Mohon tunggu...
Dina Ahsanta Puri
Dina Ahsanta Puri Mohon Tunggu... Guru - Your story teller

Menyukai kehidupan yang damai dan sedikit lucu. Dulu sempat bercita-cita jadi atlet badminton oleh karenanya gemar menulis. Mengimani filsafat lingkaran; kebaikan melingkar, keburukan melingkar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan 21

7 Juni 2016   14:24 Diperbarui: 7 Juni 2016   14:40 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu dan roti. Dua roti di lemari ajaib itu. Iya aku sebut lemari ajaib karena menyimpan beragam kebutuhan dan hal tak terduga. Dari makanan, perlatan mandi, peralatan makan, juga kejutan-kejutan kecil yang sering membuatku merasa penasaran dan tertarik membukanya. Dari situ, haru itu tumbuh pelajaran-pelajaran hidup.

Aku dan adikku memang sering bertengkar. Dari bercanda menjadi serius, dari ejekan hingga umpatan, dari colek-colekan jadi adu jotosan. Aku merasa ibu lebih sayang pada adikku. Bisa karena adikku lebih kecil, dan masih tidur dengan ibu meski sudah kelas 2 MTS. Mungkin rasa iri ini tumbuh karena intensitas kebersamaan mereka lebih dariku. Tapi, di luar itu aku cukup sadar bahwa aku anak paling bandel di antara dua anak lainnya.

Tentu seseungguhnya orang tua tak membeda-bedakan kasih sayang pada anaknya. Adil memiliki wujud yang bermacam-macam, dan sepasang mata ketidak puasan manusia macam diriku kerap menangkapnya mentah-mentah.

Sehari sebelum puasa aku membuka lemari dan meminta izin pada ibu untuk mengambil satu cup kecil manisan carica. “Jangan itu untuk adikmu kalau pulang dari ponpes,” ujar ibu. Rasanya kesal sekali, toh masih ada dua cup. Iya, sebelumnya aku memang sudah makan satu. Dan tak sepatutnya aku membanding-bandingkan, toh di luar, pada hari itu, ibu membelikanku pulsa, membelikanku jajan pasar tanpa kupinta. Mungkin karena berhubungan dengan adik, kujadikan dalih untuk merasa tersinggung, merasa kesal. Coba ibu menjawab, “jangan itu buat bapak.” Rasanya aku setuju-setuju saja.

Di hari pertama puasa, saat berbuka aku melihat dua roti ukuran sedang di lemari. Aku sempat akan meraihnya, namun membatin, “itu pasti untuk adikku.” Lemari kututup lagi, rapat, serapat aku menyimpan prasangka dan praduga berujung dengki. Ibu selalu memanjakan adik!

Aku selalu mengungkit-ungkit sakit hatiku sendiri, misalkan saat SMP saat besok aku UAS. Kala itu hujan lebat, aku sedangterkena gejala flu, ibu khawatir pada adikku yang pergi mengaji tak membawa payung. Dengan nada khawatir ibu meminta tolong padakuku (telingaku menangkap memaksaku) mengantarkan payung untuk adik. Ibu menyarankanku menggunakan sepeda motor agar cepat, aku bilang aku tak ada mantel, namun ibu seperti kecewa dengan jawabanku, seakan tak ada inisiatif lain. Aku dengan hati bergemuruh tak mencari alternatif lain, kuterjang saja hujan hanya untuk mengantarkan payung. Alhasil aku demam tinggi. UAS tetap kujalani, kujalani dengan batin tak tenang, merasa tak diperhatikan. Padahal itu salahku, mengapa tak berpikir panjang mencari alternatif lain. Pinjam mantel kekke tetangga. Apa kek.

***

Ya, sehabis subuh tadi aku berkemas. Ibu berkali-kali meyakinkanku apa benar aku tidak berminat membawa makanan dari rumah? Memang aku tak suka rempong  membawa bermacam bawaan untuk perjalanan jauh. Tak disangka ibu mengulurkan dua buah roti ukuran sedang. “Ibu belikan ini, ibu khawatir kamu lupa atau malas membeli makan untuk buka puasa nanti.”  Ibu paham betul siapaku, ada makanan ya makan, tak ada ya tak usah mencari jika perut tak melilit.

Ya, roti itu ibu belikan dan simpan untukku. Aku menertawakan diri—ketawa ngenes. baru saja memasuki usia 21 tahun, ternyata aku masih menyisakkan sifat kekanak-kanakanku, diam-diam merajuk. Tua pasti, dewasa pilihan.

Aku menembus pagi buta dengan memutar lagu ‘Nadia-Ada Band’, lagu kiriman Evi. Aku sering bertukar lagu via WA dengan kawan tertentu. Kata Evi, Evi sempat memutar lagu itu berulang-ulang dan turut sesak membayangkan masalah yang dihadapiku kemarin. Aku pun memutar lagu itu berulang-ulang, di jalan aku menitikan air mata. Memang aku perasa, aku menitikan air mata bukan lantaran ‘baper’ melainkan wujud syukur saja banyak sekali kasih sayang mengelilingi hidupku, hidup yang pernah kukutuk keberadaanya.

Kuputar lagu Nadia sejak dari teras rumah sampai POM Bensin Purwanegara, Banjarnegara. Hitung berapa kali lagu itu berulang-ulang? Aku pun tak ingat. Usai mengisi bensin aku ganti track lagu di HP-ku untuk mengusir kantuk. Asal ku-shuffle saja, lagu pertama yang terputar ternyata Poco-poco... Ah, sudahlah... dengarkan saja...Balenggang pata pata/Ngana pegoyang pica pica/Ngana pebody poco poco...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun