[caption caption="Marwan, Perintis Pendidikan Lereng Rinjani (Sumber foto, Liputan6)"]
[/caption]
Tiga tahun lalu di acara “Obrol Bareng, Kampung Media”, bertempat di Pendopo Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), saya bertemu dengan seorang Marwan Hakim (guru desa) yang waktu itu dinobatkan sebagai tokoh menginspirasi dalam bidang pendidikan oleh Indonesia Satu Awards yang diselenggarakan Astra Indonesia.
Bersama ratusan warga Kampung Media waktu itu, Saya banyak mendengar ketar-ketir bagaimana sosok, Marwan anak pesantren mengajar dengan berbagai macam keterbatasan lantas tak membuat ia untuk berkecil hati dan meratapi keadaan. Segala keterbatasan ia jadikan sebagai peluang untuk mengajarkan kebaikan dan pentingnya pendidikan untuk warga di kampungnya.
Marwan hanya seorang lulusan Madrasah Ibtidakiyah, Namun ia mampu berbuat di atas rata-rata orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi. Yuk simak kisah Marwan,
“Saya sedih menyaksikan anak-anak putus sekolah, nikah usia dini dan sebagian dari anak putus sekolah di desa memilih menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Tak banyak anak-anak desa yang mau belajar di sekolah. Ketiadaan sekolah membuat anak di desa saya mengenyam pendidikan. Saya mulai membangun pesantren untuk mendidik mereka. Kalau bukan kita, siapa lagi yang bisa diharapkan”. Cerita Marwan Hakim.
Di depan madrasah (Pondok Pesantren) itu, berdiri sosok pemuda yang akrab disapa Marwan Hakim (35). Seorang jebolan pesantren yang sepanjang hidupnya berjuang untuk memajukan pendidikan untuk anak putus sekolah di desanya. Perjuangannya mengajak anak-anak di kampungnya untuk bersekolah di tengah kesulitan untuk mendapatkan pendidikan seperti desa lainnya.
Terletak di kaki lereng Gunung Rinjani, hingga jalan untuk menempuh kampung Marwan berjibaku dengan bebatuan, berlubang dan berdebu. Tak membuat ia mengurungkan niat untuk mengajar anak-anak di Desa Perape yang terletak di kaki Gunung Rinjani, Lombok Timur ini. Ketika hendak mendirikan pesantren sederhana.
[caption caption="Bersama Marwan dan Kampung Media, NTB (Foto, Ahyar ros)"]
“Saya pernah dicekal oleh pemerintah desa, waktu itu tidak ada dukungan sama sekali untuk memajukan pendidikan lewat pesantren. Apalagi membagun pesantren untuk warga di desa”. Cerita Marwan, sambil mengenang masa lalunya.
Tidak adanya bantuan dari pemerintah desa, lantas tidak membuat Marwan patah semangat. Dukungan dari masyarakat membuat ia terus bersemangat untuk menlanjutkan kegiatan belajar mengajarnya. Kemauan kuat membangun pondok pesantren bermula setelah menempuh pendidkan di Pondok Pesantren Darul Falah, Pagutan, Kota Mataram.
Ia selalu percaya dengan untaian hikmah waktu menuntuk ilmu di pesantren, “Man Jadda Wajada” (Barang siapa yang bersunguh-sungguh, maka Allah SWT akan memudahkan jalan). Berbekal pendidikan agama (mengaji, bukan pendidikan formal tanpa ijazah) selama 6 tahun, sejak 1995-2001 di Pondok Pesantren Darul Falah, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Marwan memilih untuk pulang kampung untuk mengajar dan belajar bersama anak-anak di desanya. Marwan sedih menyaksikan pendidikan anak-anak di kampungnya yang rata-rata putus sekolah di Sekolah Dasar (SD). Dengan bekal ilmu agama yang dimiliki, ia mulai mengajar dari 3 muridnya dengan penuh kesabaran. Tantangan terbesar yang dihadapi dalam membangun sekolah adalah pikiran warga kampung Aik Prape,.
“Hidup tidak perlu sekolah, yang penting bisa bekerja untuk membantu orangtua. Sedikit sekali yang mau bersekolah, sebagaian gadis dan pemuda lebih memilih menikah dan menjadi TKI ke Malayasia, Hongkong, Saudi dan Jepang”. Ceritanya.
Dengan perjuangan panjang dan segala keterbatasan, Marwan mendirikan Pondok Pesantren dengan mengunakan biaya seadanya. Dengan menggunakan rumahnya sebagai gedung pertamanya. Pada awal pencarian murid, ia sangat kesulitan dengan jumlah muridnya yang sangat sedikit, yakni tiga murid saja. Hingga ia harus menjemput murid dari luar desanya dengan jarak tempuh 7-8 kilometer dari tempatnya.
Jalan buntu, berlubang, bebatuan dan berdebu ia tempuh untuk menjemput murid. Aktivitas seperti ini, ia jalani selama bertahun-tahun. Sampai saat ini, ia terus menjalani aktivitas mengajarnya bersama beberapa guru tamatan SMA di desanya. Kerja keras Marwan selama belasan tahun membuahkan hasil. Berkat bantuan masyarakat di kampunnya, ia mendirikan Ponpes Riyadul Falah, desa Aik Prape. Resmi berdiri 2004 dengan 242 orang muridnya dari Ibtidakiyah dan Aliyah sederajat SMA.
Untuk lulusan pertama, beberapa sekolah meragukan di Kabupaten Lombok Timur kemampuan mengajar Marwan, karena ia tidak memiliki pendidikan formal setingkat perguruan tinggi. Berkat kerja keras (istikomah), atas jasanya ini, Marwan mendapatkan penghargaan di dalam bidang pendidikan, dari program Indonesia Satu Awards dan Kick Andy Fondation. Dalam acara bertajuk “Indonesia Menginspirasi” di Kick Andy. Marwan menceritakan kisahnya yang ditonton oleh ribuan penonton.
Bekal belajar dari pesantren Marwan menyakini ungkapan dalam Bahasa Arab “Laa ta’lamu syae’ qobla tajarrut” (orang tidak akan pernah tau apa-apa sebelum mencoba). Bermula dari tiga santrinya Marwan mulai mengajak warga desa Aik Perape untuk menyekolahkan anak-anaknya. Di sela-sela kesibukan sebagai guru dan pimpinan Pondok Pesantren, Riyadul Falah, Marwan aktif menulis ceritanya di Kampung Media. Selain itu, Marwan juga banyak di undang untuk berbagi kisah di kegiatan Nasional.
Bogor, 25 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H