Rembulan yang menyelimuti malam, cuaca yang begitu terang juga sinar rembulan indah mencolok memberikan rasa penuh ketenangan dan kegembiraan pada setiap insan di muka bumi. Tepat pukul 08.00 aku tiba di kontrakan disambut senyum hangat teman-teman seperjuanganku. Duduk di depan teras rumah kontrakan yang bersih dipenuhi bunga-bunga. Kebersamaan yang dirasa dalam kurun waktu tiga bulan belaka menyelimuti kami. Kontrakan kami bernama Rumah Kelana, tepat di Yogyakarta di belakang jalan raya Seturan, Sleman.
"Hei kamu dari mana?" ungkap Angga dengan tersenyum serta basa-basi akrabnya itu. "Aku dari Alig Coffe, biasa genjreng gitar". "Kukira kamu nonton konser musik The Jansen di Tebing Breksi" sambar Saleh. Awalnya aku ingin datang melihat konser band favoritku, tapi karena uangku tidak cukup untuk pergi dan membeli tiket, niatan itu akhirnya terkubur, Saleh memang tahu soal musik seleraku. "Enggak Cul, lagi gak pengen kesana" Jawabku dengan menutupi rasa inginku.Â
"wah, kalian habis beres makan ayam bakar ya?" tanyaku. Bekas arang hitam yang tersisa dan batu bata penyangga panggangan jepit yang masih terlihat saat itu di samping taman serta bau asap yang masih tercium. "Hehe... iya dong". jawab Angga dengan penuh kegembiraan." Kamu sudah makan? tanya Saleh dengan penuh perhatian. Memang Saleh memahami sekali, tanggal tua seperti ini dompetku pasti sudah menipis.Â
Saleh adalah seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Yogyakarta. Aku bertemu dengannya sudah lebih dari dua tahun yang lalu di acara konser musik, tepatnya saat kami duduk di semester ketiga. "Sudah, tadi di caf kebetulan aku dapet makan" jawabku sambil tersenyum.Â
Saleh biasa di panggil Ucul karena sering menghilang dari Rumah Kelana entah pergi pacaran, nongkrong dan nonton konser musik. Kata "Ucul" itu diambil dari bahasa jawa yang artinya lari. Walaupun kami bertiga tidak ada yang berasal dari jawa tapi kebetulan aku punya darah jawa, dilahirkan di Jawa Timur jadi sedikit mengerti bahasa jawa, namun Aku dibesarkan di Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat.
Kami duduk bertiga di teras dengan dua gelas cangkir kopi serta dua bungkus Gudang Garam Internasional. Petik gitar yang ku mainkan, diiringi suara merdu Saleh. Saat itu kami menyanyikan lagu "Wanita Masih Banyak" dari Band Stand Here Alone. Rambut yang ikal dan beralis tebal serta warna kulit yang tak begitu gelap, keturunan timur tepatnya Kota Kupang, itulah Saleh, dengan suara bagus dari sejak SMP, ia juga mengikuti kegiatan ekstra paduan suara di sekolahnya dan menjadi vokalis band ketika di SMA.
Malam sudah semakin larut dan lima lagu sudah kami nyanyikan bersama. "Aku masuk duluan ya" ungkapku. Rasa lelah yang menyelimuti hari ini, dengan suasana hati yang gundah dan isi kepala yang bising membuatku cepat bosan dan tak nyaman. "Oke Vid istirahat deh" saut Saleh.Â
Aku beranjak menyusuri kamar dengan menyalakan lampu, merebahkan seluruh badan serta menghela napas yang begitu panjang. Meratapi dinding tembok yang dihiasi dengan poster-poster band dan beberapa tokoh perlawanan, terbesit pikiranku untuk mengocek rak buku yang dekat dengan poster Soe Hok Gie, selembar kertas kuambil yang tertulis seluruh impianku.Â
Impianku yang pertama itu ingin memiliki gitar merk Fender T-Bucket 300 CE, yang karakter suaranya alami, bright dan vibrant. Harganya sangat mahal dan harus berfikir dua kali untuk mahasiswa sepertiku. Uang bulanan yang sedikit dari orang tua tak cukup untuk membeli barang semahal itu, makanya aku bekerja untuk memenuhi salah satu impianku. Akhirnya kututup kembali kertas itu dan melanjutkan untuk tidur.
Bunyi dering handphone yang nyaring. Kring.. Kring.. Kring...
"hallo Vid, Kamu lagi dimana?" Tanya Saleh.
"Aku lagi di Taman Kampus cul, Gimana?" jawabku
"Oh ini aku punya temen yang mau jual gitar merk Fender, tapi aku gak tahu soal gitar, mungkin nanti kita bisa bahas gitar ini vid, gimana?"pungkasnya
"Wah bagus itu cul, yaudah nanti kita obrolin di Rumah Kelana ya." Jawabku
"oke" balasnya
Telpon yang berakhir...
Namaku Vidi Ahmad seorang mahasiswa Pendidikan Seni Musik, Aku bergumam dalam hati saat Saleh menelponku yang membahas gitar merk Fender, mengapa Saleh secepat itu bertemu dengan orang yang akan menjual gitar Fender itu? Tipe gitar Fender itu apa ya? dan Berapa harga gitar bekas itu? Seingatku harga gitar Fender CD-60 dengan harga paling murah saja berkisar dua ratus dollar Amerika atau dua juta sembilan ratus tujuh puluh lima enam ratus delapan puluh rupiah.
Aku penuh semangat segera beranjak menuju Rumah Kelana untuk bertemu dengan Saleh. Saleh menyambut kedatanganku dengan memberikan Gitar yang berwarna Hitam, Ternyata Gitar Fender T-Bucket 300CE ada di tanganku saat ini. "Gitar ini pasti mahal harganya melebihi harga gitar Fender CD-60 , kata batinku. Aku tak menyangka gitar impianku ada di depan mata dan dipangkuanku. Aku sangat menyukai gitar itu dan rasanya senang sekali, Aku mencoba memainkan dan menikmati petikan gitarnya, sebelum Saleh membahas penjualan gitar ini.
DOOR.. DOORR... DOORRRR...
Suara gedoran pintu yang begitu keras, berulang kali terdengar oleh kupingku...
Kelopak mata yang enggan terbuka, badan yang kurus enggan untuk beranjak.
Vid... Bangun...
Vid Bangunn...
Vidi.... Bangun.... Sudah Jam 06.00 Ayo kuliah.
Mendengar suaranya saja aku sudah mengenali siapa dibalik pintu itu yang membangunkanku... itu suara Saleh.
"Ya Cul, Aku Bangun" Jawabku dengan nyawa setengah sadar.
Kesadaranku sudah terpenuhi dengan bergegas aku beranjak dari kasur, Aku melihat selembaran kertas yang semalam belum sempat aku kembalikan ke rak buku dan membaca sekilas tulisan "Fender T-Bucket 300CE". Ternyata aku baru sadar bahwa mimpi semalam, aku memainkan gitar semahal itu yang kudapati dari Saleh. "Sial itu hanya mimpi semalam."gumamku.
Semoga saja apa yang ku impikan tercapai. amiin.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H