Mohon tunggu...
Ahonk bae
Ahonk bae Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Untuk Perdaban

Membaca, Bertanya & Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Refleksi Pilwu Indramayu 2021, Asumsi adalah Raja

13 Juni 2021   15:01 Diperbarui: 13 Juni 2021   15:05 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rekapitulasi perolehan hasil suara 

Alam pedesaan saat pemilihan kepala desa (selanjutnya Pilwu) sangat jauh berbeda dari biasanya, dan disini penulis melihat dengan dua sudut pandang yang berlainan, pertama sebagai masyarakat sipil dan sebagai pemuda yang memiliki peran serta andil dalam regulasi sistem pemerintahan yang akan terjadi pasca Pilwu ini. Tolok ukurnya ialah apa yang nampak dalam realita dan bagaimana sistem atau aturan yang ada dalam Pilwu tersebut yang di buat oleh Pemerintah Daerah serta Perbup.

Terjadi dan berulang sebagaimana biasanya pada Pilwu sebelum-sebelumnya, terdapat banyak sekali gencatan hingga hujatan selama masa pencalonan kuwu. Semua orang di desa sibuk menggunjing sembari berasumsi mengenai perpolitikan desanya, berbicara lantang soal demokrasi, regulasi hingga semua yang berkaitan dengannya. Menakjubkan!.

Sebelumnya, semua orang enggan berbicara mengenai regulasi pemerintahan desa yang seharusnya lantang di bicarakan, namun selalu pasif sebagaimana dana Bansos Covid-19 yang ramai di pergunjingkan, namun pada faktanya tidak berani di ungkapkan dalam forum resmi pemerintah desa. 

Namun pada saat gelaran Pilwu berlangsung semua orang seolah menjadi analisator dengan segudang asumsinya masing-masing tanpa klarifikasi akan apa yang ada dalam benaknya. Di sudut warung, di jalanan desa sampai gang kecil dimana ada orang berkumpul maka pada saat itu juga semua orang membicarakan pencaturan Pilwu saat ini.

Tahapan Pilwu Indramayu 2021
Tahapan Pilwu Indramayu 2021

Bagaimana regulasi serta aturan main dalam Pilwu serta bagaimana kebudayaan berpadu di dalamnya, berafiliasi mengkonstruksi suatu dikotomi dalam masyarakat desa, hanya karena berbeda pilihan serta berbeda dalam kacamata analisanya. Terdapat asumsi serta framing terhadap semua calon kuwu yang bertebaran di masyarakat, dan dengan pengetahuan dari masing-masing individu semua orang bisa menghakiminya dengan cara yang 'mandiri'. Benar dan salah adalah urutan kesekian sesudah asumsi itu keluar dari alam pikirannya. Lalu ini yang dinamakan demokrasi oleh masyarakat desa. 

Pelbagai asumsi yang tersebar itu maka bisa dipastikan masyarakat sedang belajar menilai para kandidatnya sendiri dari berbagai sudut pandangnya, sehingga dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan sebelum pencoblosan suasana desa sama sekali berubah menjadi tidak menyenangkan, esensi desa dengan nilai adiluhung seketika hilang dan nilai gotong-royong yang selama ini menjadi iconic desa juga ikut terrampas dari masyarakat desa yang sudah terdistorsi oleh kepentingan para calon kuwu. 

Waktu pembukaan pendaftaran calon kuwu semua orang antusias mendatangi Balaidesa sebab ingin melihat secara langsung siapa saja mendafatarkan dirinya sebagai calon kepala desa di masa yang akan datang. Alhasil, dalam suasana Covid-19 pun aturan protokol kesehatan atau prokes tidak begitu digubris, sebab calon pemimpin lebih urgent disaksikan daripada aturan prokes tersebut. 

Sesudah penutupan pendaftaran maka suasana desa sedikit naik lagi tensinya, sudah terkotak-kotakan oleh pilihannya dan jika berbeda dengan pilihan tetangganya maka konsekuensinya adalah ia akan terisolasi bahkan di marjinalkan begitu saja dari tetangganya. Jelas ini menunjukkan belum siapnya masyarakat akan eksinya sebuah perbedaan yang nampak di depannya, saling respect sesama pun belum tercapai hanya karena Pilwu terlebih dengan keyakinan dalam suatu hal, agama misalnya. Maka toleransi belum eksis di desa. 

Pasca pengundian nomor urut setiap calon kuwu suasana sudah desa begitu tidak nyaman untuk di tinggali, sebab masyarakat sudah belajar untuk tidak peduli terhadap tetangganya yang berbeda pilihan atau sebab terprovokasi oleh kader dari setiap masing-masing calon. Justru ini yang menjadi menarik untuk di dalami kajiannya, setelah pengundian nomor urut semua calon sudah mempersiapkan banyak sekali baliho, spanduk hingga stiker untuk disebar pada setiap titik dan di rumah-rumah masyarakat dengan tujuan memperkenalkan dirinya lengkap dengan foto dari masing-masing calon tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun