Kompasianer, bagi kalian yang muslim pasti tidak asing lagi dengan kitab kuning dong. Sebagian besar kita, saya yakin berasumsi bahwa kitab kuning adalah kitab yang dicetak diatas kertas kuning. Hal demikian tidak salah, karena memang dulu benar begitu adanya.
Seiring berjalannya waktu , kitab kuning mulai dicetak diatas kertas putih juga, tapi esensinya tetap sama, yaitu  seperti kitab kuning pada umumnya. Isi di dalamnya adalah huruf arab yang gundul alias belum ada harokatnya.
-------------------
Sejak menjadi santri 2 tahun lalu, saya mulai berkenalan dengan kitab kuning. Awal mula belajar kitab kuning, membuat kepala berputar-putar dan penuh tantangan.
Tapi setelah ditekuni, ternyata ada sisi lain dari kitab kuning yang menarik. Sejak saat itu, saya asyik mempelajari.Dan ternyata, kitab kuning mempunyai daya tarik tersendiri.
Misalnya dengan halaqah, dimana kyai mengartikan mufrodat satu persatu dalam kitab. Â Kemudian santri, diberi tugas memaknai di kitabnya sendiri. Tantangan ngaji kitab kuning, adalah melawan rasa kantuk dialami para santri.
Kalau saya, biasanya berusaha konsentrasi sehingga kantuk lewat. Bagi para santri, ngaji kitab adalah tanda seorang santri sejati, seperti kata (Alm) K.H. Maemoen Zubair.
Kompasianer, pasti tidak asing dengan sosok mbah Moen. Beliau adalah Kyai asal Rembang, yang meninggal dan dimakamkan di tanah suci. Sangat banyak pembahasan dalam kitab kuning, seperti fiqih, aqidah, tasawwuf, tafsir, hadits, nahwu, shorof dan masih banyak lagi.
Ukuran kitab kuning juga bervariasi, ada yang tipis, sedang dan tebal. Adapun yang ukurannya kecil, biasanya digunakan untuk pemula. Seperti disampaikan Syekh Az-zarnuji didalam kitab Ta'lim muta'allim.
Sementara kitab ukuran besar, biasanya dipakai untuk yang sudah berpengalaman. Dalam mengaji kitab kuning, akan lebih baik jika kita paham nahwu shorof dan paham bahasa arab.