Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Gini Kok Masih Ribut Soal Pancasila?

20 Oktober 2014   01:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:27 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1413719197942475304

[caption id="attachment_348615" align="aligncenter" width="518" caption="Diskusi Pancasila di Wisma Makara UI"][/caption]

Saya jadi teringat kisah seorang anggota DPR-RI asal NTB. Saya tak ingat lagi tahunnya, tetapi kira-kira di tahun-tahun awal reformasi. Kepada saya anggota DPR itu bercerita tentang seorang cucunya yang suatu hari bernyanyi lagu Garuda Pancasila versi plesetan Hary Rusli itu. Anggota dewan kita ini gusar bukan kepalang, ketika sang cucu yang beranjak remaja itu, menjawab dengan cuek permintaan kakeknya untuk memperbaiki nyanyiannya itu. “Santai saja kek, zaman sudah berubah.

Hari gini kok masih ribut soal Pancasila?” Seperti skak mat dalam permainan catur, sang kakek mati kutu. Ia tidak ingin lagi berdebat panjang dengan sang cucu. Melalui teleponnya ia berkeluh kesah kepada saya. Ia merasa nelongso, mengapa dasar negara yang mulia itu dipermainkan begitu rupa oleh cucunya? Apakah di tengah eforia kebebasan, bangsa ini tidak butuh lagi Pancasila? Kepada saya, ia katakan akan mengkampanyekan kembali Pancasila.

Saya tidak tahu kemudian, apa benar itu ia lakukan. Kalau benar, bagaimana gerangan caranya? Siapa pula sasarannya? kaum pelajar seperti cucunya? Kalangan birokrat yang lumutan dengan korupsi? Atau kepada koleganya sesama anggota dewan yang lebih sibuk berebut kursi dan suara ketimbang memikirkan Pancasila Belakangan saya kenal dengan Jeremy. Saya tidak ingat nama lengkapnya. Yang saya ingat ia Mahasiswa University of Melbourne Australia, yang sedang mengkaji Pancasila dalam kehidupan masyarakat di Lombok.

Saya bertanya sampai tiga kali kepadanya; anda serius mengkaji Pancasila di negara yang bisa jadi sudah lupa dengan dasar negaranya itu? Jeremy tidak kaget dengan pertanyaan saya, ia bahkan bercerita hampir setiap kali bertemu nara sumber untuk wawancara, pertanyaan serupa ia terima.

Jeremy jadi balik keheranan dan bertanya kepada saya: Apakah itu pertanda  para nara sumbernya heran ada orang asing meneliti Pancasila? Atau justru karena dalam tempurung kepala para nara sumber tadi, Pancasila tidak pernah terpikirkan lagi? Di tanya balik begitu saya serasa kena skak mat juga. Saya tak tahu apakah harus jawab jujur atau sedikit diplomatis kepada peneliti asing ini?

Gejala Verbalisme

Musim berlalu zaman berganti, Pancasila seperti kehilangan arti dan relevansi. Dulu di zaman orde lama, atas nama Pancasila Bung Karno merumuskan politik demokrasi terpimpin dengan mantra saktinya Nasakom (Nasionalis, Komunis dan Agama). Hasilnya seperti menggarami air laut, konsep Nasakom hanya indah dalam retorika, namun kacau-balau dalam realita. Demokrasi terpimpin ala Soekarno kemudian menemukan jalan buntu.

Di ujung jalan itu sejarah mencatat terjadi tragedi berdarah yang hingga kini masih berselimut misteri. Itulah dia tragedi 30 September 1965. Tragedi yang kemudian menumbangkan Sukarno dengan Nasakomnya. Lalu datang Jenderal Besar Soeharto sebagai penguasa Orde Baru. Penguasa yang satu ini mendesain konsep politiknya dengan nama yang tak kalah cantik: demokrasi Pancasila.

