Mohon tunggu...
Ahmed Tsar Blenzinky
Ahmed Tsar Blenzinky Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger | Content Creator | Sagitarius

Co-Founder BRid (Blogger Reporter Indonesia) | Sekarang Lebih Aktif di https://ahmedtsar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Money

Memilih Kebijakan Populis: Mengalihkan atau Menaikkan

25 Februari 2012   16:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:21 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Bingung memilih kebijakan (ilustrasi. sumber:majalahumor.blogspot.com) "][/caption]

Ada tiga pengamat ekonomi yang saya suka penjelasannya. Kwik Gian Gie, Ichsanuddin Noorsy dan Aviliani. Mereka bertiga kalau menjelaskan fenomena ekonomi, dapat dipahami oleh saya karena bahasanya tidak njlimet untuk Kwik Gian Gie. Untuk Ichsanuddin Noorsy karena kalau saya lihat tampil di TV gayanya mengebu-gebu. Dan untuk Aviliani karena bahasan ya runtut dan jelas.

Nah untuk fenomena kenaikan BBM, terakhir yang saya ingat itu perdebatan antara Ichsanuddin Noorsy dengan wakil mentri ESDM (Widjajono Partowidagdo) di salah-satu TV lokal Jakarta pada Januari 2012. Ya berdebat tentang pengalihan BBM ke BBG. Dalam debat itu, saya melihat ada kesan pemerintah terus memaksakan kebijakannya ke BBG walau seringkali argumentasi dasarnya dimentahkan oleh Noorsy.

Namun tiba-tiba di bulan Februari ini, pemerintah mengumumkan malah akan terjadi kenaikan BBM di bulan April ini. “Lho mana yang bener, naik atau dibatasi?” Usust punya usut, memang ternyata pemerintah kesulitan memilih kebijakan mana yang lebih populis antara menaikkan atau membatasi. Itu pun saya tahu dari dialog interaktif di radio El-shintha yang narasumbernya Aviliani tertanggal 22 Feburuari 2012. Berikut kutipan wawancara antara penyiar radio El-shintha dengan pengamat ekonomi dari INDEF itu:

Menggunakan Pertimbangan Politis

Penilaian ibu, apakah kita pantas mempercepat kenaikan BBM?

Mungkin saya perlu jelaskan dulu ya naik atau tidak karena kalau kita melihat di dalam APBN 2012, memang dijatah bahwa subsidi itu 40 juta kiloliter dengan asumsi harga minyak sekitar 90 sampai 95 per Barrel. Nah sekarang harga minyak dunia itu sudah mencapai 100 sampai 115. Bahkan kita lihat masalah Iran tidak mau ekspor ke Perancis itu mempengaruhi juga harga minya dunia. Otomatis pemerintah harus menghitung kembali apabila harga minyak terus naik, melakukan kenaikan atau pembatasan. Jadi pilihannya ada dua. Selama ini pemerintah mau membatasi tetapi belum tahu caranya. Sekarang sudah mengatakan kenaikan.

Soal naik atau tidaknya, saya ingin memperlihatkan bahwa apabila harga minyak ini pada posisi 100 per Barrel maka maka pemerintah harus menambah subsidinya sekitar 9, 9 Trilyun. Ini hampir 10 trilyun kalau harga 100. Berarti kalau harga di atas 100 (naik 10 lagi), naik lagi 9 trilyun. Nah itu asumsinya juga kalau tidak terjadi penyimpangan penggunaan subsidi. Artinya tidak terjadi lebih dari 40 juta. Padahal 2011 itu dijatah 40 juta ternyata habisnya 41 koma sekian juta. Artinya apa terjadi pembengkakkan subsidi BBM. Nah kalau itu terjadi maka pembengkakkan lebih dari hal tersebut.

Oleh karena itu pilihannya kalau menurut saya adalah memang harus menaikkan harga. Kemudian, yang baik adalah subsidi itu ke orang bukan ke barang. Kalau subsidi ke barang kecendrungannya adalah semua orang bisa menikmati. Padahal subsidi itu untuk orang miskin dan orang yang memang berhak untuk mendapatkan subsidi.

Menurut ibu, apa yang terjadi di pemerintahan yang terkesan maju-mundur mau membatasi atau menaikkan?

Problemnya adalah memang negara demokrasi itu tidak mudah kalau tidak populis. Sehingga memang kebijakan harus bersifat populis. Artinya apa, kalau menaikkan harga ditakutkan itu menjadi tidak menarik bagi rakyat. Dan mereka (partai pemerintah) juga berpikir nanti 2014 bagaimana, pasti ada pertimbangan politik.

Menurut saya sebenarnya apabila bisa komunikasi dengan masyarakat lebih baik, silahkan disadarkan bahwa selama ini subsidi itu tidak tepat sasaran. Saya rasa masyarakat juga bisa memahami. Yang penting adalah ketika mau menaikkan harga dipastikan kapan akan naik, kemudian apa yang dilakukan untuk yang membutuhkan. Misalnya kalau yang dibolehkan adalah kendaraan roda dua, mungkin dialihkan nanti pajak roda duanya itu dibayar dalam bentuk tunai setiap dua bulan sekali atau sekalian saja dipotong pajak. Jadi ada jalan keluar yang sifatnya adalah langsung kepada orang yang memang tepat sasaran.

Itu cara pertama ya. Kedua, menaikkan. Kenaikan dalam arti kalau naik 1.000 Rupiah, pemerintah itu akan bisa mengurangi subsidi 13 Trilyun untuk meningkatkan infrastruktur dan tranportasi. Jadi artinya pemerintah jangan mengatakan penghematan tapi harus mengatakan bahwa subsidi itu dialihkan untuk yang seharusnya memperoleh. Menurut saya, kalau tidak ada kepastian malah lebih berbahaya.  Dunia usaha semakin tidak ada kejelasan, bisa saja sewaktu-waktu mereka naikkan harga. Masyarakat apabila tidak diberitahu terlebih dahulu, maka mereka tidak tahu bagaimana cara merencanakan belanja mereka, apabila tiba-tiba naik atau justru tdak tahu kapan itu akan jadi naik atau tidak naik. Jadi yang penting adalah kepastian.

Beberapa tahun yang lalu, Tim Ekonomi yang dipimpin Anggito Abimanyu sempat memberikan rekomendasi tentang mekanisme kenaikan harga BBM, mengapa pemerintah tidak memilih opsi-opsi dalam rekomendasi tersebut?

Betul, jadi waktu itu sebenarnya sudah ada berbagai pilihan, kalau naik 1.000 Rupiah maka seperti apa. Kalau misalnya tidak naik tentu bebannya akan berapa. Terus kalau dibatasi itu seperti apa. Sebenarnya pemerintah tinggal pilih, mana yang mau di pilih. Jadi bukan tidak ada masukan, tapi memang sangat dibutuhkan keberanian untuk melakukan ini.

Mengapa pemerintah tidak mengambil pilihan membatasi dan mengalihkan BBM ke bahan bakar gas padahal wacana itu sempat beredar di awal tahun 2012?

Ketika berbicara pembatasan, tadi awalnya direncanakan Jawa dan Bali saja. Tapi akhirnya pola pikir itu salah karena penyimpangan ternyata bukan hanya terjadi di Jawa-Bali, tapi di luar dua pulau itu akan terjadi juga moral hazard. Akhirnya harus pakai alat kalau pakai alat akan sulit untuk membatasi. Nah, akibatnya SPBU-SPBU pada complain, mereka tidak siap. Akibatnya apa? Dengan ketidaksiapan itu akhirnya pemerintah tidak mau juga mengambil resiko dengan cara pembatasan. Dan akhirnya di bulan April ini nampaknya tidak akan jadi untuk pembatasan.

Terakhir, karena harga minyak dunia naik terus maka pemerintah juga mendapat desakan dari berbagai kalangan yang tadinya tidak setuju naik, akhirnya sekarang pada setuju untuk naik. Karena apa? Karena kita melihat faktor di lapangan, subsidi yang jumlahnya ratusan trilyun, ternyata yang menikmati adalahorang yang berperilaku moral hazard. Misalnya, satu penyimpangan BBM dijual ke negara tetangga. Kedua, banyak orang menjual BBM ke pabril-pabrik, terutama di luar Jawa. Banyak truk-truk mengantri Bensin bukan untuk mengangkut barang, tetapi malah memenuhi tangki untuk dijual kembali ke pabrik-pabrik. Artinya, buat apa subsidi dalam jumlah besar kalau tidak tepat sasaran. Jadi menurut saya kalau memang harus naik, subsidi memang harus dialihkan untuk mensejahterahkan rakyat.

Keluar Dari OPEC dan Daya Beli Masyarakat

Berapa nilai nominal kenaikan yang mungkin pantas?

Ini ada perhitungan tersendiri. Kalau naik 1.000 Rupiah, pemerintah bisa mengurangi subsidi sampai 13 trilyun dengan asumsi harga minyak 100 Barrel. Tapi misalnya kalau pemeritah tidak perlu lagi menambah atau mengurangi subsidi, itu naik dengan nominal 425 Rupiah. Jadi tinggal tergantung pemerintah pilih yang mana.

Perlu dijelaskan juga, kenapa seh ada terus subsidi? Karena Indonesia berubah dari orde baru ke orde sekarang. Kalau orde baru, listing minyak kita itu di atas 1 juta per hari per barrel. Nah sekarang, kita listingnya cuma 950. Di masa lalu, justru penggunaan minyak cenderung sedikit. Sekarang, penggunaan minyak kita itu sehari 1,7 per hari per barrel padahal produksinya cuma 950. Artinya terjadi selisih antara yang kita beli dengan yang kita ekspor. Misal, dengan harga minyak 100 per barrel, Indonesia akan menerima tambahan sebesar 24 Trilyun tapi harus bayar 34 Trilyun. Selisih itu yang tetap harus dibayar oleh pemerintah untuk membayar subsidi. Nah ini yang perlu dipahami oleh masyarakat karena listing minyak Indonesia di bawah, maka akan terus terjadi surplus. Nah inilah yang menyebabkan Indonesia keluar dari OPEC karena Indonesia sudah menjadi net-importir bukan lagi net-eksportir.

Bagaimana dengan daya beli masyarakat, apakah akan mempengaruhi dan seberapa jauh pengaruhnnya?

Diukur dari inflasi yang sekitar 4 sampai 5 %, jadi sudah dihitung apabila ada kenaikan itu diperkirakan inflasi naik sekitar 2 %. Otomatis masih di angka 6 atau 7 %. Masih di single digit. Nah kalau masih di single digit sebenarnya menurut saya masyarakat tidak perlu khawatir terhadap nilai tukar Rupiah kita yang menguat. Jadi ada konversi antara nilai tukar Rupiah yang menguat dengan harga minyak yang meningkat. Artinya tidak akan terjadi penurunan daya beli yang signifikan kalau dengan inflasi yang cukup rendah.

[caption id="attachment_165122" align="aligncenter" width="600" caption="sumber: glxgallery.blogspot.com"]

13301858691343652333
13301858691343652333
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun