Pendidikan selayaknya bunga yang mekar. Memancarkan keindahan untuk dipandang oleh lebah maupun kumbang. Saling memberi manfaat diantara keduanya. Itulah pendidikan, guru dan murid saling memberikan dukungan dan berbagi manfaat.
Taman Siswa merupakan sekolah yang didirikan oleh Suwardi Suryaningrat atau lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Tepat 3 Juli 2022, Taman Siswa berusia 100 tahun atau satu abad.
Secara harfiah, Taman Siswa berarti tempat bermain atau belajar para siswa. Dimana, pendidikan merupakan suatu tempat yang menyenangkan untuk memperoleh pengetahuan.
Taman Siswa mengedepankan pendidikan Eropa yang dipadukan dengan tradisi Jawa. Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa untuk menumbuhkan kesadaran siswa Bumiputera akan hak-hak memperoleh pendidikan.
Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah dengan semboyan 'Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani". Model pendidikan yang diciptakan menggunakan 3 prinsip dasar yang di kenal dengan 3A(Asah, Asih, Asuh). Maka dari itu, Ki Hadjar menyebutkan "tujuan pendidikan itu memerdekakan manusia ke arah kebudayaan, sehingga selamatlah raganya bahagialah jiwanya."
Pendidikan yang berbasis kebudayaan yang menuntun kemerdekaan sesuai dengan bakat yang dimiliki setiap siswa. Berbanding lurus dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar, "tugas guru bukanlah membuat siswa pintar, namun mengembalikannya pada kodratnya sebagai manusia". Manusia yang hidup sebagai makhluk sosial, harus menjauhkan diri pada sikap egois/individualis, kikir dan materialisme.
Implementasi inilah, mengacu pada pendidikan yang menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa. Bermodalkan iman dan taqwa yang berbekal ilmu yang cakap, kreatif, mandiri dan sehat. Filosofi pendidikan akan mudah untuk dicapai.
Tugas guru teramat berat untuk mendidik anak didiknya. Semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi menjadi suatu tantangan yang dihadapi para guru. Mengarahkan seluruh anak didiknya pada hal-hal positif dari perkembangan digital tersebut.
Diskursus sangat dibutuhkan dalam berkomunikasi di kelas maupun di luar kelas. Melihat peristiwa yang terjadi di masyarakat akan memudahkan para guru untuk memberikan pengajaran terhadap peserta didiknya.
Mengamati setiap peristiwa yang sedang terjadi di masyarakat. Memberikan pemahaman yang berbeda pendapat diantara peserta didik. Pendapat yang berbeda akan menghidupkan suasana kelas. Komunikasi yang mengedepankan model diskusi kecil. Menciptakan kreativitas siswa dalam menanggapi peristiwa yang sedang terjadi di masyarakat. Inilah yang menghidupkan kepekaan sosial setiap siswa.
Pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hadjar, tidak melepaskan siswa dari peristiwa yang terjadi di masyarakat. Oleh sebab itulah, pendidikan pada masa Ki Hadjar mengedepankan pendidikan yang menanamkan sikap nasionalisme. Semangat inilah yang menyebabkan Taman Siswa tidak memperoleh bantuan dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Walaupun tidak memperoleh dukungan dari pemerintah Hindia-Belanda. Tujuan Taman Siswa terus berjalan dengan baik. Semangat nasionalisme yang dikhayalkan oleh Ki Hadjar akan tercapainya empat hal: 1) bila rakyat makan hasil tanamannya sendiri, 2) bila rakyat mengenakan pakaian dari hasil pemintalan sendiri, 3) bila rakyat dapat menikmati hasil seni sendiri, 4) bila rakyat... seterusnya dan seterusnya.
Itulah marwah pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan kebudayaan. Mengasah kodrat alam maupun bakat yang dimiliki anak sejak lahir. Hal ini, berlandaskan tri pusat pendidikan yang meliputi keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat atau pemuda.
Semoga bermanfaat...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H