Di Indonesia, masalah memang berlipat, kemunculan partai-partai pasca reformasi 98, tidak serta merta linear dengan tuntutan akan tegaknya demokrasi --yang berkehendak mereduksi sekat-sekat "kelas" dalam dalam dunia politik dan ekonomi. Â Hal itu malah terbalik, reformasi sekaligus memberikan ruang politik kepada sekelompok orang pemilik partai untuk tetap mempertahankan patron-client sehingga yang terbentuk hanyalah personal party. Â
Personal party di Indonesia memang sudah jadi rahasia umum. Dalam kasus ini, dua partai yang dominan adalah Partai Persatuan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sejak pendiriannya 2008, Gerindra selalu memunculkan Prabowo Subianto sebagai satu figur politik yang sangat mengesankan fenomena personal party. Hal paling brutal juga terjadi pada Megawati Seokarno Putri yang telah mengusai PDIP sejak 1999. Personal party adalah istilah yang digunakan intelektual Italia, Norberto Bobbio untuk merujuk pada Forza Italia (FI), partai kanan-tengah Italia yang berdiri sejak 1994.  Personal party adalah partai yang diciptakan oleh satu orang dan untuk kepentingan satu orang atau  keputusan partai yang berada pada satu orang.
Tak sekedar fenomena personal party, dalam kasus di Indonesia, dominasi sekelompok orang dalam dunia politik juga memunculkan istilah oligarki politik. Namun, untuk menutupi sifat oligarkis ini, terkadang sebuah partai lebih mengatasnamkan panji-panji mayoritas. Hal senada, diungkapkan secara kritis oleh Goeff Mulgan, dalam buku "Politics in an Antipolitical Age" Menurut Mulgan, bagaimanapun dalam sebuah tatanan negara demokratis akan selalu muncul oligarki yang mengatasnamakan masyarakat banyak. Â Alhasil, hal terburuk, dari fenomena ini, menurut Mulgan adalah terabaikannya aspirasi politik masyarakat secara luas, karena oligarki hanya melayani segelintir orang. Â
Adakah Politik Milenial?
Dari fenomena personal party, klientelisme, hingga oligarkis, tentu merangsang kita untuk skeptis: apakah kesempatan politik bagi kaum milenial untuk terlibat dalam kontentasi politik adalah murni dari kalangan muda atau merupakan sokongan kelompok tua, khususnya di Indonesia? Tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena personal party di negeri ini kerap mempersulit langkah politisi baru. Hal ini membuat banyak politisi milenial sulit maju tanpa restu elite partai personalistik tersebut. Kemenangan Taj Yasin dan Emil Dardak boleh jadi langkah awal dalam mendobrak pintu milik para patron di personal party.
Tentu, fenomena personal party dalam politik di Indonesia, menciptakan kesulitan tersendiri untuk menilai kemenangan Taj Yasin dan Emil Dardak sebagai kemenangan mutlak politik kaum milenial. Taj Yasin misalnya, masih menggunakan pengaruh ayahnya, Mbah Moen sebagai tokoh Muslim ternama di Jawa Tengah. Meskipun fenomena personal party dominan di Indonesia, masyarakat pastinya selalu menantikan kebijakan politik  yang lebih progresif yang nantinya mampu melakukan perubahan signifikan. Tapi, kita juga harus bertanya-tanya: sampai kapan fenomena personal party ini melekat pada demokrasi kita. Di luar hal itu, tentu yang lebih mendesak adalah bagaimana kelompok milenial yang terpilih mampu melakukan terobosan yang berbeda dengan kaum baby-boomers dalam politik.
Terakhir, semoga kemenangan Taj Yasin dan Emil Dardak di Jawa mampu memberikan kontribusi berarti pada dunia politik di Indoenesia atau  kemenangan Elizabet Fiedler, Sara Innamorato dan Summer Lee di Amerika Serikat mampu menjadi katalis bagi pergerakan politik kaum milenial di Indonesia.
Catatan: Tulisan ini pertama kali dimuat ketika saya masih bekerja di PinterPolitik.com sebagai content writer. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H