buya syakur yang tutup usia pada pukul 02.00 WIB, 05 Rajab 1445 H atau Rabu 17 Januari 2024 di rumah sakit Mitra Plumbon Cirebon.
Langit mendung pada Rabu 17 Januari 2024 mengiringi kepulangan sosok ulama sederhana dari Indramayu, Prof. Dr. K. H. Abdul Syakur Yasin, MA telah purna tugas dalam transformasi keilmuannya di bumi dan kini kembali untuk sang penciptanya.Sampai obituari ini di tulis masih saja batin bergejolak atas berita kepulangan sosok kharismatik dari Indramayu, KH. Syakur Yasin atau lebih familiar dengan sapaanSosok yang lahir pada 02 Februari 1948 silam ini tutup usia pada umur 75 tahun dengan menyisakan duka yang begitu mendalam bagi semua orang tak terkecuali penulis sendiri.
Bagi penulis sosok mampu merubah duka menjadi tawa bahkan mampu menyederhanakan persoalan-persoalan sosial yang rumit dengan sangat sederhana melalui media pengajian serta kajian rutinnya. Penulis sendiri masih menemui sosoknya pada Selasa 12 Desember 2023 dalam acara Halaqoh Fiqih Peradaban II.
Disini, penulis sendiri rutin mengikuti kajian-kajian buya syakur dari mulai tahun 2018an, baik secara offline maupun online, dengan jadwal pengajian Minggu malam dan Kamis malam ketika mengaji kitab Ru'yatullah dan juga tafsir Fi Dzilalil Qur'an yang merupakan magnumopus dari Sayid Qutub yang di kenal kontroversi dari negeri Piramid tersebut menjadi kitab yang di kaji pada Kamis malam.
Suasana pengajian yang tergolong unik karena siapapun, dari kalangan manapun, bahkan yang tidak memiliki kitab pun bisa turut serta hadir dalam majelis  yang penuh kegembiraan itu, sampai-sampai teman dari penulis yang belum mengerti sama sekali juga turut merasakan suasana damai dalam pengajian yang dilaksakan pada malam hari tersebut.
Pengajian yang selalu padat dengan jamaah selalu di selipkan pesan kemanusiaan dari buya syakur yang sarat dengan nilai syariat yang ramah dengan lingkungan sosial masyarakat, bukan hanya itu saja yang membuat penulis kagum dengan sosok pemikir ini, keleluasaannya menyampaikan ilmu di hadapan jamaah dengan bahasa sederhana atau bahasa rakyat yang begitu mudah di pahami oleh semua jamaah yang hadir maupun yang melihat siaran live-nya dari Gedung Serbaguna Pondok Pesantren Candang Pinggan Indramayu tersebut.
Benar bahwa beliau atau buya syakur dalam setiap pengajiannnya kemudian mencontohkan seseorang seringkali menggunakan nama Mang Kadim dan Bi Carti sebagai sosok yang sangat merepresentasikan nama dari masyarakat Indramayu pada umumnya serta dalam menelaborasikan rasa syukur atas kehidupan yang di jalaninya. Begitu detail buya syakur menggambarkannya.
Selain itu dalam menangkap kosndisi sosial masyarakat Indramayu, khusunya kelas menengah ke bawah, beliau selalu menggunakan 'pakem' lagu dangdut pantura yang sedang viral atau naik daun saat itu juga, karena kata beliau, "Jika ditanya hari ini Indramayu sedang musim apa cek aja lagu dangdutnya," dari sini penulis bisa membenarkan hal tersebut dengan maraknya fenomena-fenomena yang terjadi dan langsung di representasikan dalam sebuah lirik lagu seperti Mabok Watu hingga Rangda ABG. Dan belum selesai sampai di situ.
Celine Dion pelantun My Heart Will Go On dan Beethoven adalah juga musisi yang sering beliau katakan dalam mengungkapkan rasa nyaman saat menjalani kehidupan, hanya dengan mendengarkan lagu-lagunya kata beliau, hati ini rasanya begitu tenang terlebih saat menikmati suatu perjalanan.
Kembali bawa sosok Buya Syakur yang menyelasikan studinya di berbagai negara serta dengan judul skripsi sarjananya di Mesir yakni "Kritik Sastra Objektif Terhadap Karya Novel-Novel Yusuf As-Siba'i ( seorang Novelis Mesir)," menambah decak kagum dengan sosok ulama ini, juga beliau dalam satu kesempatannya pernah mengatakan bahwa studi yang digelutinya adalah tentang sastra hingga teater namun orang-orang yang datang kepadanya justru bertanya tentang Fiqh.
Saat menganalogikan kematian untuk sebuah perjumpaan dengan sang pencipta, pun beliau begitu sederhana, "Jika kamu sering diberi sesuatu oleh orang yang tidak kamu tidak ketahui, pasti satu waktu kamu ingin menemuinya walaupun hanya sekadar mengucapkan terima kasih, begitu juga hubungan kamu dengan Tuhan." Sampai detik ini pun penulis masih terngiang-ngiang dengan kalimat itu, begitu sederhana namun terlalu bermakna.
Kajian-kajiannya yang begitu mendalam tentang Islam juga disiplin ilmu-ilmu humaniora membuat beliau akrab dengan tokoh-tokoh klasik hingga post-modern dan dengan itu semua begitu mudah beliau menyampaikan nilai Islam yang damai dan langsung sampai kepada jamaah, dan dalam hal ini penulis seringkali mendengarkan nasihat-nasihat beliau tentang perempuan yang merupakan sosok tangguh, bukan laki-laki.
Mulai dari soal ilmu waris, sosial masyarakat hingga sosok perempuan dalam kancah politik praktis yang sampai hari ini masih dalam kungkungan patriarki, beliau menafikan segala hal yang bersifat patrialkal tersebut dalam pengajiannya yang membuat jamaah 'melongo' dengan cara berfikir buya syakur yang dikenal sebagai pemikir rasional tersebut.
Buya syakur selalu melihat manusia yang lepas dari segala 'embel-embelnya' sehingga dengan mudah menyampaikan pesan-pesan Al-Qur'an, Hadist juga teks klasik dalam setiap pengajian rutinnya, demikian pula pesan moral dengan bahasa sederhana atau bahasa rakyat yang begitu mudah dicerna siapapun.
Hari ini sosoknya yang humanis juga humoris telah berpulang menemui sang pencipta dan meskipun jamaahnya merasakan duka yang mendalam namun buya syakur tersenyum untuk bertemu sang pencipta yang selama ini di rindunya.
Buya yang istiqomah dengan penulis yang malas ini hanya bisa menengadah dan mendoakan semoga apa yang semua dilakukan menjadi bekal terbaik buya di sisi-Nya. Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H