Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Seteguk Kopi Lantan dari Lombok

30 September 2014   16:29 Diperbarui: 19 Oktober 2015   23:35 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


[caption id="attachment_345138" align="aligncenter" width="448" caption="Foto Kopi Lantan, Lombok (Ahyar)"][/caption]

Kebun kopi itu membentang di Desa Lantan, beberapa kilometer sebelah barat Taman Wisata Aik Bukak, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah. Sudah puluhan tahun, kebun seluas 355 hektar, itu dikelola oleh PT Tresno Kenangan, sebuah perusahaan lokal. Puluhan ton biji kopi yang dihasilkan setiap tahun diolah menjadi bubuk kopi dan dikemas sederhana. Itulah kopi cap 555 yang sudah dikenal kalangan luas.

“Baru pada akhir 2008 lalu Pemerintah Daerah mengambil alih karena ijin pengelolaannya sudah habis,” cerita Sonatul Qori’ah, warga Desa Lantan, salah seorang pekebun kopi di kaki gunung rinjani itu.

Kini, pengelolaannya diserahkan ke masyarakat di bawah kontrol Kepala Desa dan Camat. Masing-masing warga mendapatkan bagian yang bervariasi, dari yang hanya 0,5 hektar hingga 2 hektar. Menurut Sonatul, ketika masa transisi pengelolaan dari PT Tresno Kenangan ke Pemerintah Daerah Lombok Tengah pada akhir 2008, masyarakat sempat bertindak di luar kontrol, membabat pohon-pohon penaung seperti gamal, dadap, dan randu, juga tanaman kopi yang sudah tua, lalu kayunya mereka jual.

Akibatnya, kini banyak tanaman pengganti yang belum berbuah karena masih muda. Dari populasi yang ada, rata-rata hanya separuhnya saja yang berbuah, itupun buahnya sedikit. “Saya punya kebun 0,5 hektar lebih, hasil panen kemarin hanya 300 kilogram buah gabah,” ujar Amaq Ati (70). Padahal, katanya, produksi sebelumnya bisa dua kali lipat bahkan lebih.

[caption id="attachment_345140" align="aligncenter" width="448" caption="Foto Kopi Lantan "]

1412043851122592392
1412043851122592392
[/caption]

Selain populasi tanaman kopi yang berbuah hanya sekitar sepertiganya saja, hasil yang rendah itu juga karena para pekebun sama sekali tidak faham cara berkebun kopi yang baik. Mereka mengaku tidak pernah mendapatkan penyuluhan dari pemerintah daerah. Praktis, mereka hanya meneruskan kebiasaan turun-temurun nenek moyang: membersihkan gulma, membuang tunas air, dan memberikan sayatan-sayatan pada pohon kopi.

Tak ada inovasi sehingga hasil produksi pun tak bisa meningkat, bahkan cenderung merosot. Belum lagi perubahan musim dan serangan hama penyakit yang akhir-akhir ini kerap menyerang. “Apalagi kalau bunga kopi berguguran atau buah mengalami busuk sebelah, hasilnya pasti merosot,” ujar Sonatul.

Warga desa Lantan memang sudah sejak lama terkenal sebagai penghasil kopi di Lombok. Kebun kopi eks Tresno Kenangan hanyalah sepertiga dari luas kebun kopi di desa itu. Ada 600-an hektar kebun kopi lainnya yang sejak lama dikelola masyarakat. Ada yang di kawasan hutan kelola masyarakat (HKM), ada juga yang di tanah milik masyarakat sendiri. Dan menurut data Dinas Perkebunan dan Kehutanan Lombok Tengah, luas kebun kopi di Desa Lantan adalah 70 persen dari total luas kebun kopi di Kabupaten itu.

Amaq Ati mengakui tidak punya pengetahuan tentang berkebun kopi yang ideal. Karena itu, mereka menanam dengan sistem tumpangsari. “Saya tidak bisa berharap banyak dari tanaman kopi. Jadi harus ditumpangsari dengan tanaman lainnya,” kata Amaq Ati. Ia dan pekebun kopi lainnya di Desa Lantan mencari penghasilan tambahan dengan menanam tanaman buahan-buahan seperti manggis, durian, dan lainnya, sebagai tanaman tumpang sari. “Pemerintah daerah memberikan kami kebebasan untuk menanam apa saja di sela-sela tanaman kopi,” ujar pekebun kopi yang lain.

14120440301238851864
14120440301238851864
Foto biji Kopi Lantan (Ahyar) 

Kalau dulu PT. Tresno Kenangan mengolah biji kopi arabika itu menjadi kopi bubuk cap 555, kini masyarakat hanya menjual biji-biji kopi kering giling ke pasar-pasar tradisional. “Bahkan kalau hasil rendah seperti ini, saya tidak jual, hanya untuk kebutuhan keluarga,” kata Amaq Ati.

Harga jual tidak tetap, terus mengalami fluktuasi setiap musimnya, dari Rp 18 ribu hingga Rp 25 ribu. Saat harga sedang bagus, mereka biasanya menjual ke pengepul. Tapi kalau harga sedang turun, mereka menjual langsung ke pasar. “Kalau jual langsung ke pasar lumayan ada tambahan harga,” ujar Sonatul.

Kebutuhan akan kopi tak pernah surut, tetapi sulit dipenuhi oleh produksi lokal. Para pekebun kopi mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah terhadap perkebunan kopi di Desa Lantan. Mereka sangat berharap mendapatkan penyuluhan teknis budidaya untuk meningkatkan produksi. (Ahyar)

Lombok, 14 September 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun