Mohon tunggu...
NABILA AHSANUN NADYA
NABILA AHSANUN NADYA Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswa yang aktif dalam dunia broadcasting

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bangun Kesetaraan dengan Lawan Stereotip Gender

23 Juli 2024   06:39 Diperbarui: 23 Juli 2024   07:05 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maraknya kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia masih menjadi kasus yang serius. Dilansir dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (KPPPA), jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sejak 1 Januari 2024 hingga saat ini mencapai 11.364 kasus.

Berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Indonesia, di tahun 2024 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Indonesia pun naik empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi 480 kasus pada triwulan I di tahun 2024. Kasus kekerasan yang dialami korban tak hanya dalam bentuk fisik, melainkan tiga diantaranya merupakan kekerasan seksual, psikis, bahkan eksploitasi.

Banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi salah satu bentuk bahwa minim nya kesetaraan gender di Indonesia. Perempuan kerap dianggap lemah, sedangkan laki-laki dianggap mampu bisa melakukan segalanya. Munculnya beragam stereotip mengenai perempuan yang dianggap lemah, hanya mampu di rumah, atau pandangan buruk lainnya yang menyebabkan perempuan merasa terbatasi atau dihilangkan, karena stereotip dapat berpengaruh terhadap pola pikir dan gerak seorang perempuan.

Edukasi tentang kesetaraan gender yang minim mulai dari bangku pendidikan bahkan di lingkungan keluarga sekalipun, menjadi salah satu faktor adanya diskriminasi terhadap perempuan. "Diskriminasi gender itu lahir dari pengajar yang tidak berspektif gender, kurikulum yang tidak adil gender dan mengajarkan nilai-norma ke siswa sebagai bentuk "nilai-nilai baik" yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini semestinya harus diteliti terlebih dahulu mana yang harus diluruskan agar tidak melahirkan bias gender," pungkas Siti Fathonah selaku Field Officer Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) saat dihubungi lewat WhatsApp, Senin, (22/7/2024).

Kekerasan berbasis gender juga merupakan isu serius yang memperburuk kondisi perempuan di Indonesia. Meskipun ada undang-undang yang dirancang untuk melindungi perempuan, implementasinya masih lemah dan sering kali tidak efektif. Kasus kekerasan seksual dan pelecehan masih marak terjadi, dan banyak perempuan merasa tidak aman untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami karena stigma dan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum di Indonesia.

Untuk mengatasi hal seperti ini berani berbicara ketika mengalami ketidakadilan merupakan salah satu tindakan yang mampu dilakukan dalam berbagi peran di suatu lingkungan. "Jangan pernah menormalisasikan kegiatan yang hanya merugikan salah satu jenis kelamin, semua memiliki peran dan kesempatan yang sama secara sosial," tambahnya.

Diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia masih menjadi isu yang signifikan, terutama dalam konteks penampilan, pendidikan, dan pekerjaan. Meskipun ada kemajuan dalam beberapa aspek, tantangan yang dihadapi perempuan tetap besar. Pada tahun 2024, berbagai laporan menunjukkan bahwa stigma sosial dan stereotip gender masih mengakar kuat dalam masyarakat yang mengakibatkan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.

Di bidang pendidikan, meskipun angka partisipasi perempuan dalam pendidikan formal meningkat, masih terdapat kesenjangan dalam akses dan kualitas pendidikan. Perempuan di daerah pedesaan sering kali tidak mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki dan menyebabkan rendahnya tingkat literasi dan keterampilan di kalangan perempuan. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), menunjukkan bahwa jenis ijazah tertinggi yang dimiliki sebagian besar perempuan di pedesaan adalah lulusan SD (31,28%), sementara perempuan di perkotaan sebagian besar adalah lulusan SMA/SMK (33,36%). 

Terdapat beberapa faktor terkait penyebab ketertinggalan pendidikan perempuan di wilayah pedesaan, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternalnya adalah kurangnya ketersediaan infrastruktur dan fasilitas yang mendukung. Sementara faktor internalnya, karena masih banyak masyarakat di desa yang memiliki persepsi bahwa pendidikan tinggi untuk perempuan adalah pemborosan.

Mahasiswa Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Mutia Khairunisa berpendapat, bahwa "Perbedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki sangat terleihat, dalam lingkup keluarga, pendidikan dan sekarang ke ranah yang lebih luas terkait ruang kerja/upah yang diterima antara laki-laki dan perempuan sangat tidak seimbang. Kadangkala kita menjumpai posisi/jabatan antara laki-laki dan perempuan itu sama tapi beda upah, ada pula kesempatan yang diberikan kepada perempuan lebih sedikit sehingga perempuan untuk menduduki suatu jabatan tertentu masih sangat sulit," jelasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun