Pada mulanya rumusan Pancasila hanyalah "Philosophische Grondslag" yang dimunculkan dalam sidang Badan Penyilidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai beranggotakan 60 orang. Ketuanya Radjiman Wedyodiningrat didampingi dua wakil ketua yaitu Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yosio dari Jepang.
Dalam sidang BPUPKI itulah muncul rumusan Pancasila sebagai "Philosophische Grondslag" bukan rumusan ideologi apalagi rumusan agama. Yang memunculkan bukan hanya berasal dari pemikiran Soekarno tapi juga sebelumnya dari pemikiran Mohammad Yamin dan Soepomo. Ketiganya memunculkan rumusan Pancasila yang berbeda urut-urutannya tapi memiliki kesamaan dalam setiap rumusannya dari lima rumusan yang ada.
Pembahasan rumusan Pancasila belum juga berakhir dalam sidang BPUPKI hingga berlanjut dalam sidang Panitia Sembilan beranggotakan sembilan orang. Ketuanya Soekarno didampingi wakil ketua Mohammad Hatta. Rumusan Pancasila baru berakhir dan diakhiri pada 18 Agustus 1945 sebagaimana rumusan Pancasila yang ada sekarang tanpa mengalami perubahan satu katapun kecuali penyesuaian dengan ejaan baru bahasa Indonesia.
"Philosophische Grondslag" bukanlah ideologi apalagi agama melainkan hanya pemikiran dari 60 orang anggota BPUPKI atau 9 orang anggota Panitia Sembilan. Pemikiran mengenai kehendak hidup bersama dari segala suku bangsa Indonesia dalam satu negara yang entah negara apa? Pasalnya saat mereka berpikir itu belum ada negara yang bernama Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia masih sebatas rencana yang dalam mewujudkannya sepenuhnya ditentukan penguasa Jepang.
"Philosophische Grondslag" memang bukan ideologi apalagi agama. Pasalnya, 60 orang anggota BPUPKI sudah memiliki ideologi dan agama masing-masing yang berbeda-beda terlebih lagi anggota BPUPKI dari Jepang bernama Ichibangase Yosio.
Semua anggota BPUPKI memahami benar apa yang dimaksud dengan "Philosophische Grondslag". Karena mereka memahami bahasa dan budaya Belanda. "Philosophische Grondslag" Â berasal dari bahasa Belanda yang berarti norma (lag), dasar (grands), dan yang bersifat filsafat (philosophische). Selain itu, berasal juga dari bahasa Jerman, yaitu "Weltanschauung" yang memiliki arti sebagai pandangan mendasar (anshcauung), dengan dunia (welt).
"Apa dasarnya Indonesia merdeka?" atau, "Apa "Philosofische grodslag" dari Indonesia merdeka?" Begitu tanya Soekarno dalam sidang BPUPKI. "Itulah fundamen, filosofi, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi," jelasnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dasarnya Indonesia merdeka atau dasar negara atau Pancasila adalah pedoman dalam mengatur kehidupan penyelenggaraan negara. Tidak jauh berbeda dengan dasar rumah tangga atau akad nikah adalah pedoman dalam mengatur kehidupan penyelenggaraan rumah tangga atau berkeluarga.
Dalam penyelenggaraan negara maka Pancasila menjadi aturan yang mengikat Presiden dan bawahan-bawahannya dengan rakyat. Mengandung hak dan kewajiban masing-masing. Bilamana semua pihak melaksanakan Pancasila maka negara menjadi damai atau bahagia. Sebaliknya bilamana semua pihak atau salah satu pihak tidak melaksanakan Pancasila maka negara menjadi tidak damai atau tidak bahagia.
Begitu pula dalam penyelenggaraan rumah tangga maka Akad Nikah menjadi aturan yang mengikat suami dengan istri. Mengandung hak dan kewajiban masing-masing. Bilaman suami dan istri melaksanakan Akad Nikah maka rumah tangga menjadi damai atau bahagia. Sebaliknya bilamana suami dan istri atau salah satunya tidak melaksanakan Akad Nikah maka rumah tangga menjadi tidak damai atau tidak bahagia.
Hanya saja dalam perjalanannya, Pancasila dipaksa menjadi ideologi dan bahkan agama. Sampai-sampai dimunculkan adanya "Salam Pancasila" dan "Saya Pancasila" seakan-akan menandingi "Salam Islam" dan "Saya Muslim". Padahal Pancasila bukan ideologi apalagi agama. Pancasila hanyalah "Philosophische Grondslag" sebagaimana kemunculannya pertama kali dalam sidang BPUPKI.