[caption caption="Ilustrasi, sampul buku, Budi Waluyo"][/caption]
Cerita anak Indonesia mendapatkan beasiswa S2/S3 di luar negeri, telah banyak kita jumpai. Bagi sebagian orang akan menganggap sebagai prestasi biasa. Apalagi mahasiswa tersebut menempuh kuliah di kampus-kampus besar Jawa, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), UIN Syarif Hidayatullah, Institut Pertanian Bogor, (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan masih banyak lagi kampus-kampus besar di Jawa.
Menurutku pun itu menjadi sepengal cerita biasa. Kemudian apa bedanya dengan mereka mahasiswa yang menyelesaikan pendidikan S1-nya di kampus-kampung daerah?. Itu jelas sangat berbeda, dari fasilitas, dan atmosfir belajar kampus di Jawa sangat tinggi di banding kampus di daerah. Hingga bagi anak daerah yang hendak melanjutkan studi dengan beasiswa terbilang berat sekali.
Apalagi mereka yang datang dari keluarga kurang mampu secara ekonomi (finance). Bisa dibayangkan, mereka harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah, hannya sekedar untuk mengurus syarat seleksi beasiswa. Tidak mudah kan? Apalagi dengan penguasaan bahasa Inggris yang kurang baik (skor TOEFL/EILTS) dibawah syarat pemberi beasiswa. Bagiku, hal ini sangat menyulitkan mereka dari anak daerah yang berminat mengikuti seleksi beasiswa luar negeri.
Dalam beberapa diskusi dengan mereka anak di daerah, sebagian besar memiliki mimipi untuk melanjutkan pendidikan S2. Namun, saya menemukan sebagian dari mereka putus semangat, enggan untuk mencoba. Ditambah yang mensyaratkan TOEFL didepan denga skor minimal, 450-550. Bagi mereka mahasiswa di daerah yang tak memiliki latar belakang bahasa Inggris akan menjadi hal yang memberatkan sekaligus menjadi pematah semangat.
Bukan itu saja, teman saya mahasiswa S1 jurusan bahasa Inggris pun mengalami kesulitan dalam mencapai skor TOEFL yang telah ditentukan pemberi beasiswa dalam negeri maupun luar negeri. Jika anak kampung bisa mendapatkan beasiswa ke luar negeri, baru luar biasa?
[caption caption="Buku Inspirasi Paman Sam, foto, (Ahyar ros)"]
Dalam perjalanan mencari informasi beasiswa S2, saya berkenalan dengan seorang teman penerima beasiswa S2 Internasional Fellowship Program (IFD) Ford Foundation (University of Manchester, UK), dan Presidential Scholarship, Fulbright, (saat ini sedang menempuh S3, Lehigh University, negeri Paman Sam). Berbadan kecil, tapi pekerjas keras, tekun dan istikomah. Orang akrab menyapanya, Budi Waluyo asal Bengkulu, lahir dalam keluarga sederhana. Pada umur 3 tahun ayahnya meninggal dunia (Innalilahiwainnahilahirojiun).
Dalam detik itu menjadi awal terberat yang harus dilalui Budi bersama adik dan ibunya. Ibunya harus bekerja sebagai penjual kue dan pembantu rumah tangga dengan gaji Rp 400.00 per-bulan. Dari hasil itu harus disisih untuk bisa menyekolahkan ia dan dua adiknya. Sekolah, SD, SMP, SMA dan S1 diselesaikan Budi dengan kerja keras berbagai kekurangan keluarganya.
Dalam kondisi seperti itu, tak dijadikan hambatan bagi seorang Budi untuk mengapai mimpinya melanjutkan studi S2/S3 ke luar negeri, yang saat ini Budi dapatkan di Paman Sam. Perjuangan itu tak mudah di lalui dari seorang anak kampung dengan berbagai keterbatasan ini. Kerja keras, tekun, tak mudah menyerah dan doa seorang ibu doa seorang terus menemani Budi dalam setiap perjalanan meniti mimpinya dalam memenangkan beasiswa ke luar negeri.
Inspirasi Paman Sam