Oleh: Ahmad Soleh
Orang-orang yang memiliki pandangan humanisme menganggap peran akal begitu besar dalam kehidupan manusia. Akal memegang peran superpower, seolah segala hal yang manusia dapatkan hari ini ialah semata-mata karena akal pikirannya saja. Sementara keimanan, wahyu, dan peran Tuhan hanya ada di wilayah magis---yang tidak realistis. Pandangan semacam ini mungkin seolah benar. Namun, benarkah begitu?
Buya Hamka dalam buku Lembaga Hidup mengatakan bahwa sesungguhnya agama ialah penuntun akal. Akal merupakan karunia yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Lantaran akal pulalah manusia jadi lebih mulia (tinggi) derajatnya dibandingkan hewan. "Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS At-Tiin: 4).
Allah menciptakan manusia dengan bentuk terbaik, sempurna. Sebab itulah Islam memosisikan akal pikiran manusia sebagai satu elemen penting bagi setiap manusia menjalani kehidupannya. Ya, dapat dikatakan, akallah yang dapat membuat manusia jadi sempurna. Namun, dalam catatan Buya Pujangga ini, akal mesti berjalan pada koridor yang sejalan dengan keimanan---dalam tuntunan wahyu. Bila tidak, akal akan membuat kacau dan justru menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri.
Sebagaimana disebutkan dalam Alquran surah At-Tiin ayat 5-6: "Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya."
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan penuh berkah, penuh makna, dan pada bulan ini pula momentum kita mendidik diri menjadi jauh lebih baik. Hawa nafsu ialah lawan yang amat berat. Tantangan kita sepanjang bulan suci ini ialah bagaimana melawan hawa nafsu agar ia tak menguasai diri dan menjerumuskan kita ke dalam jurang kesesatan dan kehinaan. Seseorang yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu dan hilang akal, seperti disebutkan dalam firman-Nya, berada dalam tempat serendah-rendahnya---lebih rendah dari binatang.
Selama bulan Ramadhan, kita ditempa untuk dapat menahan hawa nafsu dengan berpuasa. Puasa tenti tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga segala nafsu duniawi yang begitu lekat dengan keseharian. Misalnya nafsu syahwat hingga nafsu untuk berkuasa. Pada bulan yang baik ini, kita diajarkan untuk menjadi manusia yang takwa.
Sebagaimana surah Al-Baqarah ayat 183, yang berbunyi: "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Nah, yang perlu menjadi catatan kita, perintah berpuasa ialah untuk orang-orang yang beriman. Kalimat "yaayyuhalladziina amanu" begitu tegas menyatakan bahwa seorang Muslim yang menjalankan ibadah puasa, mesti dilandasi keimanan. Keimanan sebagai fondasinya, sehingga dalam prosesnya kita akan dimudahkan dalam melawan hawa nafsu.
Sebaliknya, bila kita menjalani ibadah puasa tanpa didasari keimanan, hal ini akan menjadi sia-sia. Lantaran ibadah yang kita jalani tidak akan diganjar dengan apa pun kecuali rasa lapar dan haus. Lagipula, tanpa fondasi keimanan, kita kerap tergelincir pada kemaksiatan yang hal ini tentu dapat menganulir nilai ibadah puasa kita.
Kembali ke soal akal, Ramadhan ini menjadi momentum terbaik bagi kita kembali menyehatkan akal. Tentu saja, dengan fondasi keimanan yang kuat, dengan keyakinan yang mantap, dan takwa, kita akan senantiasa berjalan pada koridor yang benar. Sehingga, akal yang sehat akan membawa kita pada pemahaman-pemahaman yang lurus, pada tindakan-tindakan yang baik (amal saleh), dan juga dapat mengalahkan hawa nafsu. Wallahu 'alam bishawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H