Pusaran politik Pilpres 2019 berbeda dengan Pilpres2 sebelumnya. Jika sebelumnya ulama ditempatkan politisi sebagai tukang doa sekarang ulama ditempatkan politisi sebagai calon wakil presiden sebagaimana dilakukan politisi Jokowi terhadap Ketua MUI KH Maruf Amin. Bahkan ulama menempatkan politisi sebagai calon presiden sebagaimana dilakukan GNPF Ulama terhadap politisi pendiri parpol Gerindra Prabowo Subianto.
Sebenarnya keterlibatan ulama dalam kepemimpinan politik bukan hal baru. Di Indonesia keterlibatannya sudah berlangsung sejak sebelum kemerdekaan, masa kemerdekaan dan selepas kemerdekaan. Ulama menyerukan keinginan merdeka kepada penjajah bangsa Belanda. Ulama berada di garis depan perang kemerdekaan. Ulama juga yang menjadi musuh besar PKI dalam G30S PKI.
Di dunia begitu juga. Keterlibatan ulama dalam hal ini Paus begitu nyata ketika kepala2 negara atau raja2 berada di bawah kekuasaan Vatikan. Tidak ada kepala negara atau raja yang berkuasa tanpa izin Vatikan. Hanya kepala negara atau raja yang direstui Vatikan saja bisa berkuasa.
Meski akhirnya politisi2 berhasil memisahkan Paus dari politik dan politik dari Paus. Berakibat peran Vatikan tidak lagi sebesar sebelumnya melainkan hanya terbatas kalangan Vatikan itu sendiri. Berarti kekuasaan ulama atau pimpinan agama Kristen tidak lagi melibatkan diri sepenuhnya dalam kepemimpinan politik.
Kejadian hampir serupa juga dialami ulama dalam hal ini ulama Islam pada zamannya. Ketika raja2 atau sultan2 Muslim memisahkan ulama dari politik kerajaan atau kesultaan dan memisahkan politik kerajaan atau kesultanan dari ulama.
Hanya di awal2 sejarah Islam saja atau masa kekhalifahan empat khalifah yaitu Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib di mana ulama dan politik menyatu. Pasalnya, khalifah2 bukan saja ulama tapi juga pemimpin politik. Khalifah2 bukan saja pemimpin politik tapi juga ulama. Tidak ada yang meragukan keulamaan empat khalifah. Pun tidak ada yang meragukan kepemimpinan politik empat khalifah.
Karenanya keterlibatan ulama dalam politik sebagaimana dalam politik Pilpres bisa dianggap sebagai tanda2 kalau politisi2 tidak lagi perduli dengan agama. Tercermin dari berbagai usaha politisi untuk memisahkan agama dari politik dan politik dari agama.
Apa yang pernah dilakukan PKI seakan-akan berulang kembali sekarang. Bukankah PKI dengan Aiditnya dahulu berusaha memisahkan agama serupa kejadian di tempat kelahiran PKI di RRC? PKI RRC menindas dan berusaha menghabisi agama Islam dan Kristen di negerinya. Biar di negerinya hanya ada PKI saja dan tidak ada agama. Dengan kata lain PKI adalah agama dan agama adalah PKI.
Negeri ini adalah negeri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berarti menempatkan agama sebagai sila pertama dari lima sila yang menjadi dasar negara. Berusaha menempatkan agama sebagai pedoman hidup dalam kehidupan bernegara sepanjang masa. Mengingatkan pejabat2 negara yang sedang berkuasa untuk selalu mengingat Tuhannya ketika menjalankan kewajiban sebagai penguasa yang diangkat dan diberi amanat oleh rakyatnya.
Dengan selalu mengingat Tuhannya maka setiap pejabat negara akan merasakan adanya pengawasan Tuhan yang selalu melekat dimanapun dan kemanapun. Membuatnya menjadi begitu bebas menjalankan kewajiban2 penguasa untuk berbuat adil sebaliknya menjadi tidak begitu bebas menjalankan larangan2 penguasa untuk berbuat tidak adil atau zalim.
Fakta kehidupan bernegara belakangan memperlihatkan pejabat2 negara tidak lagi merasa dalam pengawasan Tuhan yang selalu melekat. Terbukti dari banyak pejabat negara melanggar larangan2 penguasa seperti larangan korupsi. Berarti Tuhan dianggap tidak ada ketika mereka melakukan larangan2 penguasa yang merugikan negara dan rakyat banyak. Mereka tinggalkan Tuhan begitu saja. Padahal Ketuhanan Yang Maha Esa menempati sila pertama dari dasar negara.
Fenomena pejabat2 negara berbondong-bondong meninggalkan Tuhannya atau agamanya bisa mengancam keberadaan sila pertama dari Pancasila. Negeri berdasarkan Tuhan bisa roboh bilamana semua pejabat negara meninggalkan Tuhannya. Diikuti dengan robohnya  negara karena korupsi semakin merajalela.
Pejabat2 korup pada dasarnya telah mengubah dasar negara Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi keuangan yang maha kuasa atau kekuasaan yang maha kuasa. Tuhannya yang sebelumnya Tuhan Yang Maha Esa digantikan dengan tuhan uang dan tuhan kekuasaan. Tiap hari berusaha menyembah tuhan uang dan tuhan kekuasaan.
Begitu situasi dan kondisi negeri yang memicu ulama2 kembali tampil dalam politik. Setidaknya tidak lagi cuek atau masa bodoh dalam memilih presiden melalui Pilpres. Berusaha hanya memilih capres yang diharapkan dapat mengambalikan sila pertama dari Pancasila tetap pada posisi saat negeri ini pertama kali dimerdekakan pada 17 Agustus 1945.Â
Jangan lagi menempatkan keuangan maha kuasa atau kekuasaan maha kuasa sebagai sila pertama dari Pancasila. Tapi tempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang pertama sepanjang masa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H