di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun