Minke digambarkan sebagai putra bangsawan yang berjuang dari bawah. Dalam Roman Bumi Manusia, Minke memiliki panutan, mama dari Annelis, Nyai Ontosoroh dari nama Buitenzorg (Boerderij Buitenzorg: Perusahaan Pertanian). Meski gundik Belanda, Nyai Ontosoroh ialah perempuan tegar dan lebih terpelajar ketimbang orang Belanda.
Minke mengenyam bangku sekolah Belanda HBS, dan berlanjut ke sekolah kedokteran Stovia di Batavia. Namun, sekolahnya terbengkalai dan dikeluarkan dari sana. Dia lebih suka dunia tulis-menulis.
Pada awal kiprahnya di dunia menulis untuk dimuat disurat kabar, dia menggunakan bahasa Belanda. Hanya bisa dibaca golongan terpelajar, bukan mayarakat kelas bawah macam pribumi. Dan dalam Anak Semua Bangsa, sahabat Minke, Jean Marais, Pelukis Prancis juga mantan tentara berkaki buntung, memperingatkan Minke.
“Kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu. Kau tak kenal bangsamu sendiri,” kata Jean Marais.
Minke merasa terpukul dengan kata-kata itu juga terpecut semangatnya untuk memperjuangkan bangsanya; bertekad menyadarkan masyarakat bangsanya dengan menulis dalam bahasa Melayu. Dikisahkan dia belajar langsung mengenal seluk beluk kehidupan rakyat jelata dari seorang petani Jawa bernama Trunodongso.
Selanjutnya, Jejak Langkah, mengisahkan perjuangan Minke alias Tirto dalam mendirikan organisasi dan surat kabar. Organisasi pribumi pertama yang didirikan Minke pada masa pergerakan nasional adalah Sarekat Priyayi 1904. Tiga tahun kemudian, 1907, Minke mendirikan surat kabar nasional Medan Priyayi di Bandung. Surat kabar nasional pertama yang berbahasa Melayu (bahasa Indonesia). Seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan, dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Di sana, Minke amat berani dan terang-terangan membongkar kebusukan Belanda, hingga dia ditangkap dan diasingkan.
Rumah Kaca, mengisahkan penghujung perjalanan hidup Minke. Dia tak hanya dikagumi bangsanya tapi juga Belanda. Meski begitu, Minke tetap menyatakan perlawanan terhadap Belanda seperti kata-katanya:
“Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka ‘kemajuan’ sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.”
Di luar tetralogi Pulau Buru, penggambaran R.M. Tirto Adhi Soerjo tertuang di Biografi Minke, Sang Pemula. Pram, seakan ingin berseru bahwa kita pernah memiliki pejuang bersenjata pena yang ditakuti Belanda. Sosok terpelajar Minke atawa R.M. Tirto Adhi Soerjo bagi saya sendiri, mengingatkan pentingnya keberanian dalam menulis. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Berkat jasa-jasa dan pergerakan R.M. Tirto Adhi Soerjo, beliau dinyatakan sebagai Perintis Pers Indonesia tahun 1973 oleh Dewan Pers RI. Pemerintah RI juga menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.