Suatu hari aku harus merasa asing, kalau diriku harus menerima panggilan kata 'Pak' di depan nama panggilanku. Teman-teman dalam satu ruangan, atau dalam satu lingkungan yang kata orang-orang disebut sebagai lembaga pendidikan kadang menyematkan tiga kata itu untuk cukup memanggilku. Anakku sendiri dari kecil diajari ibunya untuk memanggil diriku 'Ayah'. Bukan 'Pak' yang merupakan singkatan dari 'Bapak'.
Di Pekalongan tiga hurup 'pak' lumrah mempunyai arti 'akan, mau' misalnya ada pertanyaan 'pak ring ndi?' pertanyaan itu dapat dimelayukan dengan kata-kata 'mau ke mana?'. Mengapa harus asing segala bila dipanggil Pak? Bukankah itu merupakan panggilan familiar bagi seorang anak untuk memanggil orang tua lelakinya? Kalau pertanyaan itu yang disodorkan dalam keperluan 'budaya sapaan' mungkin bukan masalah. Tetapi kalau sapaan itu meminta konfirmasi dari 'kebenaran hak dan kewajiban' seorang guru dan murid akan bermasalah.
Pandang saja misalnya saya di sekolahan sebagai Bapak, layaknya di rumah tangga. Kalau di rumah tangga misalnya ada yang menyebut saya sebagai Bapak, masih mendekati kebenaran, walaupun senyatanya kadang masih sering kekanak-kanakan, karena saya tahu bahwa saya ikut andil memberikan hak kepada anak dan istri saya, atau biasa orang bilang 'saya ikut berikhtiar memberi nafkah lahir batin kepada mereka'.
Tetapi kalau di sekolahan? Justru saya yang dinafkahi oleh sahabat-sahabat saya. Mereka tiap bulan membayar gaji saya lewat spp, syahriyah, infaq, dll. Mereka juga tidak saya layani layaknya anak istri saya, karena di kelas mereka melayani saya dengan pendengaran dan kepatuhannya.
Menyadari hal itu, seringkali saya terbersit ingin membuat kata-kata di kertas asturo yang ditempel di tembok kelas: 'guru adalah kuli yang digaji murid, murid adalah juragan yang menggaji guru. Guru adalah pelayan murid.' Tapi segera urung niat saya membayangkan wajah-wajah teman pengajar lainnya seandainya mereka membaca kata-kata itu.
Sekali lagi saya mencoba mencari sebaris saja alasan pembenaran kata 'Pak' disematkan dalam nickname saya. Dalam hati mengatakan, "Kata 'Pak' sangat pantas dipandang untuk memanggilku, karena saya telah memberikan 'nafkah batin' kepada 'murid-murid' saya." Nafkah batin dalam konteks keluarga adalah usaha yang berujung pada kata-kata sakral: sakinah, mawadah, warahmah.
Sudahkah saya berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan ketenangan (sakinah) dalam hati 'murid-murid' saya? Bahkan mereka seringkali membaca 'ayat kursi' setiap kali akan berpapasan dengan saya, karena wajah angker saya laksana setan yang segera terbakar oleh khasiat 'ayat kursi'. Dan muncullah semburat senyum dari wajah saya seperti apa yang mereka harapkan. "belanda masih jauh Pak, jangan cemberut melulu." Kata hati mereka.
Sudahkah seorang guru menyemburatkan pamor ketenangan batin murid? Mungkin beribu guru yang mampu membuat murid tenang secara jasad, tapi dalam hati murid menyimpan bom waktu yang siap meledak, karena ketenangannya adalah terpaksa daripada dimarahi; diamnya karena takut dipermalukan di depan teman-temannya karena dibanding-bandingkan dengan teman sekelasnya; sendiko dawuhnya karena ancaman terkena point atau ancaman guru: "awas lho nilainya saya kurangi." Sami'na wa'athonanya karena menghindari nasihat-nasihat ala juragan kepada budaknya. Tak disangka kalau kita renungkan justru kita membuatkan metodologi kemunafikan kepada sahabat-sahabat kita di kelas.
Saya kurang aman, seandainya di panggil Pak, sedang tiap jamnya saya tak menebarkan rasa aman di hati-hati mereka. Sedang aman yang terpancar dari aura kita adalah ukuran kualitas iman.
Sahabat-sahabat saya di kelas menyebutnya sebagai guru killer kepada guru-guru yang jam senyumnya sangat terbatas. Sebutan itu keji dan kejam, tapi sebutan ini merujuk kepada kenyataan. Killer makna harfiahnya adalah pembunuh. Kata sebagian murid, guru killer berarti guru yang membunuh kreativitas murid. Bagi saya guru killer adalah guru yang membunuh otak murid, atau guru yang menggiring otak murid ke arah gelombang delta otak. Kenapa Si Killer membunuh dan disebut sebagai pembunuh?
Dalam ilmu otak (neurologi) kita mengenal beberapa gelombang otak, diantaranya: gelombang alfa, beta, delta, theta. Karena otak merupakan penangkap (receiver)Â pelajaran yang disampaikan guru, maka guru harus titen, kapan kira-kira otak murid berada pada empat gelombang tadi. Diutarakan oleh beberapa pakar pendidikan yang mafhum otak: bahwa saat otak murid memasuki gelombang delta, maka murid mustahil menangkap apa yang disampaikan guru. Jadi, seberapapun berbusa-busanya mulut guru menyampaikan pelajaran akan 'masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri' alias mubadzir.