Mohon tunggu...
Ahonk bae
Ahonk bae Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Untuk Perdaban

Membaca, Bertanya & Menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Adu Domba dalam Kontestasi Pemilihan "Kuwu"

30 Maret 2021   10:39 Diperbarui: 30 Maret 2021   10:45 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesta perebutan kekuasaan dimanapun dan bagaimanapun bentuknya tetap tidak bisa di elakkan dari sebuah strategi dan strategi yang paling sering digunakan dalam hal ini ialah politik adu domba atau divide et impera, ia merupakan kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi.  

Gaya berpolitik ini bertujuan mendapatkan serta menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Dalam kilasan sejarahnya, seperti yang dikatakan Saptamanji (2013), politik adu domba merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad 15 (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis). Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah tropis. Seiring dengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga politik pecah belah tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi politik.

Kemudian jika gaya politik ini diadopsi desa, dalam konetstasi Pemilihan Kuwu (selanjutnya pilwu) seperti apa? apakah akan menjadikan masyarakat yang terpecah juga atau malah semacam kontra-kultura sebab kekuatan yang dalam nilai kebersamaan yang telah di bangun sejak sedemikian lama tidak mudah runtuh begitu saja, dan sudah barang tentu jawabannya variatif.

Pada saat pilwu berlangsung, terutama sekali pada kurun waktu kiwari, media sosial menjadi senjata ampuh dalam melakukan agitasi hingga hegemoni dalam mendulang massa, memperkeruh suasana serta memecah belah sebuah tatanan masyarakat yang telah terbangung sejak sedemikian lamanya.

Jika politik ini diterapkan pada konteks pilwu maka skema adu domba yang terbangun ialah mengadu antar Rw, Rt, Kelompok, Pemuda, antar keluarga bahkan dalam satu keluarga yang memang rentan terhadap kesadaran politik yang terlanjur terdikotomikan. Sehingga dalam pilwu yang ruang lingkup serta atmosfirnya lebih terasa daripada kontestasi-kontestasi lainnya akan berimpack pada citra desa itu sendiri dengan mengingat bahwa desa saat ini sedang menjadi target pasar dalam skala globalnya. 

Oleh sebabnya desa tidak melulu soal keramahan serta adi luhung nilai-nilai tradisionalisnya, sebab desa telah bersolek sedari tataran grossroot-nya.

Desa dengan sarat kepentingan politisi dalam mendompleng kontestasi pilwu tersebut tak ayal berubah menjadi kontestasi yang mencekam, dan masyarakat yang menghendaki perubahan desanya harus mengubur impian tersebut dalam-dalam. Pada aset vital desa yang rata-rata dari sektor agrari atau juga bahari juga telah di lirik oleh politisi kawakan yang berdekap mesra dengan investor dalam mengeruk desa dalam jumlah besar dan jelas, memiskinkan penduduk desa tersebut.  

Melalui kontestasi pilwu maka politisi pun ikut berbondong-bondong menjadi investor atasnya, kemudian cara-cara massif tak luput dari strategi pemenangan yang di agendagak setiap masing-masing calon, dari mempromosikan program hingga mengadopsi program. Kemudian politik adu domba adalah varian yang yang tidak lepas, not-move, dari cara mendulang kemenangan tersebut. Dampaknya jelas, sesama keluarga tidak lagi seharmonis dulu bahkan, saling adu mulut dalam membela kandidatnya.

Media sosial adalah sarana efektif dalam membuat isu, agitasi hingga hegemoni dalam membuat framing, citra bahkan nestapa sekalipun. Hari ini penduduk desa telah juga beradaptasi dengan media sosial tersebut, Facebook terutama sekali merupakan sarana yang sering di gunakan masyarakat desa dalam melakukan hal-hal di atas. Instagram atau Twitter memang juga media sosial yang mudah di akses namun lagi-lagi keterbatasan SDM di desa masih nyaman dan puas hanya di wilayah Facebook tersebut dalam melancarkan aksinya - adu domba. Lebih miris, ibu-ibu dan bapak-bapak yang melakukan hal ini sehingga segala sesuatu tidak lepas dari bidikan kamera lalu up load, konten hoax atau berbahaya adalah hal tak terlalu di perdulikan apalagi dampaknya. Lantas pemudanya?  Tik-tok, Instagram dan Twitter saat ini juga sudah menggandrungi pemuda desa sehingga kanal Facebook tidak terlalu di lirik. Maka bisa dikatakan generasi tua menjadi sesuatu yang riskan ketika di sandingkan dengan sosial media.

Adu domba memang bukan sesuatu yang baru dalam sebuah kontestasi, meski pun sangat berbahaya namun itu sering menjadi sesuatu yang lumrah. 

Maka kesadaran politik begitu urgen dalam menghalau hal demikian, terutama pemudanya yang menjadi aset disetiap tempat. Sehingga dalam hal ini harus ada di sebuah desa, pemuda yang mahir IT demi meng-counnter hal yang berujung negatif. Meskipun tidak bisa menampik bahwa demokrasi  harus ada opsisi namun cara kreatif adalah alternatif utama yang bisa mengentaskan kejenuhan dalam kontestasi sekelas pilwu ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun