Tradisi Apeman menjadi sebuah perpaduan menarik antara nilai-nilai agama Islam dan seni budaya Jawa. Diselenggarakan setiap menjelang bulan Ramadan. Apeman berfungsi sebagai sarana untuk memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Esa dan saling memaafkan antar sesama umat Muslim. Tradisi ini juga merupakan bentuk ungkapan rasa syukur atas rezeki serta momen untuk mendoakan leluhur yang telah meninggal. Tradisi ini memiliki akar budaya yang mendalam, tercermin dalam acara adat Jawa seperti selamatan, kenduri, dan upacara pernikahan. Sudah ada sejak zaman kerajaan kuno, kue apem yang menjadi ikon acara ini, hingga kini dilestarikan sebagai warisan budaya yang bernilai luhur. Filosofi kue apem sebagai simbol pengampunan dan penyucian diri menambahkan makna spiritual pada tradisi ini.
Sejarah dan Makna Filosofis Kue Apem
Dalam Festival Apeman, kue apem memiliki makna filosofis yang berakar dari kata Arab ‘afwun’ yang berarti pengampunan. Dalam budaya Jawa, kue apem sering diidentikkan dengan introspeksi dan penyucian diri, terutama menjelang Ramadan. Konon, nama ‘apem’ berasal dari kisah tokoh Islam, Ki Ageng Gribig dari Jatinom, Klaten, yang kembali dari Mekah dengan membawa tiga kue apem sebagai simbol doa dan keberkahan bagi keturunannya. Dari sini, lahir tradisi Apem Yaqowiyu di Jatinom, di mana kue apem didoakan dan dipercaya membawa berkah bagi yang memakannya.
Kirab Apeman sebagai Simbol Kehidupan
Kirab dalam Festival Apeman menjadi simbol perjalanan hidup manusia yang penuh dinamika dan tantangan. Doa bersama dalam festival ini mencerminkan pentingnya persatuan dan kekuatan doa dalam mengatasi berbagai rintangan hidup. Hiasan-hiasan dalam festival menggambarkan nilai-nilai seperti alam semesta, kehidupan sosial, dan agama. Selain itu, kue apem juga merepresentasikan harmoni antara ajaran Islam dan budaya lokal. Dengan membagikan kue apem kepada masyarakat, festival ini mengingatkan pentingnya sikap saling memaafkan dan introspeksi, serta diyakini membawa berkah bagi penerimanya.
Prosesi dan Makna Sosial Festival Apeman
Dalam prosesi Apeman, masyarakat bergotong royong membuat kue apem yang kemudian dikumpulkan dalam bentuk gunungan besar dan diarak melalui rute tertentu di kota. Setelah prosesi selesai, masyarakat berebut kue apem sebagai simbol penghormatan dan harapan keberkahan. Prosesi ini mempererat ikatan sosial melalui kebersamaan dalam pembuatan kue dan meningkatkan toleransi antar umat beragama karena semua kalangan turut berpartisipasi. Tradisi Apeman mengandung nilai-nilai luhur seperti kebersamaan, toleransi, dan sedekah, menciptakan suasana harmonis di tengah masyarakat.
                                                                                                                                                                                    Interaksi Islam dengan Budaya Jawa dalam Apeman
Festival Apeman adalah contoh menarik bagaimana ajaran Islam beradaptasi dan berakulturasi dengan budaya lokal. Islam yang hadir di Nusantara tidak menghapus budaya yang ada, melainkan membentuk harmoni dengan nilai-nilai kultural Jawa. Tradisi Apeman memperlihatkan bahwa agama dapat berjalan beriringan dengan budaya lokal, menghasilkan ekspresi keagamaan yang khas dan bermakna. Festival ini tidak hanya memperkuat identitas lokal, tetapi juga membangun rasa kebersamaan dalam masyarakat. Tradisi Apeman membuktikan bahwa agama dan budaya dapat saling memperkaya, menciptakan simbol dan ekspresi yang indah dan penuh makna dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H