Pada masa itu, kekerasan di negeri ini memang sedang berada di puncak keberingasan. Membaca novel ini, pembaca akan dibuat tertawa dan menangis bersamaan. Tanpa sadar, pembaca digiring untuk menertawakan kekonyolan kaumnya sendiri;manusia.  Dapat ditilik dari  rangkain kisah penuh adegan perkelahian, kerasnya jalanan, dan lumuran darah, tapi pembaca seolah tak pernah diberi celah untuk bersimpati kepada korban. Sebagai gantinya, darah dan air mata justru menjadi komedi, dengan media burung Ajo kawir; serupa sufi yang memberi pelajaran lewat renungan.
Kemaluan dan Renungan
 "Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itu yang kupelajari dari milikku selama bertahun-tahun ini" (hlm.126).Â
"Tapi kemaluan juga bisa memberimu kebijaksanaan. Itu juga kupelajari dari milikku," kata Ajo kawir. (hlm 126.)
Eka Kurniawan memadukan dua hal yang sesungguhnya memiliki makna berlawanan: kemaluan dan renungan.  Kemaluan yang identik dengan nafsu dan renungan yang khas dengan ketenangan batin. Perjalanan menempuh sunyi dan keterasingan burung Ajo  Kawir serupa jalan yang dilalui Soe Hok Gie di buku hariannya yang telah dibukukan menjadi Catatan Seorang Demostran serta perjalan hidup Muhidin M. Dahlan dalam bukunya, Jalan Sunyi Seorang Penulis.Â
Dari kalimat pembuka di novel ini saja, saya membayangkan novel ini dibaca oleh para perempuan sambil menjerit risih, jijik dan dibaca oleh para lelaki dengan tertawa-tawa. Namun, Â keduanya merasakan hal yang sama: penasaran dan tidak bisa berhenti membaca. Seperti hal-hal vulgar dan jujur lainnya, mereka seolah-olah menolak dan menertawai, tidak ingin terseret oleh kevulgaran karena bagi mereka itu dapat menurunkan harkat derajat dan martabat mereka. Namun dalam hati, mereka tidak bisa melawan daya pikat kevulgaran dan kejujuran tersebut. Â Kevulgaran dan kejujuran yang disuguhkan oleh si pengarang. Sebab, sesungguhnya baik si lelaki dan si perempuan, memang diciptakan dari sesuatu yang vulgar, sesuatu yang jujur, kemaluan.
Eka Kurniawan seperti menyetting ulang otak mausia yang menabukan perihal kemaluan. Kemaluan yang  selalu mengandung makna negatif  diputar balik menjadi obyek pencerahan. Nampaknya kita perlu berpikir, mengapa adam dan hawa diciptakan tanpa proses perkelaminan dan sekarang manusia harus berkembangbiak melalui perkelaminan.
Kisah yang disajikan Eka Kurniawan bergerak liar, sekaligus vulgar. Tapi Eka tidak jatuh murahan dengan segala vulgar yang disajikannya, karena vulgarnya merupakan konsekuensi dari ide cerita yang dibagunnya sejak awal. Bukan untuk bergenit-genit atau mengeksploitasi seksualitas demi sensasi cerita. Â Karakter -karakter ciptaan Eka Kurniawan begitu kuat, sulit bagi kita untuk berhenti membaca, ditambah bumbu humor berbau satir seperti dalam karya lainnya, Cantik itu Luka, Gelak Sedih, Lelaki Harimau dan Corat-Coret di Toilet.
Kekuatan Eka Kurniawan dalam pemilihan ide, kata dan alur ialah kelebihan yang sekaligus bisa menjadi kekurangannya. Intensitas adegan perkelahian dan kebut-kebutan truk di jalanan yang tinggi, pemilihan kata yang vulgar, beberapa orang mungkin akan menghindarkan diri untuk membacanya. Penulisnya, sedari awal tentu saja telah menyadari konsekuensinya. Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, bukan untuk dibaca semua kalangan, tidak semua kelompok umur bisa menikmati kisah yang demikian.  Meski di sampul belakang ada keterangan  21+,  namun itu kembali ke tingkat kedewasaan pemikiran si pembaca. Sebab tua itu pasti dan dewasa itu pilihan.
(*) Juara 1 Lomba Menulis Resensi UPT Perpustakaan UPGRIS 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H