Pendahuluan
Salah satu wujud penyelenggaraan negara yang demokratis adalah negara yang memberikan hak kepada seluruh warga negaranya untuk bisa mengakses dan memperoleh informasi publik dari Badan Publik sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Hak untuk memperoleh informasi ditempatkan dalam posisi yang sangat tinggi.Â
Dikarenakan hak untuk memperoleh informasi merupakan hak fundamental setiap warga negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28F bahwa: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."
Undang-Undang lain yang juga menjamin setiap warga negara untuk menggunakan haknya dalam mengakses dan memperoleh informasi publik adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Atas dasar itulah, hak atas informasi diklasifikasikan sebagai hak konstitusional yang menuntut kewajiban negara untuk memenuhinya.
Sejak tahun 1946, Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengadopsi Resolusi 59 (1), yang menyatakan bahwa "Kebebasan informasi adalah hak asasi yang fundamental dan merupakan tanda dari seluruh kebebasan yang akan menjadi titik perhatian PBB." Bahkan hak atas informasi juga diakui secara internasional dalam Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights yaitu:Â
"Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apapun dan dengan tidak memandang batas-batas negara."
Mengakui bahwa kemudahan dalam mengakses dan memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia selain sebagai hak konstitusi setiap warga negara, maka pada tanggal 30 April 2008 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).Â
Sebagaimana yang disampaikan dalam Undang-Undang KIP Pasal 1 ayat (4), bahwa "Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau adjudikasi nonlitigasi."Â
Keseriusan DPR RI dalam menetapkan Undang-Undang KIP harus diapresiasi dengan baik. Sebab DPR RI menyediakan kerangka hukum yang kuat sebagai jaminan hak bagi setiap warga negara untuk menggunakan akses dan memperoleh informasi dari Badan Publik.Â
Dengan kata lain, DPR RI mendukung terselenggara dan terciptanya penyelenggaraan negara yang baik (good governance), yaitu pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam setiap proses pembuatan kebijakan publik. Inilah yang menjadi komitmen moral bagi pemerintah yang mampu mengubah paradigma kekuasaan menjadi pelayanan publik.Â
Akan tetapi, sejak Presiden Joko Widodo menetapkan wabah virus Corona Covid-19 sebagai bencana nasional melalui penerbitan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), menyebabkan pelaksanaan Keterbukaan Informasi Publik mendapatkan tantangan yang besar di masa pandemi ini.
Pandemi Covid-19 sepertinya menunjukan ketidaksiapan Indonesia dalam menghadapi bencana ini. Tata kelola komunikasi yang seharusnya menjadi perhatian serius, tak luput  mengalami gangguan. Hal ini terlihat dari terjadinya anomali dan kesenjangan pengetahuan publik yang disebabkan karena penyampaian informasi yang menjadi domain Badan Publik dianggap belum maksimal, sehingga belum bisa dikatakan tepat dalam memberikan informasi mengenai situasi saat ini secara komprehensif. Hal ini dikarenakan masih banyak terjadinya misinformasi bahkan disinformasi mengenai penanganan pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 memang menyebabkan ketakutan dan kegelisahan karena beredarnya infodemi. Menurut World Heatlh Organization (WHO), infodemi adalah informasi berlebihan mengenai Covid-19 secara daring atau luring. WHO menyebutkan informasi ini mencakup upaya yang disengaja untuk menyebarkan informasi yang salah dengan tujuan merusak upaya penanganan Covid-19 yang sedang dan akan dilakukan. Di saat menghadapi situasi krisis seperti ini, kemampuan manajemen komunikasi publik yang dimiliki oleh Badan Publik memegang peranan penting untuk mengurangi gap informasi. Kebijakan komunikasi yang menjadi domain Badan Publik, seharusnya memperhatikan bermacam aspek, terutama yang berkaitan dengan mitigasi penanganan pandemi Covid-19.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, sebuah Badan Publik memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang telah ditetapkan oleh DPR RI sebagaimana yang termaktub pada Pasal 7 ayat (1) dan (2) bahwa:
"Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan" (Pasal 7 ayat (1)).
"Badan Publik wajib menyediakan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan" (Pasal 7 ayat (2)).
Lalu sejauh mana kesiapan Badan Publik dalam mengimplementasikan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di masa pandemi Covid-19 yang terjadi di negeri ini?
Pembahasan
1. Keterbukaan Informasi Publik Sebagai Langkah Mitigasi Pandemi
Di saat menghadapi situasi krisis pandemi Covid-19 seperti ini, penyampaian serta penyebarluasan informasi memegang peranan yang sangat penting. Di era demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan dan transparansi informasi, tentu akan memperlihatkan kemampuan Badan Publik dalam melakukan komunikasi publik yang dikelolanya untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat.
Adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sebenarnya memungkinkan bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi membantu jalannya sebuah sistem informasi. Inilah yang seharusnya menjadi dasar landasan bagi Badan Publik untuk mengelola informasi yang valid mengenai virus Covid-19 yang akan disampaikan kepada masyarakat. Mengingat informasi akan mempengaruhi keberlanjutan kehidupan masa depan bangsa menjadi lebih baik.
Di tengah arus informasi yang kian mendominasi, masyarakat melihat telah terjadi kesenjangan upaya dalam menekan persoalan menghadapi pandemi Covid-19. Salah satunya adalah di satu sisi pemerintah mendorong tentang transparasi informasi, tapi di sisi lain justru pemerintah seolah-olah seperti menutupi dan menciptakan keresahan masyarakat terkait penyebaran Covid-19, pelayanan kesehatan, dan pelayanan umum lainnya selama masa pandemi. Padahal dengan adanya keterbukaan informasi publik akan membantu memastikan kepercayaan (trust) dan akuntabilitas masyarakat terhadap kebijakan yang diambil oleh Badan Publik.
Dorongan yang kuat dari masyarakat sesungguhnya sesuai dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Komisi Informasi Pusat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pelayanan Informasi Publik Dalam Masa Darurat Kesehatan Masyarakat Akibat Covid-19 pada tanggal 6 April 2020. Dimana isi dari surat edaran tersebut menitikberatkan pada penyampaian informasi secara transparan yang dilakukan oleh Badan Publik. Menurut Sastro (2010:4-5) menjelaskan tujuan dilakukannya keterbukaan informasi publik, yaitu:Â
1) menjamin hak masyarakat mengetahui apa yang dilakukan Badan Publik hingga keputusan, 2) mendorong masyarakat agar berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, 3) meningkatkan peran aktif masyarakat sehingga adanya transparansi, efektif, dan efisiensi, 4) agar publik mengetahui alasan diambilnya suatu kebijakan publik, 5) dapat mengembangkan pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, 6) menjadi acuan bagi badan publik dalam melaksanakan pelayanan informasi publik sehingga menghasilkan pelayanan informasi publik yang berkualitas.
Perlu diingat bahwa hal mendasar bagi setiap warga negara dalam memperoleh informasi merupakan hak asasi setiap manusia dan juga hak konstitusional. Sehingga dalam memperoleh informasi tidak sekedar valid saja melainkan juga harus cepat. Berkaitan dengan upaya Badan Publik dalam menanggulangi penyebaran virus Covid-19 dalam perspektif Keterbukaan Informasi Publik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:
a) Informasi berkala terkait penanggulangan virus Covid-19 merupakan informasi yang wajib disampaikan kepada masyarakat informasi dengan catatan harus disesuaikan dengan kedaruratan pandemi yang sedang dihadapi. Berdasarkan pada Surat Edaran Komisi Informasi Pusat Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pelayanan Informasi Publik Dalam Masa Darurat Kesehatan Masyarakat Akibat Corona Virus Disease (Covid-19) poin 7 menyampaikan "meminta agar Ketua Gugus Tugas Percepatan Covid-19, para Menteri, para Kepala Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, para Gubernur, para Bupati/Walikota, dan instansi pemerintah lainnya yang berwenang mengurus ketersedian pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari-hari lainnya selama masa darurat kesehatan akibat Covid-19, menyampaikan informasi secara berkala beserta hotline yang dapat dihubungi oleh masyarakat setempat dengan bahasa yang mudah dipahami, diantaranya:Â
a) informasi tentang ketersediaan, distribusi dan cara mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari-hari lainnya; b) informasi cara mendapatkan hak atas program-program pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait bantuan untuk lapisan masyarakat lapisan bawah, pekerja pada sektor informal, pelaku usaha mikro dan kelompok rentan lainnya; c) informasi akses layanan keuangan dan perbankan; dan d) informasi akses dan perubahan mekanisme layanan publik lainnya yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.
b) Informasi serta merta merupakan informasi yang harus selalu disampaikan secara cepat, akan tetapi tetap mengedepankan kevalidan informasi yang disampaikan. Khususnya yang berkaitan dengan masyarakat terdampak, agar mereka bisa dengan sigap mengambil langkah-langkah penyelamatan baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk keluarganya dan lingkungannya dari ancaman penyebaran virus Covid-19.
c) Informasi tersedia setiap saat merupakan informasi yang harus dikelola dengan benar dan profesional oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang telah ditunjuk oleh Badan Publik.
2. Pemenuhan Hak Setiap Warga Negara Memperoleh Informasi Publik
Konsekuensi dari diberlakukannya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik adalah mewajibkan semua Badan Publik untuk melaksanakannya. Kehadiran Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik menjadi sebuah kekuatan tersendiri bagi masyarakat untuk memperoleh informasi publik, walaupun hak atas informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia bersifat derogable. Artinya, hak yang bisa dikurangi dan dibatasi dengan ketentuan tertentu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik telah menjamin hak atas informasi publik yang ingin diketahui masyarakat informasi dari Badan Publik sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 4 ayat (2) dan Peraturan Komisi Informasi Pasal 19 ayat (1) yang berbunyi:
"Setiap orang berhak memperoleh informasi publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini" (Pasal 4 ayat (1)).
"Setiap orang berhak memperoleh informasi publik dengan cara melihat dan mengetahui informasi serta mendapatkan salinan informasi publik" (Pasal 19 ayat (1)).
Meski Undang-Undang tersebut telah memberikan jaminan, tetapi masyarakat masih belum memperoleh kepuasan untuk bisa memperoleh informasi dari Badan Publik. Hal ini dikarenakan proses untuk memperolehnya dinilai masih menguras waktu karena dianggap jalur birokrasi yang harus dilalui cukup panjang dan berbelit-belit. Sedangkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik mengamanatkannya dalam Pasal 21 mengenai mekanisme memperoleh informasi.
"Mekanisme untuk memperoleh informasi publik didasarkan pada prinsip cepat, tepat waktu, dan biaya yang ringan."Â
Di masa pandemi Covid-19 yang dihadapi Indonesia saat ini, kebutuhan akan informasi data Covid-19 sangat tinggi. Mencermati kondisi tersebut maka dibutuhkan keterbukaan informasi publik yang terkoordinasi dan juga sustainable mengenai pesan-pesan utama untuk memberikan awareness dan/atau pengetahuan (knowledge) agar dapat membentuk perilaku masyarakat  dalam memerangi bahaya virus Covid-19. Untuk itu, keberadaan Komisi informasi sebagai sebuah lembaga negara yang memegang fungsi maupun peranan dalam melaksanakan Undang-Undang ini diharuskan untuk mengawal informasi yang berkaitan dengan Covid-19 yang disampaikan oleh Badan Publik secara teliti, cermat, tepat, akurat, dan cepat agar bisa diterima oleh masyarakat dengan baik.
Melalui Surat Edaran Komisi Informasi Pusat Nomor 2 Tahun 2020 pada poin 6 meminta agar seluruh PPID Badan Publik untuk tetap melakukan pelayanan informasi dengan memperhatikan hal-hal berikut ini: a) Memaksimalkan pelayanan informasi berbasis daring (online); b) Jika terdapat pelayanan informasi yang tidak dapat dilakukan berbasis daring (online), maka Badan Publik wajib menerapkan dan mengedepankan kebijakan pembatasan jarak aman (jaga jarak), menggunakan alat pelindung diri (APD) dan protokol kesehatan lainnya sesuai dengan petunjuk pemerintah dan/atau instansi yang kompeten lainnya; c) memprioritaskan penyampaian informasi secara berkala dan serta-merta berbasis daring (online), khususnya terkait dengan layanan publik di Badan Publik selama masa darurat kesehatan akibat Covid-19 berlangsung; d) memprioritaskan penyampaian informasi secara berkala dan berbasis daring (online) atau media lainnya, khususnya terkait dengan rencana kebijakan dan anggaran, rencana perubahan kebijakan dan anggaran, dan mekanisme partisipasi publik di Badan Publik selama masa darurat kesehatan akibat Covid-19 berlangsung, dengan mempertimbangkan kebijakan pembatasan sosial dan pembatasan jarak aman (jaga jarak).
3. Komunikasi Krisis di Masa Pandemi
Reformasi telah membawa beberapa perubahan mendasar dalam konstitusi Indonesia. Indonesia meratifikasi kovenan hak asasi manusia dan melakukan amandemen terhadap Undang Undang Dasar 1945. Hasil amandemen tersebut memuat jaminan pemenuhan hak warga negara untuk mengakses informasi, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28F. Akan tetapi, pelaksanaan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dalam penanganan pandemi virus Covid-19 sebagai kasus luar biasa, mengalami ketegangan dan cukup menarik perhatian.Â
Hal ini dikarenakan di masa pandemi Covid-19, produk konstitusional Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Kesehatan tentang Penjaminan Kerahasiaan Data Pasien. Padahal sejatinya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik sangat dibutuhkan dalam menghadapi situasi krisis darurat informasi yang dihadapi seperti saat ini. Oleh sebab itu, melalui Surat Edaran Komisi Informasi Pusat Nomor 2 Tahun 2020 poin 4 disebutkan bahwa Komisi Informasi Pusat memberikan panduan terkait informasi yang wajib disampaikan oleh Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Gubernur, Bupati/Walikota, dan instansi pemerintah lainnya yang terkait dengan penanganan darurat kesehatan akibat Covid-19
Seperti yang diketahui bahwa di masa krisis seperti ini, berita dapat menyebar dengan sangat cepat sehingga berpotensi melumpuhkan langkah mitigasi dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19. Sebab penyebaran informasi yang simpang siur akan berdampak bagi masyarakat yang sebenarnya mereka tidak memperoleh pengetahuan melainkan menambah kecemasan yang berlebihan akan pandemi. Salah satunya yang terjadi adalah timbulnya panic buying.
Penyebab terjadinya panic buying dikarenakan selain adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa akan terjadi kelangkaan kebutuhan sehari-hari, juga disebabkan karena masyarakat mengalami kecemasan mengenai angka kasus Covid-19 dan varian virus jenis baru yang muncul. Selain itu, fenomena yang saat ini juga terjadi di tengah masyarakat adalah setelah gencarnya gerakan "Ayo Vaksin", penerapan protokol kesehatan terlihat semakin diabaikan.Â
Hal ini dapat dilihat dari masyarakat yang tidak menggunakan masker dan tidak menjaga jarak di berbagai aktivitas yang dilakukan. Ini merupakan sebuah gambaran dari rendahnya sense of behavior control yang terjadi di masyarakat. Munculnya fenomena tersebut di tengah masa pandemi seperti ini semakin menuntut peran Badan Publik untuk lebih memperhatikan cara penyampaian dan pemberian informasi. Bila diperlukan dapat juga dilakukan pendampingan selama masa pandemi dalam memberikan edukasi maupun literasi kepada seluruh tingkatan, khususnya kepada pihak yang bersentuhan secara langsung dengan masyarakat.
Perlu diketahui bahwa penanganan informasi publik di masa pandemi Covid-19 seperti ini merupakan bagian dari komunikasi krisis karena bencana maupun komunikasi kesehatan. Menurut Robert A. Logan (2008) komunikasi publik mengenai kesehatan harus bersifat informatif dan persuasif. Tujuannya untuk mengubah pengetahuan, kesadaran, dan sikap publik mengenai cara mengatasi suatu penyakit atau kesehatan. Komunikasi krisis yang efektif memerlukan pemahaman dari komunikator pesan terhadap audiens, tujuan, pesan, cara komunikasi yang paling efektif untuk mencapai hasil yang diinginkan, dan juga mau mendengarkan audiens serta membangun empati dengan mengakui keprihatinannya.
4. Garda Depan Penyampai Informasi di Masa Pandemi
Adanya pandemi Covid-19 tidak hanya mengancam negara Indonesia, tetapi juga mengancam seluruh negara di dunia. Mengatasi virus Covid-19 ini harus diatasi dengan komunikasi yang baik serta langkah strategis yang tepat guna. Dalam situasi krisis, cara dan pesan yang disampaikan kepada masyarakat tentu harus disesuaikan. Peran Badan Publik baik di pusat maupun di daerah menjadi sangat penting dalam kondisi krisis seperti yang terjadi saat ini. Utamanya ialah untuk memberikan pengetahuan, memberikan ketenangan, memberikan kepastian, dan meyakini bahwa dengan bersama-sama Indonesia akan mampu memerangi virus Covid-19 dan melewati masa krisis yang dialami.
Seperti yang diketahui bahwa permasalahan komunikasi di Indonesia belum secepat dan se-transparan seperti negara-negara lain yang juga terdampak virus Covid-19, contohnya seperti negara Singapura. Walaupun secara detail informasi terkait identitas pasien yang terjangkit virus Covid-19 tidak disebutkan karena negara tersebut juga mempunyai Undang-Undang yang mengatur tentang kerahasiaan identitas pasien, Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO mengapresiasi pemerintah Singapura dengan mengatakan bahwa komunikasi yang dilakukan Perdana Menteri Singapura melalui video singkatnya sangat membantu dalam memberikan penjelasan terkait resiko virus Covid-19 dan mampu meyakinkan warganya melewati masa krisis yang akan mereka hadapi.
Di Indonesia dapat dikatakan bahwa negara ini mengalami kendala dari segi komunikasi publik, sebab yang terjadi justru informasi yang disampaikan dinilai belum utuh karena masyarakat masih mengalami kebingungan dan ketidakpastian. Adanya kendala tersebut sehingga memunculkan penilaian bahwa informasi yang disampaikan belum utuh tentu memiliki latar belakang atau alasan yang menjadi pertimbangan.Â
Hal ini dikarenakan Badan Publik harus melaksanakan regulasi yang terkait dalam setiap kebijakan yang dilakukan. Selain itu, Badan Publik yang memiliki otoritas dalam menerima informasi data Covid-19 dan menyampaikan informasi tersebut harus dihadapkan dengan kemungkinan yang bisa saja terjadi apabila informasi disampaikan secara lengkap, yaitu berupa kemungkinan akan terciptanya kegaduhan. Sebab masyarakat dianggap belum siap dalam menyikapi informasi yang sekiranya disampaikan secara utuh. Tetapi, di sisi lain Badan Publik seolah-olah terbentur dengan kewajiban untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 10 bahwa:
"Badan Publik wajib mengumumkan secara serta merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum".
Adapun informasi yang terkait dengan pasal tersebut antara lain 1) informasi mengenai bencana alam, seperti kebakaran hutan, wabah, kejadian antaraiksa, dan lain-lain; 2) informasi non-bencana alam, seperti kegagalan industri, pencemaran lingkungan, ledakan nuklir; 3) bencana sosial, seperti kerusuhan, konflik sosial, teror; 4) informasi terkait racun yang ada pada makanan dan bahan lainnya yang digunakan atau dikonsumsi oleh masyarakat.
Pertanyaan mendasar kemudian muncul. Banyak pihak yang mempertanyakan mengenai siapakah yang berwenang dalam melakukan penyampaian informasi publik terkait kewenangan dalam melakukan penyampaian informasi publik terkait data Covid-19 mengingat status darurat bencana nasional Covid-19 yang terjadi? Apakah semua Badan Publik melalui Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang telah ditunjuk yang menguasai data Covid-19 ataukah tidak semuanya berwenang dikarenakan status darurat bencana kesehatan akibat virus Covid-19? Â
Melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 sebagaimana yang telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Kepres Nomor 7 Tahun 2020 serta efektifitas dan efisiensi pengelolaan informasi data Covid-19 harus diintegrasikan ke dalam satu struktur dan kewenangan.Â
Sehingga seluruh informasi data Covid-19 perlu diintegrasikan dalam satu penugasan yang menjadi penguasaan Gugus Tugas Covid-19. Terlepas dari Badan Publik manapun di tingkat pusat yang menguasai informasi data Covid-19. Karena pengintegrasian terhadap seluruh informasi data Covid-19 yang tersebar pada seluruh Badan Publik Negara, yaitu Kementerian, Lembaga Non Kementerian, TNI, Polri, Pemerintah Daerah, dan  sebagainya akan memudahkan dalam proses pengelolaan, pengklasifikasian, pendokumentasian, dan juga penyampaian  kepada masyarakat terkait informasi data Covid-19.
Berdasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 disebutkan bahwa juru bicara Pelaksana Gugus Tugas terdiri dari 1) Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatik; 2) Deputi Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden, 3) Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi BNPB, 4) Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan; 5) Staf Ahli Bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Adapun tugas dari Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 antara lain 1) melaksanakan komunikasi publik, 2) agenda setting, 3) menyusun strategi komunikasi, 4) melaksanakan monitoring terhadap media pemberitaan, dan 5) menjadi juru bicara Pelaksana Gugus Tugas.
Jika dikaji dari bunyi Keputusan Presiden (Keppres) tersebut, Tim Komunikasi Gugus Tugas secara jelas telah memiliki peran komunikasi terbuka di dalamnya. Hal ini membuktikan bahwa peran penyampaian informasi publik dalam melaksanakan Keterbukaan Informasi Publik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh Gugus Tugas.
Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dilihat bahwa upaya mitigasi penanganan virus Covid-19 tidak sebatas perspektif medis saja, melainkan juga melalui perspektif komunikasi. Adapun pihak yang menjadi aktor utamanya adalah Badan Publik sebagai pihak penyedia dan penyampai informasi kepada masyarakat. Komunikasi yang dilakukan oleh Badan Publik kepada masyarakat merupakan sebuah bentuk kewajiban moral (moral obligation) sebagai pihak yang mengemban amanah rakyat berdasarkan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Untuk melaksanakan amanah tersebut, maka semua gagasan maupun pemikiran yang dilakukan harus dituangkan dalam bentuk informasi, kebijakan, maupun peraturan yang berorientasi pada kepentingan seluruh warga negaranya dengan menjunjung tinggi asas keterbukaan informasi.
Peran Badan Publik dalam melaksanakan keterbukaan informasi sangat menentukan keberhasilan dalam menghadapi bencana virus Covid-19. Meski harus diakui bahwa Badan Publik belum maksimal dalam melakukan komunikasi krisis sehingga tidak sekali menimbulkan kebingungan masyarakat, perlu juga untuk diapresiasi atas upaya yang terlihat dengan pengadaan dan penyampaian informasi terkait data Covid-19 yang dilakukan.
Diketahui bahwa menghadapi pandemi Covid-19 sangatlah tidak mudah, karena dibutuhkan kepatuhan maupun kerja sama dari berbagai pihak termasuk dari masyarakat dalam menangani persoalan ini. Khusus dalam kerangka komunikasi yang harus dilakukan oleh Badan Publik, yaitu competeness, concise, consideration, concreteness, clarity, courtessy, dan correctness harus menjadi dasar dalam melakukan aktivitas komunikasi ketika menyampaikan informasi. Sebab komunikasi sebagai pilar kehidupan yang digunakan untuk menjaga agar masyarakat mampu bersikap lebih bijak dalam menerima informasi, tenang selama menghadapi masa krisis seperti saat ini, dan patuh terhadap kebijakan mengenai protokol kesehatan.
Berpegang pada amanat Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, serta peraturan pendukung lainnya yang berlaku, Badan Publik harus tetap melakukan inovasi dalam penyampaian dan penyebaran informasi Covid-19 dengan tujuan terpenuhinya pelayanan atas hak masyarakat untuk memperoleh informasi data Covid-19 demi terwujudnya masyarakat informasi yang maju dan partisipatif menuju Indonesia yang cerdas dan sejahtera.
2. Saran
a) Kebutuhan masyarakat dalam memperoleh informasi, khususnya di masa seperti saat ini menjadi sebuah kebutuhan utama yang harus dipenuhi oleh Badan Publik selaku pihak yang memperoleh informasi terkait data Covid-19. Oleh karena itu, kepada Badan Publik yang apabila dimintai informasi oleh masyarakat sebagai pemohon informasi harus memberikan kemudahan dalam pelayanan secara baik, cepat, tepat waktu, serta biaya yang ringan sebagaimana amanat dalam Undang-Undang dan Peraturan Pelaksananya yang berlaku.
b) Badan Publik memiliki kewenangan untuk tidak menyampaikan informasi yang dimilikinya. Akan tetapi, informasi yang dikecualikan dalam regulasi pada situasi khusus seperti saat ini yaitu masa pandemi Covid-19 menjadi sesuatu yang perlu untuk dipertimbangkan. Atas dasar pertimbangan untuk melindungi keselamatan nyawa masyarakat yang lebih luas, seperti apa yang menjadi kerugian ataupun manfaat apabila data Covid-19 terkait rekam medik pasien yang terpapar virus Covid-19 dibuka atau dikecualikan? Hal ini dimaksudkan agar warga sekitar dapat mengantisipasi dirinya sendiri maupun keluarga serta lingkungan sosialnya dari penularan virus.
c) Pelaksanaan komunikasi bencana terkait penanggulangan virus Covid-19 hingga sejauh ini dapat dilihat pola komunikasi krisis yang dilakukan masih belum dilaksanakan secara terstruktur. Hal ini mengakibatkan kebijakan yang tumpang tindih dan menimbulkan kebingungan masyarakat dalam menerima informasi. Oleh sebab itu, sebaiknya komunikasi informasi sebagai salah satu kebutuhan utama masyarakat dilakukan dari satu pintu berdasarkan otoritas yang telah diberikan oleh Presiden kepada Badan Publik Gugus Tugas melalui Keppres Nomor 7 Tahun 2020.
d) Dibentuknya Badan Publik Gugus Tugas diharapkan dapat menyampaikan informasi terkait data Covid-19 secara 1) lengkap (completeness), artinya pesan yang disampaikan berisi semua informasi yang berisi materi atau data Covid-19; 2) singkat (concise), artinya pesan yang disampaikan jelas dan singkat tanpa mengurangi atau melebih-lebihkan isi pesan yang disampaikan; 3) pertimbangan (consideration), artinya mampu menempatkan rasa empati kepada seluruh masyarakat yang mendengarkan isi pesan yang disampaikan; 4) konkrit (concreteness), artinya penyampaian data informasi harus pasti, tidak mengandung multi interpretasi (ambiguitas) dan kebohongan data.Â
Dalam kondisi darurat bencana kesehatan seperti wabah virus Covid-19 saat ini, hindari penggunaan strategi komunikasi equivocal; 5) jelas (clarity), artinya penyampaian informasi harus menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh seluruh tingkatan masyarakat. Apabila ada istilah asing, sebaiknya diberikan penjelasan dan setiap kebijakan yang telah disampaikan kepada masyarakat jangan kemudian justru menimbulkan kebingungan atau ketidakjelasan. Penyampaian informasi yang mudah dipahami oleh publik akan mempermudah upaya mitigasi semakin mudah untuk dilakukan; 6) kesopanan (courtessy), artinya pihak Badan Publik sebagai pemberi informasi harus membangun hubungan komunikasi baik kepada masyarakat selaku penerima pesan baik secara verbal maupun non-verbal; 7) ketelitian (correctness), artinya segala hal yang terkait dengan informasi Covid-19 maka harus disampaikan dengan sangat teliti.
e) Penyampaian informasi terkait Covid-19 tentunya tidak terlepas dari dukungan media di era digitalisasi seperti saat ini. Akan tetapi, pesan dalam komunikasi krisis hendaknya disesuaikan dengan masyarakat sebagai penerima pesan yang menjadi target. Mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk sebanyak 208.265.720 jiwa yang tersebar dari sabang sampai merauke. Sebab menyampaikan informasi, mengedukasi, dan literasi harus diberikan kepada semua kalangan masyarakat. Pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, para Ketua RW, para Ketua RT, komunitas, dan lembaga organisasi yang berada di lingkungan masyarakat dapat membantu dalam penyebaran dan penyampaian informasi.Â
Dikarenakan mereka adalah pihak-pihak yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Dengan kata lain melalui pendekatan kearifan lokal, penggunaan jalur komunikasi tradisional, dan pemanfaatan jejaring lokal akan membuat komunikasi publik menjadi efektif dan dapat meng-counter berbagai isu atau informasi hoax mengenai Covid-19 yang tersebar. Sehingga perlu adanya kombinasi penyampaian informasi dalam melakukan komunikasi publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H