Bagaimana buahnya? Selama 32 tahun berkuasa, demokrasi Pancasila tidak lebih sekadar kamuflase dari praktek sebuah rezim yang represif.  Pancasila hanya ada dalam retorika seremonial tetapi jauh dari esensi yang subtansial. Pancasila turun derajatnya dari roh dan spirit sebagai dasar negara hanya tinggal menjadi “mantra sakti” yang digunakan sebagai alat legitimasi melanggengkan kekuasaan.

Tumbuh suburlah apa yang Almarhum Nurcholis Madjid sebut sebagai gejala Verbalisme. Yaitu gejala di mana bangsa ini merasa telah menjalankan Pancasila karena terlalu sering diucapkan. Sementara sejatinya, pikiran dan perilaku bangsa ini bukan hanya kerapkali berbeda, tetapi tidak sedikit pula yang berseberangan dengan nilai-nilai Pancasila. Sialnya, gejala verbalisme tadi tidak ikut mengalami reformasi, tatkala 21 Mei 1998 Jenderal Besar Soeharto lengser dari tahta kekuasan.

Justru sebaliknya, di zaman reformasi kini, diam-diam menguat gejala di mana Pancasila dianggap persis seperti omplet tua yang di pajang sebagai barang antik warisan masa silam yang tidak lagi relevan buat semangat zaman. Eforia reformasi membuat republik ini seperti rumah besar yang gaduh dan rapuh. Tiap-tiap penghuninya sibuk mementingkan diri sendiri dan kehilangan sikap toleransi terhadap keberagaman dan pluralisme.

Merebaklah di seantero negeri, sikap memaksakan hasrat dan kehendak, cara pandang yang saling curiga, perpecahan, tindak anarki, kekerasan, dan bahkan keinginan (laten atau manifes) untuk berpisah dari rumah induk yang bernama Republik Indonesia.

Digali Lalu dikubur!

Dalam desertasi doktornya di Chicago University yang kemudian diterjemahkan menjadi buku menarik bertajuk Islam dan Kenegaraan: Studi Percaturan dalam Konstituante, Buya Syafii Maarif mengulas dengan mendalam bagaimana dalam sidang konstituante hasil pemilu 1955, berlangsung perdebatan sengit mengenai dasar negara. Setidaknya ada tiga rancangan draf dasar negara yang waktu itu mengemuka:

Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi. Yang disebut terakhir kemudian tenggelam karena hanya didukung partai Murba dan Partai Buruh yang memiliki kursi kurang dari 5 persen di majelis konstituante.  Tinggallah kemudian dasar negara Pancasila dan Islam yang berdebat sengit.

Jika merujuk kepada hasil pemilu 1955, partai-partai Islam yang hanya memperoleh suara kurang dari 45 persen akan sulit mengolkan dasar negara yang bersendikan Islam. Tetapi tidak mudah juga bagi kaum nasionalis memuluskan jalan bagi Pancasila untuk ditetapkan sebagai dasar negara. Akhirnya memang yang terjadi kompromi dan negosiasi. Dan hasil finalnya Pancasila diterima sebagai dasar negara hasil konsensus politik bersama.

Sebagai dasar negara negara, Pancasila adalah mimpi bangsa indonesia (the Indonesian Dream) yang masih menuntut kita untuk berkeringat mewujudkannya menjadi realita yang membumi. Agar ia tidak berhenti hanya menjadi seonggok falsafah mulia yang tercatat dalam dokumen tua sejarah, tetapi kian hari kian berjarak dalam kehidupan kita sebagai bangsa di republik ini.

Saat ini, hampir 15 tahun sudah kita mengenyam apa yang kita sebut kebebasan politik. Kebebasan politik ini sepatutnya kita kelola tetap dalam koridor konsensus politik yang bernama Pancasila. Kalau sekarang dan mungkin pula masih akan terjadi dalam waktu yang cukup panjang ke depan, kita melihat bagaimana bangunan republik begitu rapuh sandaran Ketuhanannya, kehilangan rasa kemanusiannya, goyah persatuan nasionalnya, jauh dari spirit musyawarah-mufakatnya dan kian tidak peka rasa keadilan sosialnya, pastilah itu perlambang dari tercederainya Pancasila sebagai dasar negara hasil konsensus politik bersama.

Sebagai konsensus politik nasional, Pancasila sejatinya tidak pernah usang dan bukan sesuatu yang tanpa dasar. Kekeliruan kita selama ini, selalu menjadikan Pancasila sebagai sesuatu yang sudah final dalam pemikiran dan praktek sosial. Akibatnya kita kerap terjebak ”memberhalakan” Pancasila atau bahkan bersikap masa bodoh terhadapnya. Kedua sikap ini sama-sama ekstrem dan kontraproduktifnya untuk menjadikan Pancasila alat yang efektif menggelola keberagaman yang begitu berwarna di republik ini.

Dalam kaitan ini menarik kita simak pikiran Bung Hatta. Beberapa tahun setelah perdebatan panjang di majelis konstituante 1955 itu, Bung Hatta menulis satu kalimat pendek yang tajam: ”dalam perjalanannya, tidak sedikit orang yang menggali Pancasila, juga sekaligus menguburkan sendiri galiannya itu!” Beberapa tahun sebelum wafatnya, Bung Hatta masih pula mengingatkan kita bahwa terlalu sedikit manusia Indonesia yang menanam Pancasila sebagai suatu keyakinan yang berakar dalam hatinya.

Orang lupa kelima sila itu berangkaian, tidak berdiri sendiri-sendiri. Mengamalkan yang satu berarti wajib pula  mengamalkan yang lainnya. Meniadakan yang satu, berarti menafikan pula yang lainnya. Sebagai sosok pemimpin yang dikenal puritan dalam menjalani Islam sebagai keyakinan agamanya, sekaligus begitu demokratis dalam paham politiknya, Hatta mungkin adalah sosok yang paling tepat untuk dijadikan rujukan bagaimana semestinya umat Islam Indonesia menafsirkan Pancasila.

Bagi Hatta, sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip spiritual dan etik pembimbing cita-cita kenegaraan Indonesia. Sementara  sila Kemanusian Yang Adil Dan Beradab menjadi kelanjutan sila pertama dalam prakteknya. Begitu juga sila ketiga dan keempat. Sementara sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah tujuan atau terminal terakhir dari cita-cita ideologi pancasila.

Amnesia

Dengan berpegang teguh kepada filsafat ini, kata Hatta, pemerintah negara Indonesia dan segenap rakyatnya punya jalan lurus yang akan membawanya kepada keselamatan, keadilan dan kesejahteraan. Sekaligus ikut mewarnai ketertiban dunia dan persaudaraan antar bangsa.

Tapi faktanya, tidak masuk dalam nalar sehat siapa saja, sebuah bangsa yang memiliki konsensus politik seperti Pancasila, menjadi bangsa terkorup di dunia. Menjadi bangsa dengan produktivitas yang begitu rendah, tetapi begitu doyan mengkonsumsi segala macam hedonisme dunia. Menjadi bangsa yang mengaku beragama sekaligus kerap mempermainkan hak-hak kaum dhu’afa. Menjadi bangsa bebal yang doyan betul mengedepankan otot ketimbang mengapresiasi inovasi dan kreativitas.

1 Juni 1945, Bung karno berorasi dengan begitu memikat: ”Saudara-saudara! Dasar negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Di atas kelima dasar inilah kita mendirikan negara Indonesia. Kekal, abadi dan sentosa”.  Apakah Bung Karno yang sedang bermimpi atau kita kini yang kehilangan daya kreasi untuk merealisasikan mimpi?

Saya tidak tahu jawabannya. Tapi Jeremny sang peneliti dari Australia tadi, ketemu saya lagi sebulan yang lalu. Ia kini telah menjadi dosen tamu di sebuah universitas di Singapura, berujar pada saya: Pancasila anda itu luar biasa. Tapi bangsa anda ini jangan-jangan sedang menderita amnesia yang juga luar biasa.

Penulis aktif di Menulis Komunitas Kampung Media (www.kampung-media.com), Kompasiana.com & www.ahyarrosi.blogspot.com. tweeter, @AhyarRos. HP (081 907 410 437)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun