Sex Pistol, band punk paling radikal asal Inggris dekade 1970-an pernah membuat kegaduhan yang men-distorsi tradisi negara monarki ketika itu. Ikhwalnya sepele, cuma gara-gara bait lirik dalam lagu kebangsaan Inggris: God Save the Queen diubah menjadi seruan anti-fasisme melalui metode satire yang sebetulnya jenaka.Â
Sayangnya, kesatiran itu dilabeli sebagai sebuah tindakan asusila dan bentuk propaganda politik yang berakhir dengan pelarangan pertunjukan sekaligus memicu mosi tak percaya di kalangan publik kala itu. Kasus Sex Pistol hanya sebagai ilustrasi singkat, terkait relasi antara Ratu Elizabeth II dan rakjatnya ketika itu. Relasi ini pula akan menjadi fokus perbincangan kita selanjutnya. Hanya saja konteksnya diperkecil: dengan mempertayakan bagaimana relasi antara bapa raja Geser dan masyarakatnya? Kira-kira begitu!
Kronologisnya begini: pekan ini kabarnya akan ada perayaan pelantikan bapa raja atau kepala desa Geser untuk periode ke II, tepatnya 25 Januari 2019 nanti. Tentu, selama masa jabatan sebelumnya, beliau perlu diberikan apresiasi dan sekaligus kritik. Kritik tentu bertujuan sebagai social control sehingga masalah-masalah umat lebih diutamakan ketimbang kepentingan pribadi yang berpotensi menciptakan conflict of interest.Â
Kritik juga bertujuan membuka cakrawala. Artinya, semakin baik kerja-kerja raja, maka semakin positif pula opini publik. Namun, jika terjadi sebaliknya, maka berpotensi menciptakan ketidakpercayaan rakjat (unbelieve-society) . Pada titik inilah imaji tentang kekacauan sosial (chaos) terbentuk dengan sendirinya. Setidaknya, hal ini mengkonfirmasi teori Michael Foucalt: kekuasan dan pengetahuan bahwa raja bukanlah pemegang kekuasaan sebab kekuasaan sebenarnya tersebar di berbagai kelas sosial masyarakat. Pendeknya, masyarakat kelas bawah juga memiliiki kuasa.Â
Perlu dipahami bahwa posisi bapa raja semakin hits atau populer ketika kebijakan Presiden Joko Widodo terkait dana desa betul-betul terealisasi. Pada konteks ini pula, privilege sang raja makin kuat. Tapi yang harus digaris-bawahi adalah perubahan fundamental di era Jokowi ini sejatinya bukan semata-mata tentang urgensi posisi bapa raja, tapi bagaimana masyarakat melihat fenomena ini sebagai agenda perubahan secara kolektif sehingga keterlibatan rakjat dalam merespons perubahan sosial menjadi mutlak. Rakjat berperan sebagai agent of change atau garda depan bagi kemajuan sebuah desa. Dengan kata lain, kepentingan publik menjadi prioritas nomor satu.
Seperti kata Iwan Fals, desa harus jadi kekuatan ekonomi, agar warganya tak hijrah ke kota. Indikasi dari kalimat di atas, tentu desa selama ini memiliki masalah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya pada tahun 2015, menyebutkan terdapat 20,167 jumlah desa tertinggal secara nasional dari 74.000 desa di seluruh Indonesia.Â
Sementara, data dari Kementerian Desa (kemendes) mencatat dari tahun ke tahun dana desa selalu mengalami peningkatan misalnya pada 2015 pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 20,76 triliun. Di tahun 2016 anggaran meningkat menjadi Rp 46,9 triliun dan makin membesar menjadi Rp 60 triliun pada 2017 dan 2018. Bahkan, rencanya, pada 2019 ini dana desa akan meningkat menjadi 1,4 miiar per desa, jauh lebih banyak dari saat ini yakni sebesar Rp 800 juta. Ini belum ditambah Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar 10 persen yang berasal dari pemerintah daerah (baca: APBD)
Transparansi Dana Desa
Pelantikan raja Geser, Swilani Kelian kali ini tampaknya harus menjadi otokritik. Pasalnya, alokasi dana desa yang tidak transparan selama periode 2015-2018 telah menimbulkan teka teki bagi masyarakat. Proyek pembangunan desa selama ini pun tidak terlihat signifikan dan marak dilakukan. Berdasarkan pengakuan warga, alokasi dana desa selama ini cuma dialokasikan untuk pembuatan kaving block.Â
Akibatnya, masyarakat bertanya-tanya anggaran yang totalnya sebesar Rp 1,7 miliar selama 2015-2018 itu dikemanakan? Isu tentang nepotisme pun makin mengemuka, misalnya bendahara desa yang selama ini berasal dari kalangan keluarga. Hal tersebut tentu makin memupuk kecurigaan bagi masyarakat.
Untuk itu, periode selanjutnya, mau tak mau warga harus dilibatkan. Bendahara desa tidak perlu lagi berasal dari keluarga raja, anggaran dana desa tahun 2019 yang rencannya sebesar 1,4 miliar per desa harus lebih transparan. Perlu adanya prinsip good governance sehingga setiap pembangunan berjalan secara efektif. Rincian anggaran pembangunan desa harus dipublikasikan agar tidak menimbulkan mispersepsi.