Pada 17 Januari 2023 kemarin gedung DPR RI di geruduk oleh ribuan kepala desa dengan membawa tuntutan revisi UU Desa No.6 Tahun 2014 tentang masa jabatan kades (kepala desa) dan tentu hal ini menjadi krusial mengingat kinerja yang selama ini dilakukan masih jauh dari harapan salah satunya angka perceraian di Indramayu
Perpanjangan masa jabatan atas kepala desa tersebut dinilai kurang tepat mengingat kinerja dan juga prestasi dari kepala desa yang setidaknya belum mampu merealisasikan janji politik disaat kampanye pemilihannya sebagai kades tersebut, dan hal ini ditambah dengan segunung persoalan yang hinggap di desa sampai saat ini belum juga tuntas, sehingga periodisasi jabatan bukan solusi atas masalah yang dihadapi.Â
Persoalan ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya seharusnya menjadi sebuah tantangan dan pembuktian seorang kades dalam memimpin roda pemerintahan di desa. Sebab "Sepinya desa adalah modal utama untuk bekerja dan mengembangkan diri." kata Iwan Fals dalam penggalan lirik lagu berjudul Desa. Jadi memang desa bukan hanya tempat yang nyaman karena sepinya suasana sehingga persoalan menjadi tertutup dan jarang menyeruak ke permukaan seperti halnya persoalan yang ada di kota
Kaleidoskop Indramayu dalam tahun 2022 lalu memberikan angka yang fantastis dalam angka perceraian yang terjadi. Sebanyak 7.771 perceraian terjadi sepanjang tahun tersebut dan salah satu faktor yang menyebabkannya ialah ekonomi dan tentu ini seharusnya menjadi pekerjaan rumah yang secara estafet dibenahi oleh seluruh kades dalam memecahkan persoalan ekonomi desanya masing-masing dan apakah perpanjangan masa jabatan bisa menyelesaikan persoalan ekonomi tersebut? Sebaliknya, data menunjukkan bahwa angka korupsi semakin melonjak sepanjang 2021 lalu terdapat 154 kasus yang berasal dari Dana Desa dengan kerugian Rp. 233 Miliar.
Kemudian dari angka 7.771 tersebut dikonversi dalam jumlah 572 anak usia SMA yang mengajukan dispensasi nikah menjadi persoalan yang sangat serius di tangan kepala desa. Namun apakah ini menjadi tanggung jawab kades? Jelas bukan. Namun kades memiliki peran vital atasnya.Â
Maka dalam perpanjangan masa jabatan dari kades tersebut terdengar 'menggelikan' jika dalam praktiknya adalah akumulasi ADD dari besarnya cost politic yang dikeluarkan saat pemilihan dan menjadi gurita korupsi yang terstruktur, masif dan sistematis dalam mengeksploitasi desa dengan aliran dananya yang fantastis. Bayangkan saja angka 572 siswi tersebut adalah satu sekolah jika statusnya sekolah negeri dan bisa menjadi 5 sekolah jika swasta dan pada tahun lalu mengajukan dispensasi nikah akibat pergaulan bebas yang sudah 'ugal-ugalan'.
Bisa dipastikan predikat desa dengan budaya adi luhungnya akan hilang, jika tidak terdistorsi, dengan adanya hal tuntutan masa perpanjangan masa jabatan tersebut jika dalam kerjanya tidak setimpal dengan apa yang diminta, hanya pemenuhan hak dan mengabaikan kewajiban.
Dengan geografis yang kecil dan kondisi demografis yang, meskipun kurang memadai namun seharusnya kades mampu mengakomodir masyarakatnya dengan hanya sering bersilaturahim kepada warga, dengan bahasa lainnya 'nongkrong' maka suasana cair pasti terjadi bukan malah sebaliknya menjadi sebuah menara gading yang sulit dijangkau oleh rakyatnya.
Lagi, salah satu alasan yang dikemukakan oleh kades yang hadir dalam demonstrasi tersebut mengatakan bahwa hal yang menyebabkan masa perpanjangan jabatan itu salah satunya adalah kurangnya waktu dalam kurun 6 tahun dan hanya baru melerai konflik horizontal pasca pemilihan.
Senyatanya di lapangan bahwa hal semacam itu merupakan ulah dari timses (Jawa; cucuk) dari setiap calon tersebut yang membuat gaduh suasana pikades dan senyatanya pilkades merupakan pemilihan yang sangat mengkhawatirkan untuk keberlangsungan demokrasi. Sebab kekacauan yang terjadi bukan hanya merusak keberlangsungan dari alamiah kebudayaan desa yang erat menjaga persaudaraan namun juga masa depan bagi generasi penerusnya.
Kembali bahwa angka perceraian dan tingginya dispensasi nikah terhadap anak yang masih dalam masa pendidikan tersebut yang ada di Indramayu merupakan representasi dari gagalnya para kades dalam menjalankan visi-misinya sebab janji kampanye adalah sebuah janji yang menjadi barang lazim untuk di tinggalkan setelah terpilih. Hal ini ditambah dengan orientasi terhadap 'militansi ekonomi' para cucuk yang sudah saling berebut jabatan seusainya pemilihan.
Pengawasan dan perhatian kepada masyarakat dalam hal ini pemilih telah berakhir setelah surat suara dibenamkan dalam kotak pemilihan dan yang terjadi adalah pembiaran dan perlombaan merebut sesuap nasi. Maka bagaimanapun rakyat adalah tumbal dari segala eskalasi pemilu.Â
Lupakan pengandaian bahwa kepala desa atau kades benar ingin memajukan desa maka ada sektor prioritas yang harus dibenahi dan bukan hanya membeberkan prestasi kepada warganya tentang capaian pembangunan infrastruktur yang jelas-jelas itu merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti halnya jalan desa dan juga irigasi. Memang dalam hal pembangunan infrastruktur tersebut bisa dikatakan mudah sebab itu merupakan 'lahan basah' dari para pejabat kita, sehingga untuk membangun SDM bukan lagi prioritas dari program desa seperti sektor pendidikan tersebut
Memang sampai pada saat ini realitas di lapangan mengatakan bahwa desa masih dalam kungkungan nepotisme, jika bukan oligarki sehingga output kebijakan yang dihasilkan juga hanya bercokol dalam lingkup kecil keluarga dan dengan bahasa permisif; kekeluargaan.
Seharusnya lebih memperketat regulasi pengawasan terhadap desa bukan hanya melalui undang-undang namun juga pengawasan di lapangan yang benar-benar independen, meskipun sesulit menemukan jarum dalam jerami.misi dalam hal pendidikan tersebut dikawal seserius mengawal calon kades maka angka pengajuan atas dispensasi nikah tersebut tidak sekonyong-konyong muncul sefantastis itu.
Masalah pemuda yang tidak diberi atau disediakan ruang adalah sama krusialnya dalam desa, terlebih mereka adalah yang memiliki pola pikir kritis terhadap pemerintahan. Bukan hal yang aneh apabila mereka akan dijauhkan dari ruang lingkup pembangunan desa dan hanya diperlukan sebagai penghias kuota penduduk desa sehingga apakah masa perpanjangan masa jabatan kepala desa itu selaras dengan visi-misi kemajuan desa dengan mengenyampingkan peran pemuda? Dipastikan tidak sama sekali dan hanya dekadensi yang terjadi.
Bencana alam seperti banjir yang terjadi pada awal tahun 2021 juga menjadi catatan terburuk desa karena minimnya penggalakan mitigasi bencana di desa sehingga transformasi desa menjadi kota sudah dirasakan dengan banjirnya dan dengan budaya-budaya yang jauh dari nilai adiluhung sebagai ikonik desa yang sering dituturkan dalam buku dongeng anak
Dengan sekilas memperhatikan angka perceraian yang juga angka pengajuan dispensasi nikah pada anak di usia pendidikan tersebut menambah daftar panjang kegagalan kades dalam memimpin masyarakat desanya sehingga usulan untuk memperpanjang masa jabatan menjadi 9 tahun untuk kepala desa tersebut bukan solusi atas kegagalan tapi kerja kolektif yang konsisten dan juga transparansi anggaran terhadap warganya sebagai langkah awal keseriusan atas komitmen kerja para kepala desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H