Debat capres di mana2 selalu pake lisan. Terkesan adu mulut. Berusaha mengeluarkan kata2 dan kalimat2 yang bisa membuat lawan debat KO dan bahkan terkapar. Biar jelas siapa yang menang debat. Siapa yang kalah debat.
Debat capres yang terkesan adu mulut biasa terjadi pada masyarakat bawah. Hanya bermodal mulut dan suara keras setiap orang bisa adu mulut. Kemenangan ditentukan berdasarkan siapa paling keras suaranya sekaligus paling berkuasa. Berakibat mereka yang tidak bisa keras suaranya dan tidak pula punya kekuasaan selalu saja kalah, kalah dan kalah.
Kejadian debat capres kedua antara Jokowi versus Prabowo tampaknya mewakili adu mulut dari kebanyakan masyarakat di mana2. Pasalnya, apa2 yang dikatakan sekeras-kerasnya dalam debat tidak didukung data akurat. Tidak hanya terjadi sekali melainkan berkali-kali. Pertanda pelakunya asal ngomong, asal kerasnya dan tidak berusaha mencari kebenaran. Yang ada berusaha membenar-benarkan omongannya yang salah.
Saat Jokowi berargumentasi diperkuat sejumlah data namun datanya ternyata tidak akurat. Bisa dibilang bohong. Misalnya Prabowo dikatakan memiliki ribuan hektar tanah di Kalimantan dan Aceh. Berarti Prabowo memegang Hak Milik dari tanah2 tersebut. Padahal sebenarnya Prabowo hanya memegang HGU pertanda tanahnya bukan miliknya melainkan tetap milik pemerintah atau negara.
Kesalahan omong begitu bisa terjadi pada Jokowi maupun Prabowo. Karenanya siapapun terlibat dalam debat harus lebih dahulu berpikir sebelum berbicara. Jangan berbicara lebih dahulu baru berpikir belakangan.
Begitulah adu mulut di mana2. Terkesan emosional berakibat nafsu didahulukan ketimbang akal sehat. Hanya mereka yang terbiasa dan mampu mengendalikan diri selama hidupnya saja yang mampu tetap bersikap tenang meskipun emosi tinggi. Berusaha menjaga kepala tetap dingin meskipun hati begitu panasnya.
Mungkin ada baiknya KPU mengubah debat capres tidak lagi menggunakan lisan tapi menggunakan tulisan. Ambil salah satu pertanyaan atau sanggahan untuk tidak diomongkan tapi dituliskan saja pertanyaannya atau sanggahannya.Â
Dalam hal ini setiap capres saat bertanya dan saat menyanggah maka pertanyaannya dan sanggahannya ditulis melalui Hp miliknya masing2 untuk kemudian ditayangkan di layar lebar biasa bisa dibaca semua peserta dalam debat capres yang berada di ruangan maupun di luar ruangan.
Menulis pemikiran bagi kedua capres membuat keduanya harus lebih dahulu berpikir sebelum menulis. Setidaknya memikirkan kata2 apa dan kalimat2 apa yang layak ditulisnya biar setiap orang yang membacanya bisa memahaminya dengan mudah.
Di situlah kelebihan debat capres pake tulisan. Siapapun pemegang hak memilih capres bisa mengetahuai mana capres yang bisa menulis dengan baik dan mana capres yang tidak bisa menulis dengan baik. Baiknya seseorang dalam menulis pertanda memiliki ilmu cukup memadai dalam suatu bidang tertentu. Baiknya seseorang dalam menulis juga pertanda punya kemampuan mengendalikan diri.
Ilmu dan kemampuan mengendalikan diri itulah yang selayaknya dimiliki seorang presiden. Jadi siapa capres punya kemampuan itu yang lebih baik maka dia layak menjadi presiden. Presiden yang bukan saja mampu berbicara tapi juga mampu menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H