Mohon tunggu...
Ahmed Tsar Blenzinky
Ahmed Tsar Blenzinky Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger | Content Creator | Sagitarius

Co-Founder BRid (Blogger Reporter Indonesia) | Sekarang Lebih Aktif di https://ahmedtsar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

{MPK} Ota Kembali Ke Rumah

15 Juni 2011   04:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:30 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Maaf kawan kawan sangat terlambat mengikuti pesta MPK karena ada sesuatu hal :)

Penulis : Ahmed Tsar + Yulia Rahmawati (No.132)

NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.

[caption id="attachment_114321" align="aligncenter" width="640" caption="sumber: blog.charlenechua.com"][/caption]

Hari masih pagi. Gerbang masih terkunci. Namun suasana di dalam kebun binatang sudah riuh ramai. Ramai oleh saling bersahut suara para penghuninya. Burung berkicau, semua raja hutan memamerkan aumannya serta segenap Primata kompak berseru “whuu whaa.”

Mereka selalu tambah gembira bila pagi datang. Sebab sarapan dan mandi jadi menu wajib mereka. Apalagi ditambah di awal hari ini, sinar mentari hangat menerangi. Seru, sebagian hewan bercengkerama dengan pegawai kebum binatang. Bergurau ketika dimandikan. Atau, ada sebagian yang lain sedang menikmati sarapannya sembari bergumam sendiri.

Bagi Primata satu ini, datang menjelangnya pagi adalah ketakutan. Tiap hari ia merasa begitu. Sedih terlihat di kedua matanya. “Ota, hayoo sini. Segar kan? Yuk sekarang kembali ke rumahmu” ajak pegawai wanita. Ketika dia mau menggandeng tangannya, Orangutan itu malah berbalik berlari ke arah pancuran air. “Hei hei. Sini! Waduh Ota kok nakal ya” seru pegawai itu sembari mengejar Ota. Butuh lima menit untuk menangkap Ota. “Yuuk ah, jangan bercanda lagi. Sekarang waktunya sarapan” tangan Ota berhasil digandeng lalu mereka berdua berjalan menuju kandang.

“Enak saja aku inginnya bercanda terus. Aku lagi sedih, tahu” gerutu Ota di perjalanan. “Pokoknya aku nggak mau dipindahkan. Aku lebih suka disini. Betah bersama kawan-kawan kebun binatang” Ota terus bergumam walau ia sudah masuk kandang.

“Nah sekarang tunggu ya, tante mau ambil sarapan dulu. Mau apa? Pisang Ambon atau Pisang Raja. Tante ambilkan dua-duanya saja ya?” pegawai itu lalu beranjak meninggalkan Ota.

“Hu uh, kenapa seh mereka nggak tahu aku lagi gelisah. Aku lagi takut” rajuk Ota sambil kepalanya menempel di sela-sela sel kandang. Tidak lupa pula ia menjulurkan lidahnya.]

“Hei kenapa kamu mengomel begitu?” tiba-tiba ada yang menyapa Ota.

Ota langsung berbalik badan mencari sumber suara. “Siapa itu yang bicara?” Kedua mata Ota waspada menyelidiki sekitarnya.

“Tenang kawan, boleh aku jadi temanmu?”

“Hei kau burung liar, sejak kapan kau mengamatiku?” tanya Ota ketia ia sudah berada di atas palang-palang besi.

“Maaf kawan, namaku Punai. Aku bukan burung liar, namun bebas terbang kemana saja” Burung itu membetulkan salah bicara Ota. Ia nampak tenang hinggap di atas kandang, walau berjarak kurang dari lima meter dengan Ota. “Namamu Ota ya?”

“Otaaa, sini turun. Ini sarapanmu, ambil” pegawai itu muncul lagi membawa setandan Pisang Ambon. “Aku taruh sini ya” setelah menaruh Pisang itu di dalam kandang, dia berbalik dan berjalan menjauhi kandang. Belum sampai lima langkah, dia memalikkan badan. “Oia, ini hari terakhirmu di sini ya. Mungkin besok kita tak bertemu lagi ya” kata wanita itu hampir menangis.bye.” Ota telah berada di bawah mengambil sarapannya, sejenak mata mereka berdua beradu pandang sebelum dia berlari menjauh.

“Hei tunggu aku! Pokoknya aku nggak mau dipindahkan. Tunggu!” teriak Ota sambil melonjak-lonjak. Pisang-pisangnya berantakan, ada yang terinjak.

“Percuma kau teriak begitu Ota. Pegawai itu tak akan lagi mendengar” ejek Punai menggagetkan. Serta merta Ota langsung berbalik dan memanjat palang besi. Setelah sampai atas, ia berusah menangkap Punai dengan menggapai tangan kanannya ke langit. Berulang kali, namun percuma. Tangan Ota hanya meraih udara di luar sel. Punai sendiri sudah terbang mengitari atap kandang.

“Jangan ganggu aku!” seru Ota.masih melonjak-lonjak di atas palang besi.

Mendengar teriakan Ota, Punai malah hinggap di pinggir atap “tenang kawan. Aku tak bermasud menggangumu. Jutru aku berniat membantumu”

“Membantu?” sergah Ota sembari memunculkan kepalanya keluar atap sel menatap Punai.

[caption id="attachment_114329" align="aligncenter" width="800" caption="sumber: thecitrusreport.com"][/caption]

Malam telah larut. Lampu-lampu penerang di Kebun Binatang telah dimatikan. Saatnya tidur bagi semua binatang. Sesekali bunyi Jangkrik bersahut-sahutan. Para Kalong beterbangan dari satu pohon ke pohon lain.

“U hu, malam ini makanan sisa para pengunjung kok nggak ada ya?” kata Kalong tua sambil bergelantungan di dahan pohon.

“Situ cari dimana? Sekarang kalau tergeletak di jalan sudah nggak ada. Adanya mungkin di tempat sampah, itupun kita harus bersaing dengan tikus dan kucing liar” jawab Kalong satunya.

“Semenjak kita pindah ke sini. Makanan kita jadi aneh ya? Bukan buah-buahan” gerutu Kalong itu.

“Gusraak” tiba-tiba rerimbunan dahan beserta daun tempat para Kalong bergelantungan, bergoyang hebat. Akibatnya Para Kalong saling semburat.

“Siapa itu!” hampir serempak semua Kalong bertanya sembari terbang berseliweran.

“Ssst...” bisik Ota memonyongkan mulutnya yang beradu dengan jari.jangan berisik dong. Oia, aku mau tanya, barusan kalian melihat orang-orang berseragam bolak-balik di jalan itu nggak?” tunjuknya ke perempatan jalan tepat di bawah tempat dia nangkring di pohon.

Satu-persatu Para Kalong hinggap kembali di dahan pohon “nanti dulu, kami bertanya dulu. Kamu siapa?” tanya Kalong tua. Nampaknya dia pemimpin hewan-hewan pengerat itu.

“Kamu itu ya. Sudah lama tinggal di sini, belum tahu dia itu siapa” timpal Kalong muda. “Dia itu Orangutan. Temannya Monyet sama Simpanse gitu. Tapi aku heran, kok bisa kamu kamu di luar kandang malam-malam?”

“Jawab dulu pertanyaanku?!” hardik Ota kesal membuat Kalong-Kalong beterbangan.

“Tenang Orangutan. Kami nggak tahu siapa orang-orang berseragam yang engkau maksud. Namun dari tadi memang tidak ada orang yang lewat jalan itu” akhirnya pertanyaan Ota terjawab. Entah siapa yang menjawabnya di antara Kalong-Kalong itu. Mereka sibuk terbang mengelilingi Ota.

Ota langsung menuruni pohon, mendengar jawaban yang diinginkannya “Oia, sebagai ucapan terimakasih. Di kandangku ada buah Pisang. Ada banyak, makanlah sesuka kalian di sana” tunjuk Ota sesampainya di bawah.

“Oke wokeh wokeh” ujar para Kalong sembari terbang menjauh menuju kandang Ota.

*****

“Deasy, yuk tidur sayang. Sudah malam.” Ajak Yuli ke putrinya. “Bunda temenin bobonya ya sambil cerita tentang Ota”

“Ota siapa seh Bunda?” Deasy masih merapihkan mainannya yang berantakan di kamarnya ketika ia bertanya.

“Makanya yuk sini bobo” rayunya “nih, tempat tidurnya sudah Bunda rapiin

Deasy nurut ngikutin ajakan ibunya. Setelah berbaring, Bunda juga ikut berbaring di samping Deasing sambil memeluknya.

“Ota adalah seekor orang utan. Dia hidup bahagia bersama keluarga dan kawan-kawannya di hutan Kalimantan.”

“Kalimantan itu di mana Bun?” Sela Deasy.

“Kalimantan itu di Indonesia, adanya di bagian timur Indonesia,” jawab Bunda.

“Kita masih Indonesia kan Bun?”

“Tentu saja sayang, kita masih ada di Indonesia. Indonesia itu negara yang luas. Ada banyak pulau. Di antarnya pulau Jawa yang kita tinggali sekarang, dan pulau Kalimantan, tempat tinggal Ota.”

“Kok pulau Jawa sih Bun, bukannya kata Bunda dan Ayah, kita tinggalnya di Pasar Minggu, kalau Oma dan Opa di Cainjur.”

“Hahaha… iya sayang, Pasar Minggu dan Cianjur itu masuknya pulau Jawa juga.”

“Oooo… begitu…,” kata Deasy sambil menguap. “Cerita Otanya gimana Bun?”

“O iya, tadi kan Bunda mau cerita Ota.” Kata Bunda sambil membetulkan poisi berbaringnya, “Suatu hari ketika Ota sedang bermain petak umpet sama Chiyo, seekor burung, dan Saki, seekor monyet di antara pepohonan, tiba-tiba turun hujan lebat. Waktu itu yang tugas jaga, Saki, sedangkan Chiyo dan Ota bersembunyi di balik pohon dan dedaunan.

[caption id="attachment_114328" align="aligncenter" width="578" caption="sumber: daughterearth.com"][/caption]

“Saki berloncat-loncat dari satu batang pohon ke batang pohon lainnya mencari Chiyo dan Ota. “Chiyooooo… aku tau kamu sembunyi di mana….” Teriak Saki.

“Hmmmm… “ Chiyo yang bersembunyi di balik daun berusaha diam untuk menjawab teriakan Saki. Tiba-tiba ada tepukan di bahu Chiyo.

“A…” tangan besar langsung menutup mulut Chiyo yang akan berteriak.

“Ini aku, Ota,” bisik Ota. “Jangan ngomong ya nanti Saki denger kita.” Chiyo mengangguk tanda setuju. “Sepertinya tempat ngumpet kita akan cepet diketahui Saki, kamu mau tetap di sini atau pindah?” Chiyo memberi isyarat dengan kedua sayap memegang pohon.

“Itu berarti kamu tinggal di sini. Aku mau sembunyi di bukit itu ya…” Chiyo geleng-geleng kepala. “Tenang, nggak akan ada apa-apa ini.”

Chiyo tetap geleng-geleng kepala, tetapi Ota terus melangkah. “Ota jangan… daerah itu sangat berbahaya,” bisik Chiyo berusaha bicara sepelan mungkin. “Di sana banyak pemburu dan monster pemotong pohon.”

“Aku tidak akan apa-apa kok,” kata Ota sambil terus meloncat di antara batang pohon.

Chiyo menatap bayangan Ota yang sudah tidak terlihat.

“Chiyooooo… kamu kena.” Teriak Saki yang ternyata sudah ada di sebelah Chiyo.

Chiyo menatap Saki tak sadar bahwa mereka sedang bermain petak umpet.

“Saki gawat… Ota mau bersembunyi di bukit itu. Tempat para monster memotong pohon-pohon,” kata Chiyo.

“Apa? Ota sembunyi di bukit itu? Aku nggak berani ngejar ke sana,” kata Saki. “Kita pulang aja yuk! Kita bilanng ke ibu bapak Ota, takut mereka khawatir.”

“Ayo, kita beri tahu mereka.” Kata Chiyo langsung terbang menuju ke kampong mereka, yang kemudian diikuti oleh Saki yang loncat dari satu batang pohon ke batang pohon lainnya.

***

Ota yang dikhawatirkan oleh teman-temannya, dia bersembunyi di balik batang pohon besar. “Di sini sudah gundul ya nggak ada pohon besar lagi kecuali yang aku duduki ini. Nggak ada pohon, lumayan panas juga ya tempatnya, nggak kayak di rumah,” gumam Ota. “Lapaaaar… pulang aja ah, kok Saki nggak mencariku ke sini.” Kata Ota. Dia bersiap-siap untuk turun ketika kakinya menyenggol tambang. Ota berusaha membukanya, tetapi bukannya lepas malah tambang ini menyilang pada kedua tangannya. Ota loncat-loncat agar keluar dari ikatan, ia pun berteriak memecahkan kesunyian bukit yang semakin gelap karena malam sebentar lagi dating.

Semakin Ota berusaha melepaskan diri, ikatan tambang pun semakin mengencang.. Ota pun terus memberontak, dan ikatan menempel di tubuhnya.

“Bapaaaaaaak… ibuuuuuuu… maafkan Ota,” lolong Ota membahana memecah kesunyian hutan. Ota pun terduduk lemas.

“Lihat! Anak orang utan itu sudah mulai kelelahan. Ayo, kita angkat..” Tiba-tiba terdengar suara orang di balik bebatuan.

“Oh… ternyata aku berada dalam perangkap para pemburu,” gumam Ota lemas. Dan Ota pun pingsan.

***

Terdengar hiruk pikuk suara yang asing di telinga Ota. Samar kemudian menjadi jelas.

“Dokter… anak orang utan ini sudah mulai sadar.”

“Iya Mbak Yuli… syukurlah… Lukanya sudah mulai membaik. Dia seorang pejuang.”

“Kita harus berterima kasih pada para polisi, yang sudah berhasil membebaskannya dari para penculik.”

“Para penjahat itu sudah di penjara Mbak?”

“Sudah Dok… perbuatan mereka sudah keterlaluan, menyiksa hewan yang sudah mereka bius. Rencananya Ota akan tinggal di kebun binatang ini sambil menunggu pemulihan sakitnya. Bila dia sudah sembuh, kami akan mengembalikannya ke Kalimantan.”

“Itu lebih baik Mbak… nanti juga saya akan sering berkunjung ke sana. Berkumpul dan bersosialisasi agi dengan teman-temannya memang sangat penting. Itu untuk pemulihannya kembali setelah berbulan-bulan terombang ambing di jalanan. Hewan yang kuat.”

***

“Bunda, Ota selamat ya Bun…” Tanya Deasy di balik pelukan ibunya.

“Iya, Ota selamat. Sekarang Ota berada di kebun binatang kita.”

“Aku boleh lihat kan Bun?”

“Boleh… tapi sekarang Deasy bobo dulu. Besok kita lihat Ota,” kata Bunda sambil merapikan selimut Deasy.

“Bunda, Ota kasihan sendirian… dia kangen nggak ya sama bapak dan ibunya.”

“Tentu saja kangen.”

“Dia akan pergi dong Bun dari sini dan pulang ke Kalimantan?”

“Bunda belum tahu sayang… Biar Ota sendiri yang memilih jalan hidupnya, apakah dia mau pulang atau tidak.”

“Mudah-mudahan Ota bersama kita ya Bun…”

“Iya sayang… sekarang doa bobo dulu, besok kan mau lihat Ota.”

“Iya Bunda…“

[caption id="attachment_114326" align="aligncenter" width="594" caption="sumber: zimbio.com"][/caption]

“Hai kalian, kenapa nggak mencari makan di luar? Kok malah ngumpul di kandangku?” teriak Ota.

“Lho… bukannya kamu mau kabur dari kebun binatang ini, Ota? Kok malah balik lagi.”

“Nggak jadi. Aku mau di sini aja.”

“Kenapa tiba-tiba kamu berubah pikiran?”

“Nggak berubah kok. Aku kan mau tinggal di sini. Tapi sekarang aku percaya sama penjaga kebun binatang ini. Mereka akan memberikan yang terbaik pada kita.” Kata Ota sambil duduk bersender ke dinding. “Kenapa kalian jadi bengong begitu?”

“Nggak apa-apa… Cuma aneh aja kok kamu jadi berubah Ota, padahal keluar kan cuma semalam aja.”

“Tadi aku nyasar ke rumah penjaga Yuli yang sedang bercerita pada anaknya, Deasy. Penjaga Yuli bercerita tentang aku. Sekarang aku jadi tahu kenapa mereka akan membawaku ke Kalimantan.”

“Ooooo…,” jawab kalong serempak. “Berarti kamu nggak jadi kabur dong…. Horeeee… ayo kita makan-makan… merayakan kembalinya Sang Pejuang.”

“Sang pejuang?” Tanya Ota.

“Iya, kami sudah tahu kisahmu, Ota. Kamu memang hewan pejuang, pejuang untuk terus hidup,” jawab mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun