Mohon tunggu...
Ahmed Samij
Ahmed Samij Mohon Tunggu... -

Aku hanya seorang insan biasa yang sedang mencoba merangkak demi mewujudkan mimpi sang jiwa. Aku bukanlah seorang yang hebat, namun aku berkeinginan untuk menciptakan satu kehebatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ada Cinta di Pantai Cermin

30 Januari 2010   06:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:10 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pagi itu pukul 07.00. Telepon genggamku berdering kencang. Aku tersentak bangun dan mengangkatnya. Kulihat nama Rosmini. Gadis yang baru sebulan aku kenal. Suaraku masih serak melumpuhkan chip tenggorokan akibat terlalu banyak merokok semalam. Dia mengacuhkan suara serakku. Nyeloros dengan kata-katanya:

“Sudah bangun? Kita ke Pantai Cermin bagaimana?”

Kata-kata itu menusuk kupingku. Rosmini yang aduhai. Cantiknya bukan main mengajakku ke Pantai Cermin. Siapa yang sanggup menolak ajakan Rosmini. Susahlah kugambarkan kecantikannya disini. Aku menyanggupi, dan beranjak ke kamar mandi. Beberapa menit berselang aku menjemputnya. Dan kami pun pergi ke tempat tujuan. Pantai Cermin!

Hawa begitu dingin menusuk tulang belulangku. Kurangkul tubuhku melawan hawa dingin yang berpacu dari arah selatan laut. Air laut begitu biru. Bersih dan jernih. Hanya sampah-sampah saja yang baru terseret ke tepi. Aku tersenyum ke arah Rosmini dan berkata “Wow…dingin!” Dia membalas senyumku dan diam.

Kulihat kedua tangannya juga merangkul tubuh langsingnya. Kemudian pandangan kualihkan ke kedua kelopak matanya. Agak menyipit. Sesekali kudengar “heemmheemm.” Dari mulutnya, interjeksi menandakan kedinginan.

Kami berjalan di tepi pantai itu. Berkata dalam sendu sambil sesekali melirik satu sama lain. Amboi…wajahnya sangat cantik.

“Dulu waktu tsunami pantai ini tak berbekas. Rumah-rumah di dekat sini pun ikut hancur lebur. Kini nampak seperti biasa. Tak ada lagi tanda-tanda bahwa di Pantai Cermin ini pusat dahsyatnya tsunami.” Aku berkata perlahan. Masih melihat wajahnya yang putih belum tertambal kosmetik.

“Iya…Bang Roy dimana waktu tsunami itu terjadi?” Tanyanya.

“Saya waktu itu berada di Lingke. Dan hampir kena sampar juga. Berlari sekitar dua kilometer untuk menyelamatkan diri. Saya lari ke Mesjid Kayee Adang.”

Dia mengangguk-nganguk seakan paham betul dengan kejadian itu.

“Dek Ros masih di kampong ya…?”

Dia mengangguk lagi.

Aku sudah berkenalan dengannya lebih kurang sebulan. Paling seminggu dua kali kami bertemu tapi masih dalam batas pertemanan. Dalam waktu sebulan. Perasaanku selalu menusuk hatiku. Menusuk-nusuk seperti bayonet menusuk tanah mencari ranjau. Perasaan dan hati diam di saat aku bertemu Rosmini. Gadis penggoda jiwaku.

Kami masih berjalan di tepi Pantai Cermin itu. Kaki kami terkadang mengais-ngais kayu-kayu kecil. Kini anginnya bertambah kencang. Dingin bukan main. Tapi kami masih larut dalam kesenduan perasaan masing-masing dan aku tidak berani menebak kalau dia punya perasaan lebih kepadaku.

Kulihat ke arah timur. Matahari mulai memancarkan sinar kuningnya menyilaukan mataku. Dan kubalikkan arah tubuhku ke barat. Di sana terlihat beberapa pasangan remaja sedang berlari-lari bermain dengan air laut.

Sebelum dan sesudah tsunami. Pantai cermin tak sepi pengunjung terutama di minggu pagi. Mulai dari kaum muda-mudi sampai orang-orang tua yang membawa anak-anak mereka. Maka tak heran banyak yang terhayut hilang di saat tsunami terjadi beberapa tahun lalu.

Aku masih memandangnya. Tak pernah lelah dia memberi senyum kepadaku. Senyum yang selalu aku harapkan selama aku berkenalan dengannya.

Setelah lelah berjalan di pesisir pantai. Kami pun beristirahat di tempat yang sudah disediakan. Cuma tidak ada makanan untuk sarapan. Ah…biarlah aku belum lapar.

“Kamu mau sarapan Ros?” Tanyaku.

“Ah…masih jam 8, waktu pulang saja nanti.”

Kami duduk dalam bingkai asmara. Dan berbicara panjang lebar dengannya. Mulai dari persoalan kuliah hingga masalah personal. Tahu apa yang aku dengar? Tak pernah aku duga dia menanyakan hal seperti ini.

“Kalau abang sendiri sudah punya seorang kekasih?”

Aku terdiam. Menyaksikan ombak yang perlahan-perlahan mengecil. Aku terkejut bukan main di kala mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya. “Apakah ini gerbang untuk mendapatkan cinta Rosmini?” Hatiku berkata.

“Belum, saya sudah lama tidak mendengar kata ‘kekasih’ dan sudah lama tidak berpacaran.”

Dia mengusap dadanya dan menarik nafas panjang.

“Serius bang…” Tanyanya lagi.

“Iya serius.” Balasku singkat sambil menempatkan sebatang rokok Marlboro di bibir hitamku.

Kulirik Rosmini perlahan-lahan. Wajahnya makin sayu. Sambil menata jelbab birunya yang berantakan akibat terpaan angin laut. Dia berkata lagi.

“Tipe perempuan apa yang abang sukai?”

Serius kawan! Aku bingung ingin menjawab apa. Lalu teringatlah aku dengan kata-kata yang pernah kuujarkan dulu kepada hatiku.

“Hanya tiga ciri-cirinya saja.”

Dia terkejut sedikit bukan seperti sengatan listrik.

“Apa-apa saja?”

Aku langsung menjawab “pertama, dia tahu siapa Penciptanya, kedua dia tahu siapa yang melahirkan dan memberinya sampul badan dan yang terakhir dia tahu bahwa dia seorang perempuan. Simpel bukan?”

Dia menggelengkan kepala bertanda bingung dengan jawaban ku itu. Lalu aku menjelaskan detilnya dan akhirnya dia mengerti. Kemudian kami dibalut dengan diam.

Deburan ombak sekarang makin mengeras. Memecahkan kesejukanku. Kulepaskan rangkulan di tubuhku. Kehangatan kini kurasakan.

“Kalau aku menurut abang seperti apa?” Dia bertanya lagi masih dengan suasana sendu seolah angin yang berlalu sia-sia saja.

Aku bingung bukan kepalang. Ingin kujawab apa. Dia memang sudah tepat di hatiku. Tapi bila aku katakan hal sebenarnya mungkin itu berlebihan. Ah biarlah!

“Kamu wanita yang sempurna. Perempuan yang jarang mengeluh dan jarang kulihat kau bersedih. Kamu selalu tersenyum dan itu menandakan bahwa kamu tegar dalam menghadapi hidup ini. Dan kamu perempuan yang luar biasa di mataku. Dan aku suka akan dirimu”

Kulihat dia menunduk. Mencerna kata-kataku itu. Mungkin ada benarnya, bukan gombal. Lalu dia mengangkat kepalanya dan kembali tersenyum. Tak sanggup kubayangkan jawaban yang aku terima begitu singkat. Hanya dengan senyum dia rela menampung perasaan cinta yang telah aku pendam selama sebulan.

Kami pun bangkit dari tempat itu dengan suasana ceria. Tak kami hiraukan lagi keindahan laut, keindahan ultraviolet karena keceriaan dan kesenangan sudah mengambil tempat di hatiku dan Rosmini. Pantai Cermin telah membuat aku berarti. Berarti bahwa aku merasa dimiliki oleh seseorang yang baik, cantik, dan sopan seperti gadis yang ada di dekatku sekarang. Ya…itu Rosmini. Gadis yang mempersembahkan cintanya di Pantai Cermin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun