Mohon tunggu...
Ahmidal yauzar
Ahmidal yauzar Mohon Tunggu... Freelancer - Who?

Menulislah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perempuan-Perempuan Pangkalan Susu Berjuang Menyuarakan Penghentian PLTU dan Ajak Komitmen Calon Presiden Atasi Krisis Iklim

8 November 2023   06:04 Diperbarui: 8 November 2023   07:05 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puluhan perempuan dari kalangan ibu-ibu yang menjadi korban dampak polusi emisi karbon Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat berunjuk rasa mendesak pemerintah mencabut izin operasi PLTU Pangkalan Susu serta meminta pemerintah serius atasi krisis iklim.

Komitmen emisi nol persen pada 2060, sebagai janji Indonesia mengatasi dampak perubahan iklim menjadi bagian penting bersamaan dengan pemilihan umum (Pemilu) 2024. Sebab itu, Puluhan ibu-ibu ini meminta agar para kandidat calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mendeklarasikan komitmen kuat untuk mengatasi perubahan iklim dan transisi energi bersih di negara Republik Indonesia.

"Saat ini bakal calon presiden dan wakil presiden kita ketahui sibuk dengan kampanyenya. Tetapi, belum ada satu pun yang peka akan krisis iklim yang saat ini terjadi. Oleh karena itu, kami mendesak agar para capres dan cawapres peduli terhadap iklim dan membuat kebijakan-kebijakan yang pro iklim serta melakukan transisi energi bersih yang berkelanjutan dan berkeadilan," kata Rimba Zait saat berorasi pada aksi bertajuk 'Power Up' yang berlangsung di Titik Nol Kota Medan, Minggu (05/11/2023) lalu.

Berdasarkan perhitungan Tim Nexus, empat unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pangkalan Susu berkapasitas 800 Megawatt ini perharinya membakar 11 ribu ton bahan bakar batubara dan menghasilkan 1.426,2 ton limbah sisa pembakaran yang mencemari lingkungan dan berdampak pada  menurunya ekonomi masyarakat.

Dari hasil penelitian Yayasan Srikandi Lestari, dalam kurun waktu 2022 menyebutkan, ada 3 sektor yang diduga paling berdampak akibat beroperasinya PLTU Pangkalan Susu yakni perikanan, pertanian dan kesehatan.

Sebanyak 659 nelayan kini mengalami penurunan hasil tangkap ikan dan menjadi korban menurunnya mata pencaharian sebanyak 70 persen. Para nelayan ini memilih untuk menjual sampan-sampannya lantaran tidak mampu menutupi utang-piutang akibat dampak dari pencemaran limbah maupun polusi udara dari PLTU.

Lalu, pada sektor pertanian, sebanyak 316 petani yang mengelolah sawah seluas 158,36 hektar juga berdampak gagal panen. Akibatnya, hasil panen para petani menurun 50 persen.

Mirisnya lagi, 333 orang masyarakat di lokasi itu mengalami beberapa jenis penyakit seperti sesak nafas, gatal-gatal, hipertensi, tiroid serta paru-paru hitam. sebanyak 60 orang anak-anak dari 5 desa di daerah PLTU Pangkalan Susu mengalami gatal gatal akut.
Tak hanya itu, tercatat di tahun 2023, 4 orang anak meninggal dunia akibat sesak nafas.

(perempuan Pangkalan Susu saat membawa poster korban diduga akibat pencemaran polusi PLTU Batubara/foto: Ahmidal Yauzar)
(perempuan Pangkalan Susu saat membawa poster korban diduga akibat pencemaran polusi PLTU Batubara/foto: Ahmidal Yauzar)

"Di tahun ini ada 4 anak yang meninggal karena sesak nafas. 3 meninggal karena paru-paru hitam dan 1 lagi paru-parunya hancur," terang Rimba.

Fatona (51) warga desa Pintu Air, Kecamatan  Pangkalan Susu, dalam orasinya menerangkan, jika kondisi tempat tinggalnya kini bak seperti neraka yang mengancam akan kesehatan dan ekonomi penghidupannya.

Profesinya sebagai petani sawah dan sang suami peternak tambak udang mati arang, sebab, hasilnya tidak lagi menguntungkan melainkan sebaliknya merugi.

"Sejak beroperasi PLTU di Pangkalan Susu hasil panen sawah dan tambaknya berkurang, ekonomi kami kian sulit. Tambak itu biasanya dalam kurun waktu 2 sampai 3 bulan panen menghasilkan ratusan kilogram udang, namun sekarang hanya 20 kilogram," keluhnya.

"Kekmana ya, saya juga petani kebun, selain padi juga tanam cabai. Cuma dari hasil panen cabai itu dulunya bisa dipetik menghasilkan dalam seminggu minimal seminggu sekali bisa memenuhi kebutuhan belanja rumah saya. Sekarang ini, kondisinya antara hidup dan mati, daunnya rontok. Kalau padi itu lebih gampang tumbang," ucap Ibu Fatona menceritakannya lagi.

Merujuk peristiwa itu, dari hasil riset yang dijelaskan Yayasan Srikandi Lestari menunjukkan bahwa fenomena itu disebut hujan asam yang memberikan dampak buruk pada lahan pertanian termasuk lahan tambak.

Tiga Kandidat Capres Minim Membahas Krisis Iklim

Direktur Yayasan Srikandi Lestari, Mimi Surbakti menyebutkan bahwa 3 kandidat calon presiden pada pemilu 2024 saat ini masih minim membicarakan isu krisis iklim.

Padahal, isu krisis iklim merupakan isu global yang harusnya menjadi wacana bagi ketiga calon presiden apabila ingin berkuasa di Indonesia.

" Para calon pemimpin ini harusnya menghentikan pola pemimpin lama yang kecanduan batubara  dan harus memulai mengurangi emisi dari PLTU batubara ya g telah terbukti merugikan bagi kesehatan dan kesejahteraan warga sekitar beroperasinya PLTU batubara," ujarnya.

"Pemimpin Indonesia yang baru harus fokus pada pembangunan pembangkitan energi yang adil dan berkelanjutan. Energi yang mensejahterahkan dan tidak lagi meracuni anak-anak," kata Mimi Surbakti.

Pada aksi Power Up ini, selain membentang spanduk penolakan, poster, juga dilakukan aksi pembagian bola-bola tanah bibit tanaman hias mulai dari bunga tekang, gambas dan cabai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun