Mohon tunggu...
Abdulloh Sayid
Abdulloh Sayid Mohon Tunggu... -

Mengajar Bahasa Indonesia di MTs. Darul Ulum Purwodadi Pasuruan Jawa Timur. Suka menulis cerpen, puisi dan artikel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memilih Tak Memilih

7 Desember 2014   21:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:51 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam terguncang. Sinar matahari yang ia sembunyikan dibalik ketiak bumi berhasil melepaskan diri dari jeratan. Bola raksasa dengan warna kuning kemerahan menyeruak ke permukaan. Mengusir gulita yang membuat matanya tak dapat melihat bayangan. Pagi tersenyum dengan riang. Merayakan kemenangan yang ia dapatkan setelah mengalahkan malam yang menyeramkan. Tak pernah bosan. Hal itu ia lakukan tanpa sedikit pun mengeluh. Karena ia tahu bahwa semua itu adalah suratan. Alur kehidupan yang harus dijalani sebelum semuanya berakhir di tujuan penciptaan.

Wanita paruh baya dengan wajah dihiasi keriput memutar-mutar bola-bola tasbih yang digenggamnya. Mulutnya komat-kamit membaca do’a-do’a yang baru ia dapatkan dari pesantren tempat ia ’melarikan diri’ dari pikuk dunia yang menghampirinya. Sebutir bening air meluncur dari sudut matanya yang merah. Sesekali ia sesenggukan menahan sesak dada yang hampir saja meledak karena hebatnya amarah.

Lastri. Hatinya sedang gundah. Suami yang dicintainya ternyata berkhianat dibelakang cinta tulusnya. Cinta yang bersemi sejak remaja. Sejak ia baru mengenal cinta monyet. Cinta anak muda yang dimabuk asmara. Dalam kalutnya suasana hati yang ia rasa, cinta monyetnya berubah menjadi monyet yang sebenarnya berwujud manusia. Ya...Sugeng yang dulu ’dipujanya’, Sugeng yang dulu menjadi tempat mengadu, tumpuhan hidup dan belahan jiwanya, kini berubah menjadi monyet yang menghancurkan singgasana cinta yang dibangunnya. 20 tahun.

Dan setelah 20 tahun berlalu. Ketika kenikmatan hidup mulai direngkuhnya. Ketika beban dipundak tak lagi terasa. Semuanya musnah bak tertelan bumi dan takkan pernah kembali. Ia mencoba merangkai peristiwa, menjalin setiap kejadian terdekat yang dilaluinya. Mengingat setiap kata yang diucapnya. Membongkar segala yang tersimpan di dalam isi kepalanya. Namun semua sia-sia. Ia tak menemukan pangkalnya. Ia tak mampu merangkai. Tak mampu menjalin. Tak mampu mengingat. Tak mampu menemukan jawabnya sehingga ia harus memutuskan untuk pergi dari Sugeng. Pergi menenangkan hati ditempat yang menurutnya terpilih. Pesantren.

Air matanya meleleh semakin deras. Putaran bola-bola tasbih semakin cepat menggelinding ditangannya yang tak lagi halus. Mulutnya tak henti mengalun lembut kalimat-kalimat thayyibah. 1 menit. 2 menit. 5 menit. 10 menit hingga 15 menit berlalu. Tubuhnya terlihat gontai. Ia pun tersungkur di atas sajadah hijau bergambar ka’bah. Pingsan.

Malam itu Lastri tidak sadarkan diri hingga dini hari. Keadaannya baru diketahui petugas pondok setelah sholat shubuh. Seorang jamaah wanita merasa ada yang aneh dengan ketidakhadiran Lastri pada sholat shubuh pagi itu. Minah, teman dekat Lastri, meminta kepada petugas keamanan pondok untuk mengecek Lastri di kamarnya. Minah pun ikut mendampingi petugas tersebut mengecek kamar temannya. Dan dugaannya tidak meleset. Tubuh Lastri menelungkup di atas sajadah. Tidak sadarkan diri.

Buru-buru Minah mengangkat tubuh Lastri untuk dinaikkan di atas tempat tidur. Petugas pondok melaporkan ke kyai tentang keadaan Lastri dan langkah apa yang harus segera dilakukan. Kyai hanya menyarankan supaya Lastri tidak dibawa kemana-mana karena kejadian yang menimpanya hanyalah wujud dari kecemasan batin yang sedang ia derita. Sebentar lagi juga akan sadar dan pulih seperti sedia kala. Namun secara kejiwaan ia masih membutuhkan waktu beberapa saat untuk kembali tenang. Kembali seperti semula seperti sebelum mahligai cintanya terkoyak oleh harum bunga yang semerbak di taman-taman asmara.

*****

Seminggu berlalu.

Untuk menenangkan hati dan jiwanya, pesantren memberi Lastri kesibukan membersihkan masjid. Sekali waktu ia diajak foto bareng dengan para ’turis’ lokal yang ingin mengetahui konsep-konsep yang dijalankan pihak pondok pesantren sehingga lembaga yang didirikan pondok tetap eksis.

Hari-hari Lastri mulai tertata. Ia tak lagi suka duduk menyendiri di pojok bangunan pondok. Aktifitasnya tertulis rapi di atas dinding kamarnya. Semuanya diisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Tak sedikit pun waktu terluang hanya untuk duduk santai tanpa melakukan apa-apa.

Selang tak berapa lama setelah kondisi Lastri berubah. Hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya menggetarkan hebat hatinya. Tempat ’pelariannya’ tercium Sugeng. Beberapa kali ia memergoki Sugeng berkeliaran di luar lingkungan pondok. Hatinya penuh cemas. Harapan satu-satunya yang ia inginkan adalah jangan sampai Sugeng masuk ke pesantren dan menanyakan keberadaannya kepada pak kyai.

Namun harapan itu tak terkabul. Pagi hari setelah sorenya ia melihat Sugeng, Lastri dipanggil pak kiyai dan dipertemukan langsung dengan Sugeng. Suami yang telah mencerabut akar cintanya yang sudah menghunjam. Mencabik-cabik dan mencincang lalu melumat-lumatnya. Hatinya bergemuruh bak halilintar ketika hujan. Menggelegar-gelegar di angkasa alam semesta. Pagi itu juga Lastri meninggalkan pesantren. Kembali ke rumah suaminya yang pernah ditinggalkannya.

***

”Aku hanya ingin punya anak lagi ma. Itu saja. Ndak lebih”, Jelas Sugeng kepada Lastri yang masih menyimpan amarah.

”Aku sayang mama. Papa tidak ingin mama menderita lagi karena harus melahirkan. Mama sudah tua. Saatnya untuk istirahat. Bukan punya anak”

”Baik...kalo memang itu yang papa inginkan. Sekarang juga papa harus memberikan keputusan supaya semuanya jelas. Supaya mama percaya bahwa yang papa sampaikan adalah ucapan tulus seorang suami”. Ucap Lastri menanggapi penjelasan Sugeng.

”Maksud mama...!” Tanya Sugeng dengan mata sedikit melotot

”Ya...papa harus memilih. Pilih mama atau perempuan itu.” Jawab Lastri.

”Kalau papa memilih perempuan itu, maka mama akan pergi. Mama akan kembali ke ibu dan bapak di kampung. Tapi kalau papa memilih mama, maka papa harus mengembalikan perempuan itu kepada orang tuanya.” ancam Lastri dengan mimik serius.

Sugeng terlihat bingung. Apa yang diminta istrinya bagai buah simalakama. Semua pilihannya berat. Langit biru berhias tiga gumpalan awan putih yang terlihat dibalik jendela ruang tamu memberinya inspirasi. Ia yakin pilihan itu akan disetujui istrinya.

”Baiklah ma. Papa akan memilih” Kata Sugeng memecah keheningan

Lastri menoleh ke arah suaminya yang sedang berkaca-kaca.

”Papa akan memilih satu diantara dua seperti yang mama inginkan. Papa harap pilihan papa tidak memberatkan mama.” jelas Sugeng

”Silakan pa. Silakan papa memilih dan mama akan berbesar hati untuk menerimanya. Sepahit apapun pilihan papa nanti, mama akan setujui” Jawab Lastri sambil terisak.

Sugeng menghela nafas dalam-dalam. Ia mendekati Lastri dan duduk di sampingnya. Tangannya mengelus rambut istrinya dengan lembut. Lastri terdiam tak memberikan reaksi. Ia menunggu-nunggu kalimat yang akan terucap dari mulut suaminya.

”Ma. Papa memilih mama”

Seketika wajah Lastri terlihat sumringah. Senyum tipis bibirnya memberikan tanda bahwa pilihan itu yang ia inginkan. Bukan yang lain.

”Tapi mama harus mendengarkan dulu penjelasan papa”, lanjut Sugeng kemudian.

”Papa baru bisa meninggalkan Marni setelah ia melahirkan anaknya. Papa tidak mungkin meninggalkan dia begitu saja sementara saat ini ia sedang mengandung. Bagaimana pun juga anak dalam kandungan Marni adalah anak papa. Sungguh sangat berdosanya papa jika papa harus menelantarkannya dan tidak mengurusnya”, jelas Sugeng panjang lebar.

Lastri menyetujui permintaan Sugeng. Sebagai seorang wanita, ia juga mampu merasakan bagaimana penderitaan Marni jika harus ditinggalkan begitu saja oleh suaminya. Dan sejak saat itu Lastri kembali menempati rumah yang telah ia bangun bersama Sugeng sementara Marni tinggal di rumah orang tuanya. Sugeng sendiri sering sakit-sakitan selang beberapa waktu. Sampai-sampai jika Marni menelepon dan meminta Sugeng untuk mengantarnya  ke dokter, Lastri tidak segan-segan mengantarnya sendiri dan ikut antri di barisan ibu-ibu yang semuanya mengandung.

***

”Ibu sakit apa. Kelihatannya sehat-sehat saja”, sapa seorang ibu yang duduk di samping Lastri.

”Tidak bu. Saya tidak sakit. Hanya mengantar istri kedua suami saya yang sedang mengandung”, jawab Lastri enteng.

Seketika ibu-ibu yang mendengar percakapan mereka saling berbisik dan menampakkan wajah keheranan.

”Kok bisa ya”, celetuk seorang ibu yang antri di bangku paling belakang.

Marni terlihat malu. Ia hanya menunduk saat dilihatnya banyak mata yang memperhatikannya. Sementara Lastri tetap dengan ekspresi wajahnya. Biasa.

***

Sakit yang diderita Sugeng semakin parah. Ia terkena komplikasi. Diabet, jantung dan TBC tulang. Membuatnya hanya mampu terbaring di tempat tidur. Jangankan berjalan-jalan, untuk duduk saja ia harus dibantu Lastri. Berkali-kali ia menyampaikan permintaan maaf kepada Lastri, wanita yang dinikahinya 20 tahun lalu. Wanita yang telah menemaninya disaat suka dan duka. Wanita yang selalu memberinya semangat ketika ia memutuskan gulung tikar saat usahanya bangkrut. Cinta istrinya tak pernah surut. Sayang istrinya tak pernah berkurang. Tapi apa yang dibalasnya. Ia justru membalas cinta tulus itu dengan menyayat hati dan perasaannya.

”Maafkan papa ma. Maafkan”, lirih Sugeng dengan suara pelan.

”Sudahlah pa. Yang sudah ya sudah. Kita tidak perlu membahasnya lagi. Anggap saja ini sebagai ujian untuk semakin kukuhnya rumah tangga kita. Semoga kita mampu mengambil hikmah dari peristiwa ini. Mama sudah memaafkan papa”, Jelas Lastri dengan suara terbata.

Sugeng mendesah. Ia terlihat lega dengan jawaban Lastri.

Malam terasa sunyi. Angin berhembus pelan. Menggoyang daun-daun palem hingga membuatnya melambai. Lambaian terakhir pada Sugeng yang malam itu meninggalkan dunia. Meninggalkan Lastri dan calon anak yang dikandung istri keduanya. Pilihan yang ia tetapkan tidak terpenuhi. Ia tidak memilih siapa-siapa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun