Mohon tunggu...
Ahmed Tsar Blenzinky
Ahmed Tsar Blenzinky Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger | Content Creator | Sagitarius

Co-Founder BRid (Blogger Reporter Indonesia) | Sekarang Lebih Aktif di https://ahmedtsar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pluralisme: Kajian Sosiologi Agama (1)

13 Januari 2010   03:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:29 5731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini akan berangkat dari dua premis (1) Pluralisme bukan suatu aliran agama dan (2). Perbedaan itu rahmat. Pernyataan pertama mengandung arti bahwa pluralisme mencerminkan suatu kajian ilmu sosiologi-antropologi. Konsep pluralisme awalnya dikemukan oleh Christian Wolf dan Immanuel Kant sebagai filosof pencerahan yang menekankan pada doktrin tentang adanya kemungkinan pandangan-pandangan dunia dikombinasikan dengan kebutuhan untuk mengadopsi sudut pandang universal penduduk dunia. Berikut ini beberapa pengertian pluralisme.

Pertama, menurut sosiologi fungsional, pluralisme adalah diferensiasi (perbedaan) masyarakat yang dapat diamati pada level individu sebagai diferensiasi peran, pada level organisasional sebagai kompetisi organisasi-organisasi formal, dan pada level masyarakat sebagai pembatasan-pembatasan terhadap fungsi institusi.

Kedua, dalam wacana ilmu sosial, pluralisme dalam arti pengakuan terhadap keragaman dalam masyarakat dan berbagai prasyarat bagi pilihan dan kebebasan individu, dihadapkan pada dua ekstrem yang berlawanan. (1) pluralisme berhadapan dengan berbagai monisme, seperti teokrasi, negara absolut, monopoli,

masyarakat total, kesadaran terasing, dan kebudayaan monolitik, (2) pluralisme mengimplikasikan struktur yang dapat diidentifikasi. Di mana pluralisme dapat secara simultan dihadapkan pada sesuatu tanpa bentuk seperti anarki, anomie dalam arti kognitif maupun normatif, relativisme epistimologis, dan posmodernisme yang tidak koheren.

Dengan kalimat lain, pluralisme menekankan pengertian deskriptif dan evaluatif, di satu sisi, konsep pluralisme berarti kesadaran akan banyaknya subentitas, sebaliknya di sisi lain mengungkapkan pengakuan positif terhadap pluralisme. Dari beberapa definisi tentang pluralisme di atas, adapun yang dimaksud dengan pluralisme agama adalah adanya pengakuan bahwa seluruh manusia di bumi ini tidak hanya menganut satu agama tetapi menganut banyak agama.

Pluralisme manjadi situasi nyata sebagai masalah yang harus dihadapi oleh manusia. Sebagai reaksi terhadap pluralisme yang menekan, ada beberapa macam reaksi yang timbul, yaitu: (1) Fundamentalis, yaitu reaksi menolak pluralisme dan memperkukuh posisi sendiri; (2) Proselitisme, yaitu usaha mentobatkan pengikut agama lain agar masuk agama sendiri dengan cara-cara yang tidak wajar; (3) Sinkretisme, yaitu reaksi kompromis dengan cara mencampur adukkan kedua keyakinan agama yang bertemu.

Munculnya fenomena pluralisme agama yang dapat ditelusuri dari tiga mazhab teori besar dalam sosiologi agama diantaranya teori fungsionalisme (Emile Durkheim), kognitivisme (Max Webber) dan teori kritis (Karl Marx). Pandangan tiga mazhab teori itu tentang agama misalnya fungsionalisme melihat bahwa agama sebagai institusi yang dibangun demi integrasi sosial. Kognitifisme memandang agama sebagai pandangan dunia yang memberi makna bagi individu dan kelompok. Sementara teori kritis menginterpretasikan agama sebagai ideologi yang melegetimasi struktur kekuasaan masyarakat.

Fenomena pluralisme seperti yang dikemukakan oleh Talcot Parson (1967) adalah sebagai pembedaan sistematik pada semua level, baik itu level pembedaan peran maupun level pembedaan sosial dan budaya. Bagi kaum kognitivis, seperti yang diwakili oleh Peter L. Berger mengemukakan fenomena pluralisme sebagai gejala sosio-struktural yang pararel dengan sekularisasi kesadaran (Berger, 1967:127). Menurut Berger, sekularisasi membawa pada demonopolisasi tradisi-tradisi agama dan pada peningkatan peran rakyat jelata. Sementara di kalangan teoritisi kritis seperti yang diwakili oleh Houtart, Habermas atau Bourdieu menganalisis pluralisme agama bukan suatu tema yang menarik perhatian, karena dalam tradisi Marxis, agama bukanlah penyebab penting bagi perubahan struktural dan emansipasi manusia.

Saat ini pluralisme yang dipahami dan dipraktekkan oleh sebagian manusia adalah “pluralisme semu” (pseudo pluralism). Di mana pluralisme hanya sebatas dan belum sepenuhnya menjadi entitas yang harus disadari dan diakui sebagai kenyataan sosial dalam masyarakat. Pluralisme semu adalah bentuk pengakuan terhadap keragaman masyarakat (toleransi) yang terdiri dari budaya, suku, dan agama yang berbeda-beda, namun tidak bersedia menyikapi dan menerima suatu keberagaman sebagai kenyataan sejarah (historical necessity) dan kenyatan sosio-kultural (socio-cultural necessity).

Dengan kalimat lain, pluralisme semu merupakan bentuk pengakuan atas perbedaan yang ada, namun penerimaan akan adanya suatu perbedaan belum sepenuhnya nampak dari sebagian sikap sebagian manusia. Sikap mendua atau standar ganda (double standard) dapat berimplikasi pada keretakan hubungan antarumat beragama, yang lambat laun berpotensi melahirkan konflik agama. Semestinya, pluralisme harus dipahami sebagai bentuk kesedian menerima kelompok lain secara sama sebagai suatu kesatuan. Adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu harus diperlakukan sama oleh negara. Di sinilah konsep pluralisme memberikan kontribusi nyata terhadap agenda demokrasi dan anti-diskriminasi. Perhatian yang besar terhadap persamaan (equality) dan anti-diskriminasi kaum minoritas telah menghubungkan pluralisme dengan demokrasi. Dua kondisi inilah yang diperjuangkan oleh Cak Nur dan Gus Dur.

Jadi, Pluralisme bukan hanya mempresentasikan adanya kemajemukan (suku atau etnik, bahasa, budaya dan agama) dalam masyarakat yang berbeda-beda. Akan tetapi, pluralisme harus memberikan penegasan bahwa dengan segala keperbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik.

(bersambung)

gambar dari vig.pearsoned.co.uk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun